22 • Perpisahan di Ujung Senja

70 26 0
                                    

🍄🍄🍄🍄

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🍄🍄🍄🍄

……………..
“Bintang yang bertaburan di langit malam, bukannya lebih indah daripada senja yang hanya datang sebentar, ya?”
______________________________



Lembayung kejinggaan tampak menghiasi langit sore pukul lima. Waktu senja, waktu di mana penyair banyak mendapatkan inspirasinya.

Kemudian, di taman rumah sakit, tempat para pasien menghirup udara segar setelah seharian mencium bau obat-obatan, ada sepasang kekasih sedang duduk berdua tanpa bersuara.

Aira hanya diam, duduk di samping Agha matanya sibuk mencari informasi yang sedang dilakukan seorang pasien anak-anak berusia sepuluh tahunan. Dia duduk di kursi roda tengah tertawa bersama orang tuanya. Aira juga melihat hal yang sama.

"Apa yang mau dibicarakan, Ra?" tanya Agha pada akhirnya.

"Kita," jawab Aira akhirnya menoleh, mempertemukan iris legamnya pada manik mata Agha yang terlihat sangat cantik diterpa cahaya langit senja.

"Ah, sebelumnya, boleh gue tanya sesuatu?" Agha diam tidak menjawab namun lelaki itu menatapnya seolah menanti pertanyaan tadi. "Kapan waktu terbahagia lo?"

Wajah lelaki itu beringsut turun, jatuh menatap tanah yang dia tapaki. Seolah dia tidak pernah punya itu. Seolah dia tidak pernah bahagia.

"Kalau gue, waktu lo yang ada di mimpi gue jadi nyata. Lo tau? Gue nggak pernah membayangkan sebelumnya, kalau lo punya perasaan yang sama kaya gue."

Agha diam, sibuk meremati lengannya sendiri.

"Ga, lo boleh pergi, kalau misalkan bahagia lo bukan saat bareng gue. Lo boleh pergi, kalau misalkan Andara adalah sumber bahagia lo," ucap Aira kembali menatapi anak laki-laki yang sekarang tengah menatapi langit sore hari ini dengan tenang.

Kemudian, lengannya yang sedingin es dengan berani menerpa permukaan kulit tangan Aira.

"Gue nggak akan menahan lo, kalau bareng gue lo nggak bahagia, gue serahkan semuanya sama lo," ucap Aira membuat tatapan Agha bertambah sayu.

"Lo mau kita pisah?" tanya Agha, suara beratnya terdengar bergetar.

"Ya, lo sadar, nggak? Hubungan kita sekarang kaya langit senja, cantik,  tapi nggak akan bertahan lama. Kenapa? Karena langit malam menggantikan indahnya senja. Bintang yang bertaburan di langit malam, bukannya lebih indah daripada senja yang hanya datang sebentar, ya?"

Agha menghela napas berkali-kali, tangannya gemetar meski ada Aira di depannya.

Mereka hanya diam untuk waktu yang lama, Agha tidak berani menjawab kiasan yang Aira buat untuknya.

Namun, setelah lama hening mendera, akhirnya Agha berani menatap netra jernih Aira yang terlihat tenang. "Boleh, gue selesaikan masa lalu gue?"

Sekarang, satu senyum hadir dalam lengkungan tipis paling cantik yang pernah Agha lihat. "Sure, lo boleh pergi."

"Lo bisa nunggu gue—astaga Agha, lo nggak bisa egois gini," ujarnya, menatapi jemarinya yang masih bertaut menyatu dengan Aira. "Lo bisa tetap nunggu gue, lo juga bisa pergi seandainya gue kembali."

Jadi, tepatnya bagaimana perasaan Agha? Dia ingin Aira bertahan, sedangkan Agha dengan berani melepaskannya? Apa dia pikir Aira cukup bodoh untuk terpedaya lagi? Tidak! Aira tidak akan melakukannya.

"Lo boleh pergi, tapi untuk menunggu atau pergi setelah lo kembali, gue nggak bisa jamin dengan pasti. Sebab gue nggak tahu, apa kisah masa lalu lo akan benar berakhir, atau kembali dimulai. Ga, saat gue bilang lo boleh pergi dan bahagia bareng pilihan lo, seharusnya lo nggak boleh egois untuk kebahagiaan gue," tutur kata Aira kali ini tampak tenang, label lemot yang sudah tersemat lama dalam namanya sekarang terlihat tidak ada, dan tidak berlaku.

"Sama seperti gue, yang nggak bisa nahan lo tetap di samping gue. Sesayang apa pun gue, kalau di hati masih ada tempat buat masa lalu lo, gue kalah, Ga. Sebab, selain lo harus memberikan kesempatan buat gue, lo juga harus memberikan kesempatan untuk diri lo sendiri. Selain itu, lo nggak akan menemukan kebahagiaan yang sama dari orang yang berbeda."

Lalu, langit dua warna menjadi saksi perpisahan mereka. Dada Aira sesak bukan kepalang, dia berharap Agha juga begitu. Ia berharap, Agha juga merasa kecewa, merasa sakit, pun kalau boleh, Aira ingin Agha merasa kalau kisah mereka tidak sepantasnya usai di sini.

"Gue pamit, titip kisah gue, titip bahagia gue di masa lalu lo, ya?" Agha tersenyum, sebagai salam perpisahan paling hangat.

Namun, Agha memilih pergi. Memilih menjauh daripada terus melukai Aira dengan kisah masa lalunya.

"Tapi, lo jangan sampai mati. Jangan sampai kaya di tokoh utama cerita remaja yang sering gue baca. Lo boleh kasih tau gue kalau lo sakit, lo boleh kasih tau gue kalau lo lagi sedih. Kita jauh, tapi kita masih bisa tetap dekat seperti saat ini. Sama seperti hari ini, gue harap, cukup raga kita aja yang jauh."

Agha melepaskannya. Kisahnya berakhir di sini, tepat di penghujung senja, setelah hujan turun siang tadi. Langit kejinggaan menjadi saksi, betapa palsunya senyum yang Aira tawarkan sebagai obat dari rasa kecewanya. Namun, jauh di dalam hatinya, Aira berharap Agha akan kembali padanya.

Bersemi seperti mawar yang mekar setelah diguyur hujan. Aira harap bahagianya tidak akan hilang secepat—pun tanpa sebab begini. Dia ingin lebih lama bersama, menulis kisah lebih banyak anak lelaki yang mencintainya dalam mimpi. Aira ingin, namun masa lalu kekasihnya menahan langkah mereka untuk beriringan dan berjalan bersamaan.

Bagaimana ini? Dia ingin menangis, matanya sudah panas, tapi dia tidak juga harus menjatuhkan harga dirinya di sini.

"Ra, jaga diri baik-baik. Gue pergi, ya." Salam perpisahan akhirnya terucap dari bibir kecil Agha.

Ia tersenyum, mengacak surai kehitaman gadis yang juga tersenyum padanya, sebelum akhirnya Agha melangkah pergi. Sama seperti bayangannya yang ikut meninggalkan, punggung lebar yang dulu pernah ia sandari menjadi sebagai pemandangan terakhirnya dalam perpisahan di ujung senja kali ini. Sebelum mereka berpisah, Aira juga melihat mata anak lelaki itu memerah.

Apa Agha juga merasakannya?

Apa dia juga sama sakit sepertinya?

Kalau begitu, kenapa mereka berpisah?

Kalau begitu, kenapa ini harus menjadi akhir dari kisahnya?

Sampai akhirnya, Aira yang mungkin  juga tidak rela sudi mengejar lelaki yang sudah meninggalkannya dalam langkah lunglainya. Ia berhenti, tepat di antara tiga langkah kaki sebelum bertemu dalam satu dekapan hangatnya.

"Agha, jangan pergi lama-lama. Gue tau gue lemot. Gue tau gue nggak secantik Andara. Gue tau, gue banyak kurangnya. Tapi rasa gue tulus, Ga. Lo bisa rasain, kan? Nggak semua orang yang sayang sama lo ninggalin lo, Ga. Lihat gue, gue bakal tetap di sini, meski lo ninggalin gue. Jadi, lo harus balik lagi, ya?" Astaga, di antara tidak rela dan harga dirinya yang payah, Aira tetap pada pemikiran dangkalnya.

Ia ingin bahagia, bersama lebih lama dengan Agha yang masih teringat masa lalunya. Satu yang membuat Aira tidak terima, hanya satu, Agha juga terlihat masih mencintainya, namun karena merasa bersalah telah membuat hidup Andara menjadi berantakan, akhirnya Agha kembali pada masa lalunya

"Lo inget pertaruhan kita, nggak? Karena lo mengaku duluan dan kalah, akhirnya gue mengatakan kalimat menyakitkan buat lo. Lo tau? Yang sebenarnya kalah, dan jatuh cinta lebih dulu sama lo, itu gue." Aira membatu untuk beberapa waktu, dia menatap bayangan dirinya dalam netra berair milik Agha.

"Kalah?" tanya Aira sedikit tidak paham.

"Gue belum mengakui sesuatu, ya? Lo tau? Sejak pertama kali dua kubus rubik lo jatuh, gue udah jatuh cinta sama lo. Kalau permintaan lo minta gue kembali, suatu hari nanti, apa lo siap menunggu, meski kemungkinannya sangat tipis?" Aira diam.

Sepertinya, dia juga menjadi egois dengan meminta Agha untuk kembali, dan mencampakkan Andara dua kali.

"Nggak," ucap Aira, kemudian melepaskan cekalannya pada baju Agha yang ia remat kuat. "Sampai akhir, ternyata gue cukup bodoh untuk mencintai orang kaya lo. Ntah karena gue bego, atau karena gue beneran sayang sama lo, gue rela jadi orang jahat yang merusak kebahagiaan orang lain."

"Ra …."

"Lupakan soal janji, lupakan soal kembali, silahkan pergi. Mungkin, bahagia gue bukan sama lo, mungkin lo bukan orang yang tepat buat gue. Jadi, selamat tinggal Agha, gue pastikan gue bakal baik-baik aja tanpa lo."

Tanpa suara, atau membiarkan Agha menahannya untuk pergi, Aira berlari sekuat tenaga meninggalkan orang yang melukainya.

🍄🍄🍄🍄

🍄🍄🍄🍄

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
After Summer Rain (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang