3. Tiga

774 177 171
                                    

"Kanan bego!" tekan Cakra.

Ibu jarinya mahir mengotak-atik joy stick yang ia pegangnya. Matanya tetap fokus pada layar didepannya. Terus menerus mengumpat ketika dia melakukan kesalahan dalam permainan.

"Lo yang ke sini lah!" Chandra tak mau kalah dengan skor Cakra. Ia terus membuat strategi yang aman dari serangan Cakra

Tawa mereka memenuhi ruangan dan menciptakan suasana yang bersahabat.

Cakra mengepalkan tangannya di atas kepala. Meninju udara. Mengapresiasi kemenangannya.

"Kan gue yang menang lagi." Cakra menaikkan sebelah alisnya.

"Iya hari ini, liat lain waktu."

Aroma pisang goreng melekat. Makanan favorit kedua bersaudara itu sejak kecil. Mereka menghentikan game PlayStation nya.

"Mama buatin pisang goreng ni." ujarnya meletakkan sepiring pisang buatannya di atas meja hadapan mereka.

Matanya berbinar. Seperti monyet yang menginginkan pisang. Dengan semangat 45 nya tidak ada sepersekian detik pisang goreng sudah ada dalam mulutnya.

Ibunya hanya bisa menggelengkan kepalanya, lihat saja kelakuan ke-dua putranya.

"Cakra Chandra, kalian jadi kan kuliah di Spanyol?" tanyanya.

"Iya ma." jawab Chandra dengan yakin.

Memang, Chandra mempunyai niat untuk kuliah di Spanyol. Keinginan ibunya. Dia ingin mencoba hidup mandiri di Spanyol selama kuliah dan menata masa depannya.

Senyum ibunya melebar saat mendengar jawaban Chandra. Dan bagaimana dengan Cakra?

"Cakra pikir-pikir dulu ma."

"Kenapa Cakra? Kamu mau kuliah di sini?."

Cakra menggelengkan kepala, memandangi wajah ibunya yang seperti kecewa dengan jawaban dirinya. Ia tidak ingin membuat wanita tercintanya kecewa lagi pada dirinya. Yang ia inginkan hanya sebuah senyuman yang selalu merekah pada wajah ibunya.

"No, nilai Cakra banyak yang rendah. Cakra mau usaha lagi sebisa Cakra. Dan menuruti keinginan mama."

Lega. Putra pertamanya sudah lumayan membaik dari kejadian yang menimpa dirinya beberapa hari lalu. Ia mengerti sebenarnya Cakra bisa, tetapi Cakra tidak menunjukkannya.

Menyudahi aktivitas bersama saudaranya. Cakra memilih berteman dengan bulan dan bintang di balkon kamarnya.

Menatap bintang yang gemerlap dilangit. Bulan setia menemani bintang untuk terus bersinar. Sama seperti Cakra dan Sabrina 'dulu'. Untuk beberapa alasan ketika dia melihat alam semesta malam itu akan menjadi Sabrina .

Bintang paling terang. Menggambarkan Sabrina yang seolah-olah melihatnya dari atas. Senyuman terukir diwajahnya. Melambaikan tangannya di tujukan pada bintang paling terang.

"Hai, pasti kamu Sabrina kan?." kekehnya.

"Sabrina, aku baik-baik aja di sini. Mencoba berdamai dengan kenyataan walaupun itu sangat sulit."

Cakra menghela nafasnya. Dia menyadari bahwa dia seperti orang gila yang berbicara pada dirinya sendiri. Namun, ini adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan untuk menyampaikan isi hatinya.

"Mama masih ingin aku kuliah di Spanyol Sa, kamu tahu sendiri kan aku kurang pandai. Beda sama Chandra. Semua hal Chandra bisa."

"Aku bingung Sa." sambungnya.

Ia kembali menatap bintang itu. Menampilkan deretan giginya. Tak lupa lesung pipitnya yang melengkapi wajahnya yang tampan.

"Ini kan yang pengen kamu lihat?." Cakra menunjuk lesung pipinya.

CAKRAWALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang