20. Dua Puluh

191 13 5
                                    


"Makan dulu yuk, Ra" ajak Cakra sembari memberi helm padanya. Lalu, menghidupkan mesin motornya hendak mengisi perut.

"Ayo aja gue mah" Hira setuju dengan ajakan Cakra. Pasalnya perutnya sudah keroncongan dari tadi.

Ia memakai helm yang Cakra berikan. Berpegangan erat pada jaket kulit hitam milik Cakra. Hira takut dirinya akan terjengkang ke belakang akibat Cakra mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi.

Motor milik Cakra melaju dengan kecepatan normal. Membelah ibu kota yang semakin gelap semakin ramai. Ditambah lagi dengan anak sekolah yang berhamburan di jalan raya sehabis pulang sekolah. Menambah kemacetan bertambah tinggi.

Cakra dapat melihat wajah Hira yang terlihat tidak mood dari sisi spion kirinya. Bibir mungilnya mengerucut memberi kesan lucu. Cakra terkekeh.

"Jangan bete mulu, nikmatin aja berduaan sama gue di sela-sela macetnya Jakarta."

Hira mendelik, reflek melayangkan pukulan dipundak Cakra.

"Modus banget sih lo!"

"Lo tuh yang modus, pake kasih minum segala tadi." ucap Cakra diakhiri dengan seringai jahil.

Lagi-lagi Cakra membahas kejadian tadi pagi yang menimpa mereka. Sungguh, manusia yang sekarang berada di depannya sangat menyebalkan. Ingin sekali Hira meninju kepalanya sampai tersungkur.

"Udah ah, jangan bahas itu lagi."

Butuh waktu kurang lebih dua puluh menit untuk melaju ke tempat yang sudah ditentukan.

Hira melongo melihat gedung menjulang dan terkesan mewah tepat di depan matanya. Ia mengedipkan matanya berungkali. Helm yang ia kenakan juga masih terpasang di kepalanya.

Cakra memberi lambaian tangan di depan wajahnya. Mencoba menyadarkan Hira yang terlihat seperti orang kerasukan setan.

"Ra? Lo gapapa?"

"Nyawa lo kebawa angin ya, Ra? Padahal gue bawa motornya udah kecepatan normal kok." sambungnya lagi.

"E-eh?" Hira tersadar dari lamunannya.

"Cak, lo yakin mau makan di sini?" tanyanya, meyakinkan Cakra. Dirinya belum pernah sama sekali makan di restoran se-mewah ini.

Cakra mengangguk, ia membantu melepaskan helm yang juga masih terpasang di kepala Hira. Lalu menggandeng tangannya dengan tangan kiri Cakra yang bebas.

Mereka masuk ke dalam restoran, memilih tempat di lantai 3 yang letaknya berada di outdoor. Pemandangannya tidak kalah jauh dari restoran-restoran terbaik di penjuru kota.

Terlihat ramainya kota Jakarta dari atas. Angin sepoi yang menyibak rambut mereka, memberi suasana sejuk dan damai. Bonusnya adalah bisa melihat matahari tenggelam, sering di sebut sunset.

Pandangan Hira tidak lepas dari langit yang mulai berubah warna menjadi jingga. Sebuah lengkungan tercetak diwajahnya. Tanpa sadar Cakra ikut tersenyum terpesona akan kecantikan Hira yang tidak kalah cantik dengan suasana saat itu.

"Lo suka?" tanyanya spontan.

Hira beralih menatap Cakra sebentar, pandangannya kembali kepada langit jingga tersebut.

"Gue suka langit,"

"Gue juga suka senja"

Cakra mengangguk mengiyakan. Ia menyelipkan anak rambut Hira yang menghalangi wajah cantiknya.

"Kalau gue, suka lo."

Deg. Jantungnya mendadak berhenti. Kini detak jantungnya bertambah cepat, rasanya ia ingin menghilang saat itu juga.

CAKRAWALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang