(2) Part 7

6.4K 1K 39
                                    

"Kak Aston ..." panggil Nayela seraya berjalan tergesa-gesa menghampiri sang kakak yang berkunjung ke rumah Sander.

Aston yang mendengar suara adik kesayangannya, spontan bangkit dari posisi duduknya dan merentangkan tangannya ke arah datangnya Nayela.

Nayela otomatis menerjang kakak laki-lakinya itu dengan pelukan hangat. Aston melingkarkan lengannya erat di tubuh sang adik lalu menghujani puncak kepala gadis itu dengan banyak kecupan sayang.

Ah. Dia sangat merindukan adiknya ini. Rasanya tak tenang membayangkan adik kecilnya itu telah bertunangan dengan pria asing karena tuntutan orang tua mereka yang sialan itu.

Ingin rasanya Aston mencekik leher pria bejat yang berstatus sebagai ayahnya itu. Berani-beraninya dia menjual adiknya pada pria tidak jelas seperti Sander, pikir Aston ketika melihat Sander yang berdiri tak jauh di belakang sang adik.

Aston berani membuat klaim demikian karena ia tahu siapa Sander. Meski tidak terlalu akrab, keduanya sempat berbagi alamamater yang sama.

Menurutnya, kepribadian Sander sangat aneh. Sikapnya yang ramah itu seolah hanya sebuah sandiwara di mata Aston. Dia sangat tak menyukai pria itu sejak masa orientasi di kampus.

"Senang melihatmu kembali, Kakak Ipar," sapa Sander ketika berhadapan dengan Aston yang masih mendekap Nayela.

"Kalian belum menikah. Dan aku bukan kakak iparmu," sinis pria itu seraya mengeratkan pelukannya pada sang adik.

Sander tampak tidak tersinggung dengan ucapan Aston dan hanya balas tertawa kecil. Aston mengabaikan pria itu dan kembali berfokus pada adiknya. Ia mengelus dan merapikan helaian rambut Nayela dengan lembut.

"Apa Nay baik-baik saja selama Kakak pergi, heum?" tanyanya. Sang empunya nama pun mengangkat wajahnya dan mengangguk mengiakan.

"Sander menjagaku dengan sangat baik, Kak."

Aston melirik Sander sinis mendengar ucapan adiknya. Dan Sander justru memberikan senyum menawan miliknya yang bagi Aston tampak seperti ejekan. Sialan.

"Kakak, apa Kakak ingin makan siang bersama kami? Boleh 'kan, Sander?" tanya Nayela sembari menatap ke arah sang tunangan.

Sander tersenyum hangat. "Tentu saja boleh, Rey. Masuklah, As."

Ketiganya berjalan menuju ke ruang makan untuk menikmati acara makan siang bersama. Percakapan didominasi Nayela, tentu saja. Gadis itu tampak sangat senang sang kakak telah kembali dari perjalanan bisnisnya.

Sander hanya diam dan menyimak percakapan kedua orang itu. Sesekali ia akan menjawab jika Nayela menyebut dirinya. Namun selebihnya, ia hanya diam dan tersenyum hangat.

Memperhatikan interaksi sepasang kakak adik itu membuat Sander sedikit iri. Dirinya hanyalah anak tunggal, dan tinggal di kediaman sebesar ini seorang diri sering membuat Sander kesepian.

Andai saja ia memiliki saudara seperti Everdine bersaudara ini, ia pasti tidak akan kesepian.

"Sander?"

Suara panggilan dengan nada yang lembut dan halus disertai sebuah sentuhan hangat di punggung tangannya, membuat Sander tersadar dari lamunannya.

Ia menengadah dan mendapati kedua bersaudara itu tengah memandang dengan tatapan berbeda; Aston dengan sorot mata malasnya dan Nayela dengan sorot mata yang penuh kekhawatirannya.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Nayela dengan wajah yang menatapnya sedih dan khawatir.

Sudut kecil di hati Sander serasa tergelitik mendengar suara halus dan perhatian manis dari tunangannya itu. Dirinya tak pernah merasakan yang seperti ini setelah sekian lama, tapi ia tidak pernah melupakan rasanya.

Perasaan hangat ini. Perasaan nyaman karena diperhatikan oleh orang lain.

Sander tersenyum hangat dan membalik telapak tangannya sehingga tangan Nayela berada di dalam genggamannya. Ia juga mengeratkan genggaman tangan itu lalu menyahut.

"Aku baik-baik saja, Rey." Ia lalu menjatuhkan kecupan ringan di punggung tangan Nayela membuat Aston menyemburkan air minumnya.

•••

Sander meletakkan sepasang piring kecil dan cangkir berisi teh di hadapan Aston lalu meletakkan sepasang lain untuk dirinya sendiri sebelum mengambil posisi duduk di hadapan pria yang akan menjadi kakak iparnya itu.

"Bagaimana kabarmu, As?" tanya Sander basa-basi sembari menyesap pelan minumannya yang masih mengepulkan uap panas beraroma khas.

"Sangat buruk. Apalagi mengetahui kaulah orang yang akan menikah dengan adikku," jawab Aston tenang berkebalikan dengan makna dari kalimat yang dilontarkannya.

Sander terkekeh pelan. "Jangan terlalu buruk menilaiku, Pal. Aku tidak seburuk pemikiranmu," sahutnya bersahabat.

"Kau benar," jeda Aston lalu menyesap tehnya. "Kau bisa jadi jauh lebih buruk dari pemikiranku. Oh, dan koreksi sedikit, I'm not your pal."

Kali ini Sander tak menyahut, tapi bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang tidak biasa. Aston meliriknya dalam diam. Dia bukan orang bodoh yang tidak menyadari ekspresi itu.

"Look, jika kau memiliki masalah padaku, mari selesaikan berdua saja. Aku tak tahu apa yang ingin kau lakukan pada adikku, tapi kumohon jangan bawa dia dalam masalah kita," ucap Aston langsung pada intinya.

Ia meletakkan cangkirnya dan menatap Sander lamat-lamat. Pria itu pun melakukan hal yang serupa lalu menundukkan kepalanya sesaat sebelum mengangkatnya dan memberikan senyum berbeda pada Aston.

"Kenapa kau berkata begitu, As? Aku tidak memiliki masalah apa pun denganmu. Aku ingin menikahi Reya karena aku nyaman berada di dekatnya," ucap Sander yang tak semuanya adalah kebohongan.

Aston berdecih. "Aku mengenalmu empat tahun. Kau tak bisa menipuku," katanya.

"Aku tak pernah menipu siapa pun," ujar Sander. "Dan koreksi sedikit, kita tidak seakrab itu, Aston. Kau tidak mengenal diriku dengan baik."

Aston tidak menjawabnya. Tangannya terulur untuk meraih cangkir tehnya. Ia memutar gelas itu pelan sebelum kembali menyesap isinya.

Meski tampak tenang di luar, Aston berkecamuk di dalam. Ia memang tidak akrab dengan Sander, tapi ia tahu pria itu. Pria yang selalu menjadi saingannya saat di universitas dulu.

Di mata orang lain, mungkin Sander adalah pribadi yang baik dan sopan. Dia menjadi idola para gadis bahkan hingga detik ini. Para dosen juga menganggumi Sander karena kejeniusan pria itu.

Namun Aston tahu, hidup Sander tidak sesempurna itu. Aston tahu orang tua Sander meninggal secara tragis saat pria itu bahkan belum sempat menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas.

Menurut kabar beredar, pasangan Donovan itu meninggal akibat kecelakaan beruntun sehingga menyebabkan mobil mereka terjun ke jurang.

Seharusnya tak mudah bagi Sander untuk menjalani kehidupan yang normal dengan baik setelah tragedi semacam itu.

Mendekati mustahil, Sander bisa pulih secepat itu, apalagi dengan fakta bahwa ia tak memiliki keluarga lain yang mendampinginya.

Tidak. Aston bukan iri. Ia hanya kesal karena Sander tampak baik-baik saja dan tak pernah terlihat lemah. Baginya, Sander sangatlak munafik dan naif. Sok bersikap kuat dan tangguh, padahal dia adalah pria paling pecundang di dunia.

Dan bagian paling mengesalkannya adalah, itu mirip dengannya.

Aston menghela napasnya. "Terserah. Tapi ingatlah satu hal, aku tak segan membuatmu hancur dengan tanganku sendiri jika kau berani melukai adikku."

🍁Tbc🍁

Bale's Note:
Halo! Terima kasih buat temen-temen yang masih setia nungguin cerita ini meskipun aku udah ngilang lama banget🥲 Maaf juga belum bisa update serutin dulu karena aku udah mahasiswa tua nih huhu😌😭

Btw, jangan lupa tinggalin jejak yah! Aku liat-liat kayaknya kalian pada demen baca doang tapi engga kasih aku vote🥲 

Atau aku yang salah paham ya? Kalian bacanya pada ngulang sampe lebih dari 5x makanya viewers-nya buanyak gitu? Wkwkw, yaudah gapapa deh😌

Ciao💜

In Order To Save The Male Antagonist's LivesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang