2. Dua

901 182 211
                                    

Tampak asing baginya. Dia belum pernah melihatnya selama ia bersekolah di Nusantara High School. Kehadiran Cakra rupanya menyadarkannya .

Mata hazel menatap ke arahnya sehingga keduanya saling bertatapan. Tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Sangat cantik. Gadis itu langsung memutuskan kontak mata dengan laki-laki di hadapannya.

"Berani ya?"

Dirinya tidak mengerti apa maksud Cakra. Ia sudah takut terlebih dulu ketika melihat Cakra dengan wajah memerah seolah menahan amarah. Apakah dia melakukan kesalahan besar?

"Maksudnya?" dia memberanikan diri untuk bertanya.

"Berani nyentuh piano gue? Lo siapa?" sindirnya.

Telapak tangannya kini basah. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang Cakra katakan.

"Itu piano gue. Bukan sembarang orang, apalagi lo bisa main-in" tegasnya, Cakra menjelaskan lebih dulu. Kesal karena tidak ada respon dari lawan bicaranya dan tidak mau membuang waktu apalagi diganggu.

'Angkuh'
Itulah yang ada di pikiran gadis itu tentang laki-laki di depannya. Hanya sebuah piano di Ruang Seni dan itu membuatnya marah padanya. Lagi pula, dia tahu piano atau alat musik apa pun di Ruang Seni, siapa saja boleh memainkannya, bukan? Dasar aneh.

Malas menaggapinya. Ia pun beranjak dari tempatnya duduk. Untuk meninggalkan ruangan.

Cakra yang merasa tidak dihargai segera mengambil tindakan cepat. Dia dengan cepat mencekal lengan gadis yang ingin berjalan keluar. Tidak semudah itu, siapapun yang berurusan dengan Cakra tidak mudah kabur.

"Tidak ada niat untuk meminta maaf?" dia bertanya dengan menyorotkan tatapan marah kepadanya .

"Apa sih! Lagi pula gue cuma main sebentar. Lepasin!" geramnya.

"Lo gak tau!"

"Ok, gue minta maaf udah sentuh piano milik lo itu. Biarin gue pergi."

Cakra terpaksa melepaskan cekalan tangannya. Langkah kaki gadis itu dengan cepat meninggalkan ruangan dan meninggalkannya sendirian.

Mood-nya hilang. Ingin menenangkan diri malah dibuat emosi. Cakra mendaratkan pantatnya di bangku piano kesayangannya. Menekan nada do-re-mi-fa-so-la-si-do. Memeriksa piano yang sudah lama tidak dia mainkan.

Jari-jarinya dengan terampil menguasai nada-nada pada piano. Dia memainkan lagu All I Ask-Adelle. Lirik lagu itu sepertinya menggambarkan dirinya.

Keempat sahabatnya mengikuti keberadaan Cakra. Mereka sudah tahu tempat dia biasa bolos kelas. Tentu saja kehadiran mereka mengganggu kenyamanan Cakra.

"Tas lo. Sekolah cuma nenteng tas doang."
kata Andre saraya melempar tas milik Cakra tepat sasaran ke wajah tampannya.

"Sialan."

"Eh, abis ini nongki lah yuk " ajak Rian.

"Kalian aja, gue enggak."

"Ah lo mah, udah lama nih ga nongki bareng lo Cak." sahut Ezra dan teman-temannya mengangguk.

Pasrah. Cakra menyetujui ajakan temannya untuk menongkrong. Menghitung bisa mengurangi kebosanannnya.

'Warkop Abah' tempat dimana mereka menongkrong. Mereka bahkan menyebutnya base camp. Karena murah. Tidak hanya itu, Warkop Abah cukup nyaman untuk sekedar ngopi atau berkumpul.

"Cakra tumben di sini, biasanya gak ikut kumpul?" tanya Abah dengan khas logat sundanya.

"Ah iya bah, Cakra sibuk"

"Sibuk ngapain barudak jaman sekarang?"

"Sibuk main game." jawabannya diakhiri dengan tawa lepas hingga menampilkan deretan gigi putih miliknya.

CAKRAWALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang