11. Sebelas

319 57 9
                                    

Cakra memandang miris tembok yang menyisakan darah hasil dari perkelahiannya dengan Chandra. Tangannya terulur untuk mengambil seember air dan kain lap. Membersihkan sisa darah. Masih berbau anyir.

Lima menit, kemudian dirinya merebahkan tubuhnya yang terasa berat. Mencoba memejamkan mata, tetapi tidak bisa. Pikirannya masih dihantui oleh perasaan bersalah.

Menghabiskan waktu malamnya untuk push rank game Mobile Legend. Jari jemarinya bermain ke sana kemari. Matanya terfokus pada layar hp dengan kecerahan tinggi.

Double kill!

Triple kill!

Maniac!

You has been slained.

Tangannya menghantam kasur yang tidak bersalah. Mengumpat pada handphonenya.

"Anjing kok gue ke kill!"

Kembali menghabisi lawannya. Menghajar dengan skill yang dimiliki. Jangan diragukan Cakra bisa dibilang seorang pro player.

Godlike!

Legendary!

Victory

Cakra mengepalkan tangannya ke udara. Sebagai tanda ia memenangkan permainan. Satu kata yang ia tunggu jika bermain game ini. Menang beberapa kali. Menjadi mood booster nya.

Berjam-jam. Matanya tidak mengenal lelah ketika sudah menyatu dengan game. Hingga matahari mulai terbit dari ufuk timur. Sinar menyorot tirai kamarnya.

"Jam berapa sih, kok udah pagi aja." ia bergeming, melirik kearah jam yang menempel pada dinding.

Alisnya terangkat. Memukul telapak tangannya ke dahi. Sudah hampir pukul setengah enam. Artinya ia tidak tidur? Dan bermain game kurang lebih delapan jam? Yang benar saja.

Kruukk

Suara itu berasal dari perutnya. Cacing yang didalamnya sudah memberikan kode untuk makan. Beranjak dari tempat tidurnya, berjalan gontai ke dapur.

Celingukan. Matanya mencari-cari ke kanan ke kiri. Mengusap perutnya. Membuka tudung saji yang terletak di atas meja makan. Kosong. Yang tersedia hanya telor dan mie instan. Bosan hanya makan mie setiap waktu.

Akhirnya, Cakra memilih membeli bubur ayam didekat kompleks rumahnya. Berjalan kaki kurang lebih 20 meter saja. Terlihat gerobak dorong dari ujung sana. Ramai pelanggan.

"Bang, gue buryam satu. Banyakin ayamnya."
pintanya kepada abang penjual bubur ayam tersebut.

"Yoi Cak, bentar ye antre dua."

"Duduk dulu situ." katanya, menunjuk sebuah bangku panjang dengan dagunya.

Cakra hanya mengangguk. Mereka sudah akrab sejak ia sering membeli bubur ayamnya. Terkenal bubur ayam paling enak di daerah itu.

Satu mangkuk berisi bubur panas sudah dihadapannya. Hidungnya terasa penuh dengan aroma lezat ini. Apalagi cacing-cacing diperut, sudah tidak sabar.

Menyuapkan sesuap demi sesuap ke dalam mulutnya. Nikmat. Ditambah udara pagi yang masih sejuk. "Bang, teh anget satu."

"Besar apa kecil?"

"Besar."

"Siap! Tehnya jangan manis-manis ye kan."

Cakra tertawa. Mengacungkan jempolnya.

Bahkan abang tersebut sudah hafal apa yang Cakra mau. Teh hangat pesanannya telah jadi. Memberikannya kepada Cakra.

CAKRAWALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang