14. Empat belas

319 41 9
                                    

Tak terasa sudah hampir tiga jam Hira dan Cakra bertemu untuk saling mengobrol. Cakra memutuskan mengantarkan Hira, karena hari juga mulai malam.

Hira melepas helm yang ia pakai. Memberikannya pada Cakra. Mengulas senyuman manis. "Makasih ya Cak."

Malam ini cukup membuatnya senang. Hanya sekedar melihat kota saat malam hari. Atau menghirup udara bebas. Pikirannya menjadi segar.

Walaupun ada sedikit masalah saat pria yang ia ketahui sebagai ayah Cakra tiba-tiba saja muncul, dan mengharuskan ia untuk mengetahui derita Cakra sejak kecil.

Hira menatap punggung Cakra yang lama kelamaan menghilang dari pandangannya. Suara motornya masih terdengar jelas, tetapi orangnya sudah menghilang.

Ia menyipitkan matanya. Mobil hitam terparkir di depan rumah. Tidak asing untuknya.

Langkah Hira dengan cepat memasuki rumah. Gorden rumahnya terbuka, tentu saja ia dapat melihat dengan jelas di dalam sana. Matanya terbelalak saat melihat seorang laki-laki yang sedikit lebih tua darinya, sedang bercengkrama ramah dengan orang tuanya.

Ragu-ragu ia membuka pintu. Melenggang pergi ingin memasuki kamar.

"Hira, sini."

Ucapan ayahnya membuat langkah Hira terhenti. Membalikkan badan dan menatap mereka.

"Hira mau ke kamar pi." sanggahnya, ia sangat malas berhadapan dengan laki-laki tersebut.

"Yoga sudah lama menunggu kamu." ayahnya kini menyoroti ia dengan tatapan dingin.

Marcus selalu mengajarkan Hira cara menghargai orang. Tentu saja ia marah ketika Hira dengan santainya hendak pergi dan mengabaikan mereka.

Terpaksa Hira menuruti perkataan ayahnya. Ia mendaratkan pantatnya dikursi dekat ibunya. Menundukkan kepalanya.

"Hai Ra, apa kabar?" sapanya, sudah dua tahun terakhir ia tidak mendengar suaranya. Ada rasa aneh yang mendekam.

Hira berganti menatapnya. Sempat memberi senyuman tipis untuk mencairkan suasana. "Baik, kamu?"

Ia mengangguk-angguk. "Aku juga baik, boleh ngobrol sebentar? Di luar?"

Hira menyetujui ajakan Yoga. Melangkahkan kaki terlebih dahulu menuju kursi didepan rumahnya. Disusul yoga, duduk tepat disebelah Hira.

Kenapa Yoga harus kembali? Ia sudah cukup nyaman dengan kehidupannya sekarang. Tanpa ada dirinya.

"Ra, aku cuma mau minta maaf." pecahnya.

Hira menarik nafas dalam-dalam. Dadanya sesak bukan main. Ia teringat kejadian yang dulu ia alami. Rahangnya terkatup. Pandangannya lurus kedepan tidak mau menatap lelaki disampingnya.

"Kamu ke sini cuma mau bahas masa lalu?"

"Ga gitu Ra, aku belum merasa puas." elaknya.

"Belum puas buat aku menderita ya?" matanya memanas, amarahnya benar-benar sudah memuncak.

"Kenapa kamu selalu berpikiran negatif? Aku datang baik-baik loh."

Yoga meraih tangan Hira. Menangkup kedua tangan itu, menatap mata Hira yang sudah lama tak ia pandang.

"Maafin aku Ra, aku bodoh saat itu."

"Yoga, aku udah maafin kamu sejak itu juga. Sekarang udah ga ada yang perlu dibahas Yog, kamu ga perlu jauh-jauh ke sini buat itu." jelasnya, berlama-lama dengan Yoga malah membuat rasanya semakin dalam.

Ia menarik punggung Hira. Memeluk ke dalam dekapannya. Membelai lembut rambutnya. Menenggelamkan wajahnya di leher jenjang Hira.

"Aku sayang kamu." bisik Yoga.

CAKRAWALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang