(2) Part 4

7.9K 1.2K 16
                                    

"Kenapa kau ingin kita tinggal bersama?" tanya Nayela saat dirinya dan Sander hanya berdua saja di kamar pribadi gadis itu.

Sander menutup buku yang dibacanya dan menatap Nayela lamat-lamat. Ia meletakkan bukunya dan berjalan mendekati gadis itu sebelum duduk berlutut di hadapan Nayela sembari menggenggam kedua tangannya.

"Aku hanya ingin lebih dekat denganmu. Lagipula, aku sudah pernah berbicara pada Paman dan Bibi untuk mempercepat tanggal pernikahan kita," jelas Sander sambil mengelus-elus punggung tangan sang tunangan.

Nayela terdiam. Alurnya sudah secepat ini dan dirinya belum membuat progres apa pun meski telah bersikap selayaknya gadis penurut di hadapan pria ini.

Ini sedikit menyebalkan.

"Ada yang ingin kutanyakan padamu," ucap Nayela tiba-tiba. Sander mengangkat wajahnya dan menatapnya bertanya.

Nayela menatap tepat di netra biru milik Sander yang begitu indah sekaligus menyesatkan. Ia mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Sander.

"Kau ingin menikahiku.. Apa kau mencintaiku?" tanya gadis itu sungguh-sungguh. Sander terpana sesaat melihat wajah Nayela yang tampak berbeda dari biasanya.

Dia dan Nayela telah bertunangan selama kurang lebih empat bulan. Nayela yang selama ini Sander tahu adalah gadis yang sedikit tertutup tapi penurut. Baru kali ini, ia melihat gadis ini mempertanyakan keputusannya.

Untuk beberapa saat, Sander merasa bahwa dirinya tidak akan pernah bisa berbohong di bawah sorot mata hangat yang sekaligus penuh rasa penasaran itu. Sehingga ia spontan menggeleng.

Nayela sedikit terkejut dengan kejujuran Sander. Ia mengira Sander akan bertutur kata manis untuk melemahkan hatinya atau sejenisnya. Tak ia sangka pria itu justru bereaksi jujur.

Namun, ia buru-buru menetralkan rasa terkejutnya dan menatap Sander penasaran. "Lalu, mengapa kau ingin menikah denganku? Apa karena ayahku?"

Kini giliran Sander yang terkejut mendengar tebakan Nayela. Meski ia tahu bahwa mungkin apa yang ia pikirkan dan yang gadis itu pikirkan mengenai Tuan Everdine berbeda, Sander tak dapat menahan rasa terkejutnya akan ketepatan intuisi gadis ini.

"Um, ya. Aku berhutang banyak pada Paman. Dan aku ingin membalasnya dengan membahagiakan putri kesayangannya ini," ujar pria itu.

"Tapi tolong jangan salah sangka. Selain aku ingin membalas kebaikan Paman, aku juga merasa nyaman saat bersamamu. Kau mengingatkanku akan ibuku," imbuhnya diakhiri senyum getir.

Dahi Nayela mengernyit samar. Ia sedikit skeptis apakah Sander tengah berbohong padanya atau tidak. Namun, melihat sorot mata pria itu, sepertinya dia berkata jujur. Nayela jadi merasa iba melihatnya.

"Kalau begitu.." ujar Nayela. Ia mengulurkan kedua tangan mungilnya untuk menangkup wajah pria itu dan tersenyum hangat. "Kau bisa menggunakanku sebanyak yang kau mau untuk mengobati rasa rindumu pada ibumu."

Tangan Nayela mengusap lembut kedua pipi Sander penuh kasih sayang. "Tapi sebagai gantinya, Sander harus berjanji untuk tidak sedih lagi. Aku ingin agar Sander selalu bahagia," ucapnya tulus kemudian mendekat dan mendekap tubuh Sander hangat.

Pupil mata Sander tampak bergetar merasakan ketulusan perlakuan dan kalimat yang dilontarkan oleh tunangannya. Sesuatu dalam dirinya seakan bergejolak. Dan itu adalah batinnya yang tengah berperang.

Sudut kecil di hati Sander pun mulai bertanya-tanya, apakah pilihan yang dibuatnya sudah tepat?

Karena sepertinya, ia sedikit goyah.

Pemberitahuan!
[Persentase Kepercayaan : -20%]

•••

Kaki jenjang Nayela melangkah perlahan menuruni tangga, bermaksud untuk menghampiri Sander yang tengah mengobrol dengan sang ayah.

Namun saat akan mendekati tunangannya, Nyonya Evedine lebih dulu menghampirinya dan mencekal kuat lengan kurusnya. Nayela sempat meringis pelan saat merasakan kuku tajam wanita itu menggores kulitnya.

"Jangan kecewakan bocah itu, hama! Turuti semua kemauannya. Kau paham?" desisnya dengan suara sinis. Nayela terdiam tidak menyahut dan hanya menundukkan pandangannya.

"Jawab!" bisik Nyonya Everdine seraya menguatkan cekalan jemarinya di lengan Nayela.

Gadis itu mengangguk dan bergumam pelan. "Saya paham."

"Bagus. Berusahalah menyenangkan keturunan Donovan itu! Kalau bisa, buat dirimu mengandung anaknya. Terserah kau, ingin sebelum atau sesudah menikah, aku tidak peduli," ucap wanita itu dengan nada yang menjijikan membuat Nayela refleks mengepalkan kedua tangannya erat.

Setelah mengatakan hal itu, tangan Nyonya Everdine beralih merangkul bahu Nayela dengan akrab dan menggiringnya menuju ke tempat di mana Sander dan suaminya berada.

"Nak Sander, maaf membuatmu menunggu lama. Tuan Putri sudah siap sekarang," ucap wanita itu dengan nada ceria, seolah menjadi orang yang berbeda dari yang sebelumnya.

'Dunia ini memiliki terlalu banyak orang munafik,' batin Nayela ngeri.

Sander tampak tersenyum cerah dan menghampiri Nayela. Ia meraih sebelah tangan gadis itu dan membawanya ke depan bibirnya untuk ia kecup.

"Kau sangat cantik," pujinya. Nayela tersenyum tipis dengan pipi yang sedikit berwarna kemerahmudaan samar.

"Sudah siap berangkat?" tanyanya yang segera dijawab oleh Nayela dengan anggukan antusias.

"Berpamitanlah dulu pada ayah dan ibumu. Aku akan membawa barang-barangmu lebih dulu," ujar Sander saat dia melihat pelayan yang membawakan koper milik Nayela.

Sepeninggal Sander, Nayela kembali berhadapan dengan dua iblis penjaga neraka itu. Dengan setengah hati, ia menunduk sopan dan berkata, "Kalau begitu saya pamit, Ayah, Ibu."

Nyonya Everdine mengernyit jijik dan berdesis sinis, "Ingat tugasmu, bocah! Jangan membuat masalah!" Nayela hanya balas menganggukkan kepalanya.

Sedangkan Tuan Everdine tampak terdiam sesaat sebelum mendekati Nayela dan memegang kedua lengan kurus gadis itu yang terbalut kain gaun yang sedikit tipis di bagian lengan.

Bulu kuduk Nayela meremang ketika ia merasakan tangan pria paruh baya itu mengusap lengannya. Ia semakin bergidik ngeri dan jijik kala Tuan Everdine mendekatkan diri dan berbisik rendah di samping telinganya.

"Rayu dia dan lakukan seperti ini.." ucapnya seraya mengelus lengan Nayela dari atas ke bawah dengan gerakan pelan.

Tubuh Nayela gemetaran dibuatnya. Jujur saja perlakuan itu sangatlah menjijikan dan membuatnya ketakutan. Ia belum pernah merasakan kombinasi perasaan ngeri, jijik, dan marah seperti ini dalam satu waktu.

"Hentikan, Sayang. Kalau bocah Sander itu melihat, rencana kita akan berantakan," sela Nyonya Everdine dengan nada malas, tidak peduli melihat tindakan pelecehan itu.

Dengan bahu yang masih sedikit gemetar, Nayela melangkah mundur menjauh dari jangkauan pasangan itu. Gadis itu membungkuk singkat lalu pergi dari hadapan keduanya secepat yang ia bisa.

Karena terlalu tergesa-gesa, Nayela tak sadar sang tunangan tengah berdiri tak jauh di depannya.

Nayela menabrak tubuh tegap pria itu dan refleks beringsut menjauh ketika melihat tangan Sander terulur, hendak meraihnya.

Gadis itu masih syok dan mungkin, trauma.

"Reya?" tanya Sander dengan dahi mengernyit tajam melihat reaksi aneh tunangannya itu.

Mendengar suara Sander, Nayela berjengit samar. Ia lalu mengangkat wajahnya hingga keduanya saling bersitatap.

Tersadar dengan apa yang terjadi, Nayela pun buru-buru menetralkan ekspresinya dan tersenyum cerah menatap ke arah pria itu.

"Aku sudah siap. Ayo berangkat," katanya. Mata biru Sander memincing melihat perubahan itu. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres pada gadis itu. Namun sebisa mungkin, ia berusaha untuk tidak peduli.

"Baiklah. Ayo pergi, Tuan Putri."

🍁Tbc🍁

Bale's Note:
Halo! Double-up nih aku hehe..

Kalau ada typo, jangan ragu buat kasih tau aku😚

Terima kasih udah mampir! Jangan lupa tinggalin jejak yah!

Ciao💜

In Order To Save The Male Antagonist's LivesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang