24. Dua Puluh Empat

142 13 1
                                    

Hira mencopot earphone-nya dan menoleh saat merasa ada yang menepuk bahunya. Cakra dengan gaya khasnya yang selalu memamerkan dimple indahnya itu, sejak mereka berstatus sebagai kekasih.

"Cakra?"

"Pantesan aku panggil-panggil nggak nyahut, ternyata disumbat earphone, ya" katanya, Cakra mengambil alih duduk disebelah Hira.

Di rooftop sekolah. Hira menjadi senang menenangkan dirinya disaat kimia, fisika, hingga matematika menghantui pikirannya.

"Kebiasaan, kenapa?"

"Aku mau ajak kamu, ke suatu tempat."

Hira lebih memfokuskan dirinya dengan Cakra, jelas tampak kerutan didahi Hira.

"Kemana, Cak?" tanyanya, bingung.

"Ada, nanti pulang sekolah. Kita langsung pergi kesana, ya?" jelasnya.

Hira menyetujui ajakan Cakra, tidak tahu dirinya akan dibawa kemana. Selang beberapa waktu, bel pergantian jam berbunyi.

"Aku ke kelas dulu, ada kelas Bu Is." pamit Hira, sembari mengemasi buku yang ia baca.

Cakra menghela nafas panjang. "Sekali-kali bolos sama pacar, gapapa kan?"

Sontak Hira menonyor kepala Cakra hingga terhuyung ke samping. Lalu disambar dengan pelototannya yang terlihat ingin memangsa musuhnya.

"Heh! Salah konsep."

"Kelas dulu, ya." ucapnya, berlari kecil meninggalkan Cakra sendiri ditempat tersebut.

Cakra tertawa melihat Hira seperti itu, belum pernah ia lihat sebelumnya Hira akan marah-marah seperti ibu-ibu komplek.

"Iya pacar, jangan marah-marah lagi."

Cakra menatap langit-langit yang saat ini bercuaca mendung, tapi belum juga turun rintikan hujan.

Dirinya bermonolog.

"Perlakuan lo itu ya, Ra. And you're sweet smile. Waktu lo bilang, takut pacaran?"

"So, that's it, Ra?"

"You know what, Ra? Mungkin gue harus benar-benar menaklukkan lo. Gue mencintai lo seperti itu. I think i'm in love, i find i love you."

__________

Dan sore ini berbeda dari sore sebelumnya. Ini pertama kali, sore bersama Hira dengan detak jantung Cakra tak terhitung seberapa cepatnya.

Banyak sekali pertanyaan dari Hira sedari tadi, dan Cakra hanya menjawab.

"Bentar lagi sampai, nanti kamu tau sendiri."

Menempuh waktu yang cukup lama, sekitar setengah jam perjalanan. Seperti dikejar angin dan menghindari hujan, karena cuaca yang sangat mendung.

Mereka memijakkan kakinya disuatu tempat. Mata Hira terkunci disebuah tempat persinggahan akhir. Rumput hijau yang terpotong rapih, menjadi karpet tuan rumah. Gundukan tanah yang dihiasi dengan sebuah nisan, sebagai mahkota tuan rumah.

Aroma khas tanah pemakaman pekat didalam indera penciumannya. Terlihat Cakra yang mematung, tidak mengajaknya atau menjelaskan apa maksud dia membawanya kemari.

"Cak? Kita mau ke makam siapa?" tanyanya, ia menggerakkan lengan Cakra yang bersedekap.

Cakra tidak menjawab, ia menggandeng tangan Hira masuk ke dalam area pemakaman. Tidak ada obrolan diantara mereka. Hingga sampai disuatu gundukan tanah merah.

Terlihat sebuah nama perempuan 'Sabrina Ellen'. Rumahnya terlihat ditumbuhi rumput-rumput liar yang sudah agak panjang. Disampingnya, terdapat mawar putih dan merah yang sudah nampak layu.

Dengan sigap, Hira mencabuti rumput-rumput tersebut. Meletakkan bunga mawar yang memang dirinya dan Cakra beli sebelumnya.

Cakra mendoakan perempuan yang diketahui bernama Sabrina Ellen, dan di ikuti oleh Hira disampingnya.

Mengusap batu nisan dihadapannya. Kesedihan terlihat jelas dibola mata Cakra. Hira mencoba menenangkannya.

"Udah tau kan sekarang, Ra?" Cakra membuka suara kali ini.

Hira menggeleng. Jelas dia masih menyimpan tanda tanya besar dikepalanya.

"Ini makam siapa, Cak?"

"Sabrina, mantanku."

Hira tidak menyangka bahwa Cakra akan mengatakan demikian. Mungkin Hira sedang berusaha memahami perkataannya.

"Satu tahun silam dia meninggal." lanjutnya.

"Karena sakit keras."

Cakra masih terus memandangi batu nisan tersebut.

Tangisan Hira pecah begitu saja, ia tidak dapat menahannya. Hatinya ter-iris. Apakah Cakra masih mencintai Sabrina?

"Perasaan aku ke Sabrina udah beda, Ra. Semenjak ada kamu." kini Cakra berganti menatap lekat mata hazelnya yang bergenangan.

Cakra meraih tangan Hira, mengarahkan ke batu nisan bernamakan Sabrina. Lengkungan Cakra terlihat kembali.

"Sabrina, ini Hira. Perempuan yang aku cintai saat ini. Kepergian kamu membuat aku menemukan cinta yang sebenarnya."

Jelas saja, Hira hanya bungkam. Ia masih memproses kejadian di hitungan detik saat itu juga.

Hira menangis?

Cakra langsung memeluk tubuh Hira. Tidak ada balasan darinya, Cakra hanya merasakan tubuh Hira berguncang terisak.

"Hey, are you okay?"

CAKRAWALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang