(2) Part 3

8.4K 1.2K 6
                                    

Setelah memastikan Nayela tiba di rumah dengan aman, Sander langsung berpamitan untuk kembali ke kantornya.

Sedangkan Nayela saat ini tengah bersantai di kamarnya. Ia meneliti isi ruang didominasi warna biru langit itu.

Tak ada yang spesial dari kamar itu kecuali ranjang yang super empuk dan lebar serta sebuah rak buku di sisi kanan ruangan yang nyaris setinggi langit-langit.

Nayela melangkah mendekati rak itu dan mengambil buku secara acak untuk ia bawa dan ia baca di sofa yang tersedia di kamarnya.

Sejujurnya ia merasa sangat bosan. Dan membaca buku di kamar sama sekali tak mengobati suasana hatinya. Ia sedikit berharap Aston segera kembali dari perjalanan bisnisnya dan menemaninya di rumah.

Namun itu tidak mungkin. Nayela menghela napas pasrah dan kembali fokus pada buku yang ia baca. Yah, paling tidak ia cukup puas karena memiliki perpustakaan kecilnya sendiri.

Ketika dirinya terlalu berlarut dalam deretan kata di setiap halaman di bukunya, suara pintu yang dibuka keras membuat ia berjengit dan refleks memegang dada kirinya.

"Nayela!" seru wanita yang baru saja membuka pintu kamarnya dengan kasar.

Belum sempat dirinya bereaksi, wanita itu menarik tangannya dengan kasar hingga membuatnya berdiri dan tanpa aba-aba menampar keras pipi gadis itu hingga terjatuh di atas lantai marmer yang dingin.

"Dasar hama tidak tahu diuntung! Apa susahnya bagimu hanya untuk meminum obat, hah!" hardik wanita itu, Nyonya Everdine.

"Bagaimana jika bocah Sander itu muak dengan penyakitmu dan membatalkan pertunangan kalian?!" serunya sambil menarik rambut Nayela yang tengah terduduk di hadapannya.

Nayela berdesis pelan seraya menatap wajah garang Nyonya Everdine yang tampak memerah menahan amarah.

"Aku tidak ingin mendengar kau masuk rumah sakit lagi untuk kedua atau ketiga kalinya!" peringatnya.

"Jangan hanya menjadi beban di hidupku, dasar hama menjijikan!"

Selepas mengatakan hal itu dan menyentak kasar rambut Nayela, Nyonya Everdine melangkah keluar dengan sepatu merah bertumit tinggi miliknya yang menghentak keras di lantai.

Sedangkan Nayela yang ditinggalkan, meremat kuat gaun putih bermotif bunga yang tengah dipakainya. Mulutnya tak henti menyumpah dan sorot matanya berubah dingin.

"Wanita gila," desisnya lalu mengusap sudut bibirnya yang berdarah dengan punggung tangannya.

Dengan hati-hati, ia perlahan bangkit dari posisinya meski ia merasakan kepalanya sedikit berdenyut nyeri akibat tarikan nenek sihir tadi pada rambutnya.

"Dia tidak ingin aku kumat dan membuat Sander jijik, tapi dia justru menganiayaku," gerutu Nayela sambil berusaha untuk merebahkan tubuhnya di ranjang.

Tunggu. Sebuah ide tiba-tiba terlintas di benak gadis itu saat ia hendak memejamkan matanya.

Bukankah jika ia terlihat menyedihkan di mata sang antagonis, pria itu mungkin akan mengerti kalau ia bukan putri kesayangan Everdine, melainkan hanya seorang gadis rapuh yang selalu dianiaya?

Seulas senyum miring pun terbit di sudut bibir Nayela.

Dengan cara itu, dirinya mungkin akan bisa bertahan hidup dan citra ayah sialannya akan semakin hancur di mata Sander.

Yah. Bukankah itu sama dengan sekali tepuk dua lalat?

•••

Sander baru saja sampak di ruangan yang berukuran sedang dengan tanda pengenal "Manajer" di atas mejanya.

In Order To Save The Male Antagonist's LivesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang