4. Empat

655 176 122
                                    

Langit Jakarta sore ini sungguh indah. Warna kuning jingga dan kawanan burung yang melengkapi langit.

Sangat lelah, pukul empat sore mereka baru saja selesai berkutat dengan soal-soal yang harus mereka pecahkan. Semuanya harus benar maka mereka bisa pulang? Sistem seperti apa yang diterapkan guru di sekolah nya? Ini menyiksa.

"Capek banget gila." keluh Ezra.

"Pake banget!" Andre menimpali, kedua tangannya mengusap wajah frustasi.

Cakra yang mendengar keluh kesah sohibnya ikut menimbrung. "Bisa gila beneran nih kita."

"Ngeluh teros ya bro." Satria yang sedari tadi hanya diam dan menikmati batang rokoknya hingga mengeluarkan asap.

"Ngerokok teros ya bro." sindir Rian.

"Ngaca!" seru ke-empat laki-laki itu serempak.

Rian tersontak kaget. Seruan mereka tepat di telinganya, menyebabkan dering keras.

"Goblok! Gue bisa budeg nih."

Mereka menertawakan Rian yang tengah sibuk meneriksa kedua telinganya takut pendengarannya tidak berfungsi dengan baik. Sangat lebay.

Kotak rokok yang berada di atas meja mengalihkan pandangan Cakra. Dia meraih kotak rokok milik Satria. Mengambil satu batang dan mengapit di antara telunjuk dan jari tengahnya. Menyulutkan api di ujung rokok yang sudah siap ia hisap.

Candu.

"Eitss udah ada yang berani ngerokok nih." lontar Andre.

Mereka ber-empat kecuali Satria. Belum pernah mereka melihat seorang Cakra merokok dihadapannya. Ini adalah hal yang sangat langka. Bagaimana tidak? Seseorang yang sangat membenci rokok malah menjadi pecandu rokok?

"Awas cak, nanti cepet mati." celetuk Ezra menirukan ucapan Cakra yang biasa dia lakukan saat teman-temannya merokok. Teman-teman yang lain hanya tertawa. Hanya sebuah candaan.

"Bacot." Cakra tidak menggubris temannya yang terus mengamatinya.

"Club, gas?" sambungnya masih menikmati rokoknya.

"What?! Ga salah Cak? Ngajak kita-kita nge-club?"

Andre yang paling heboh diantara mereka. Paling jago mencairkan suasana. Memiliki selera humor yang recehan. Kata orang sih 'receh banget lo' ya, teman-temannya selalu mengatakan itu padanya.

"Gas aja sih gue." jawab Rian.

"Lainnya mau kagak?" lanjutnya.

"Ayo, ikut semua." Satria mengintruksi.

Tanpa perdebatan mereka menyetujui ajakan Cakra. Karena mereka sudah lama tidak bermain di tempat seperti itu. Dan juga ingin merilekskan otak yang sudah bersarang rumus-rumus matematika.

Membereskan diri dan bersiap-siap pergi bersama sohibnya. Mengenakan jaket kulit hitam dan ripped jeans yang memperlihatkan sobekan pada bagian lutut. Menyemprotkan parfum aroma mint dengan sedikit tambahan cokelat. Khas aroma tubuh Cakra.

Membelah kota Jakarta dengan moge-nya. Malam ini benar-benar mendukung dirinya untuk berbuat hal itu lagi.

Langkahnya memasuki ruangan yang beberapa hari lalu kakinya menapakkan dirinya di sana.

"Sana yok yang rame." Ezra mengarahkan teman-temannya untuk mendekat dengan kerumunan wanita-wanita yang asik meminum bir.

Satria memesankan bir berdosis rendah untuk teman-temannya. Tidak ingin mereka mabuk berat seperti Cakra sebelumnya.

"Hi, sendiri?" sapa salah satu wanita club pada Rian.

Ia mengangguk mengiyakan.

Tanpa persetujuan Rian. Tangan wanita itu mengalungkan lengannya pada leher jenjang Rian. Mengamati detail wajahnya.

CAKRAWALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang