18. Delapan Belas

179 18 7
                                    

Chandra melamun, masih memikirkan kejadian beberapa minggu lalu. Bagaimana bisa ayahnya yang sudah lama tidak ia lihat, bisa menemukan keberadaannya. Chandra memijit pelipisnya yang terasa pusing. Lalu mengusap gusar wajahnya.

Ia melangkahkan kaki untuk pergi ke kamar Cakra. Tidak ia temui kembarannya itu. Ya, sudah biasa jika Cakra pulang larut malam. Chandra melihat mamanya yang masih sibuk mengotak-atik resep bolu barunya.

"Ma," Chandra mendekati mamanya. Melihat mamanya yang sangat giat.

"Kenapa, sayang?" jawabnya, mama menoleh sekilas ke arah Chandra dan melanjutkan pekerjaannya.

"Resep baru lagi?"

Mama hanya mengangguk, ia sedang fokus membuat bolu.

"Ma, tau Cakra kemana?" lanjut Chandra.

"Mama gatau, coba cari di kamar dia."

"Ga ada Ma,"

"Chandra balik kamar aja deh." tidak mau menganggu mamanya, Chandra memutuskan untuk kembali ke kamarnya.

Saat ingin membuka pintu kamarnya, terdengar suara motor Cakra di depan rumah. Segera ia menuruni anak tangga untuk menemuinya.

Terlihat raut wajah Cakra berbinar-binar. Biasanya Cakra pulang dengan wajah datar pucat seperti mayat. Tidak dengan malam itu.

"Kesambet apa lo, seneng banget?" sarkasnya menyambut kedatangan Cakra.

"Kepo." Cakra melenggang pergi melewati Chandra yang sudah menunggunya daritadi.

Chandra menarik jaket yang dikenakan Cakra. "Bentar, gue mau ngomongin sesuatu."

Cakra mengangkat sebelah alisnya.

"Ke kamar gue aja."

Cakra mengikuti Chandra dari belakang. Menutup kembali pintu kamar rapat-rapat. Mereka berdua duduk bersebelahan di balkon kamarnya.

"Apa?" Cakra to the point, ia tidak mau bertele-tele dan ingin segera istirahat.

Chandra mengatur posisinya agar enak untuk bercerita. Ia menghadap Cakra, dan memasang wajah serius.

"Beberapa minggu yang lalu gue ketemu sama suruhan bokap."

Cakra langsung menoleh, menatap mata Chandra tajam. "Shit. Kejadiannya gimana?"

"Waktu itu gue lagi pulang sekolah, santai-santai di Wacana Alam. Gatau darimana tiba-tiba aja mereka dateng. Berantem."

"Dan lo tau? Ada Tono juga."

Chandra menjelaskan semua kronologi yang dia alami. Cakra benar-benar mendengarkannya.

Cakra menggebrak meja yang ada disampingnya. Menghembuskan nafasnya. Mengatur emosinya agar tidak membahayakan dirinya dan orang terdekatnya.

"Bangsat. Mau apa sih orang itu?"

"Gue juga bingung, pokoknya kita harus lebih hati-hati Cak. Kayaknya mereka masih ada disekitar kita." anti-anti Chandra.

"Gue bakal kasih pengaman buat rumah ini. Jangan kasih tau mama soal ini, jangan bikin dia stress." timpal Cakra.

Saat ini mereka berdua benar-benar khawatir. Jika papanya kembali datang dengan mereka, pasti saja ia bakal memintanya untuk kembali rujuk dengan mamanya. Itu sangat tidak mereka inginkan.

"Oke, gue bakal pikirin ini. Gue mau istirahat." ucap Cakra, ia kembali ke kamarnya.

Cakra menatap langit-langit kamar. Malam ini ia tidak bisa tidur. Sudah berkali-kali ia memejamkan mata tetapi nihil. Cakra masih memikirkan kejadian yang Chandra alami.

Benar-benar membuatnya tidak nyaman dan harus waspada saat ia pergi kemanapun. Padahal, beberapa tahun lalu saat papanya pergi meninggalkan mereka. Ia sudah bisa menerima keadaan, entah mengapa lelaki itu kembali hadir dalam hidupnya.

__________

Sinar mentari menyorot tajam bola mata coklat milik Cakra. Ia membuka perlahan matanya. Melirik jam beker disampingnya. Matanya membelalak, jam menunjukan pukul tujuh pagi. Artinya ia kesiangan.

Semalaman Cakra tidak tidur. Ia hanya tidur kurang lebih 2 Jam. Matanya sangat berat untuk membukanya.

Cakra segera menyelesaikan rutinitas paginya untuk berangkat ke sekolah. Tidak sempat ia makan roti tawar bertabur coklat kesukaannya.

Membelah macetnya ibu kota. Mentari sudah menyengat kulitnya. Cakra menambah kecepatan motor hingga 80km/jam. Dan benar, gerbang sudah ditutup. Ia tidak bisa memikirkan motornya di dalam sekolah. Ya, ia memutuskan untuk menitipkan motornya di seberang sekolah.

Cakra berlari menuju belakang sekolahnya. Menatap tembok didepannya yang amat tinggi. Tidak banyak berfikir, Cakra mencoba memanjat tembok tersebut. Walaupun beberapa kali gagal.

BRUGHH!

Cakra berhasil memanjatnya. Ia berjalan mengendap-endap menuju kelasnya. Untungnya tidak ada guru yang melihatnya.

Ia mengintip di dalam kelasnya, belum ada guru. Padahal hari ini adalah jadwal kelasnya untuk ulangan harian.

Cakra memasuki kelas tanpa perasaan takut. Ia mengelus dada. Membuang nafasnya kasar.

"Untung belum ada Bu Rin."

"Kalau ada, bisa mati gue."

Monolognya.

Belum ada beberapa menit Cakra senang karena hari ini adalah keberuntungannya. Bu Rin dengan sepatunya yang tinggi masuk kelasnya disertai wajahnya yang kesal.

"Cakra Sadena, ibu mau bicara."

Cakra mengerutkan kening, bukannya tidak ada yang mengetahui aksi Cakra tadi pagi? Apakah Bu Rin punya mata-mata untuk mematainya?

"Kenapa Bu?" Cakra menghampiri Bu Rin, yang sudah berkacak pinggang.

"Kenapa Bu, kenapa Bu. Ibu sudah lihat kamu memanjat tembok belakang sekolah ya. Jangan pikir di belakang sekolah juga tidak ada CCTV. Ikut Ibu ke ruang BK." jelasnya panjang lebar.

Cakra hanya bisa pasrah, hukuman apa lagi yang akan ia dapatkan.

Namun, dari kejadian Cakra tadi. Teman sekelasnya senang. Karenanya, mereka tidak jadi ulangan harian. Syukurlah.

__________

Thank u yang udah baca sejauh ini. Please jangan jadi silent reader ya. Berikan vote atau comment untuk membangun cerita ini. 💗🌷




CAKRAWALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang