23 • Dokumenter

65 25 0
                                    

🍄🍄🍄🍄

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🍄🍄🍄🍄

……………..
“Mencintai orang yang masih menyimpan nama lain di hatinya, adalah seni mempercantik hati dengan luka.“
______________________________



Sorak sorai menggema, mengisi satu ruangan penuh berisi tiga puluh lima kepala. Aira salah satunya, dia tengah tertawa bersama Nadin, dan dua gadis lain yang duduk di depan bangkunya. Namun, begitulah, pada hakikatnya Nadin dan Aira adalah dua orang yang tidak bisa bertiga apalagi berempat.

"Gila, nggak nyangka udah kelas dua belas aja kita," ucap Aira, gadis paling tenang di segala cuaca.

Dia gagal move on dari Agha, meskipun begitu, dia tidak akan berlaku bodoh lagi hanya karena cinta.

"Iya, dong! Emang lo mau menghabiskan masa muda lo di sini, terus? No!" Nadin si sensitif mengomentari ucapan suka cita Aira kali ini.

"Ra, Crush nggak jadi bawa geng buat perpisahan minggu depan. Tapi katanya, sebagai gantinya, Aidan akan tampil solo, bawain lagu buat nanti." Aira mengangguk kecil, lebih tepatnya dia tidak tau harus menanggapi bagaimana.

"Udah tau, gue sering tukar kabar sama Aidan, kok," jawab Aira kemudian mengambil botol minumnya.

Bagaimana tidak gagal move on, tiap kali berhubungan dengan Aidan, Aira selalu melihat ada bayangan Agha di dalam sana. Tentu saja, Andara lebih penting dari siapa pun. Aira tau itu, bahkan, geng crush yang katanya kesal terhadap Agha, mereka tetap menunjukkan sikap kasihnya untuk Andara. Gadis paling beruntung.

"Hai guys! Ada Rain, nggak? Raina Aira Narissara? Where are you!" seru lelaki yang tiap kali Aira lihat, dia makin aneh, meskipun begitu, keanehannya terselamatkan oleh ketampanannya.

"Pacar lo, Din! Masyaallah! Capek gue," ucap Aira kemudian bangun dari duduknya.

Kalau tidak segera dihampiri, anak lelaki itu akan semakin membuat kebisingan. Tipikal anak crush sekali, pengganggu.

"Apa? Apa Lagi kali ini?" tanya Aira sedikit ketus, kalian harus tau betapa menyebalkannya Jaka semenjak Agha meninggalkannya.

Dia jadi lebih sering mengganggu Aira, ketimbang kekasihnya sendiri.

"Ayo, ikut gue! Kita bikin video dokumenter!"

"Hah? Buat tugas?" seru Aira kebingungan.

"Ih bego! Kita udah naik kelas, ngapain juga bikin buat tugas!" seru Nadin, duo sejoli ini memang berhasil membuat Aira frustrasi.

"Apa, sih? Maksudnya buat apaan bikin video dokumenter?"

"Ya buat kenang-kenangan, Rain!" seru Jaka gemas sendiri.

"Ah, tapi kenapa harus ada gue dalam kenangan lo?"

"Banyak tanya! Ribet, udah ayo jalan!"  Bukan berjalan, tapi Jaka yang datang sendiri langsung menggaet tangan Aira yang masih kebingungan.

"Gue bisa jalan sendiri? Please, biarkan masa kelas dua belas gue aman dari gosip!" Namun Jaka tidak mendengarkan rengekan gadis ini.

Aira menghela napas kesal, sudahlah! Susah mengalahkan Jaka yang senang sekali untuk tidak menggubris ucapan lawan bicaranya.

Mereka berhenti, tepat di ruangan rahasia milik crush. Di sana, mereka sudah meyiapkan kamera untuk merekam.

"Nadin, coba poles dikit muka temen lo, udah cantik, sih, cuma keliatan polos banget!" komen Cakra begitu melihat Aira datang di seret Jaka.

Tanpa bicara, Nadin lekas mengacungkan jempolnya. Dia terima tantangan itu dengan baik, urusan merias wajah, Nadin jagonya.

Aira mulai menutup mata begitu Nadin mulai memoleh wajahnya, hanya sedikit powder, tint, dan pelentik bulu mata. Hanya begitu saja, tapi kecantikan gadis ini mungkin akan membuat Agha tersipu untuknya.

"Udah cakep. Ayo, Ra, duduk depan kamera, nanti Cakra bacain daftar pertanyaannya," ucap Aidan menatap Aira dengan tatapan manisnya.

"Nggak pede, muka gue jelek, ih!" Aira malah menggerutu sembari menutupi wajahnya dengan telapak tangan.

"Cantik, kok, emang ada yang bilang lo jelek?" tanya Aidan mungkin lupa, kalau Aira sudah menjadi bahan perbandingan oleh warga Bina Nagara, dengan wanita yang pernah Agha pacari.

"Duduk, Rain! Gue nggak akan mengulang dua kali, oke?" Akhirnya Aira menuruti ucapan Cakra barusan.

Dia menarik napas panjang kemudian mengajukan pertanyaan lebih dulu, sebelum kameranya on, "Cakra, gue keliatan gimana di kamera?"

Lelaki itu tertawa kemudian menatapi Aira dengan senyum sumringah, "Cantik. Bukannya seseorang sering ngasih tau, ya, kalau lo itu cantik?"

Ya, Agha Shankara sering mengucapkan kalimat tadi untuknya.

"Ekhem, nggak ada, baru lo doang." Aira salah tingkah, kemudian mengalihkan pandangannya.

"Udah, jangan ngoceh terus, ayo on cam Cak. Banyak yang harus diwawancarai hari ini," lerai Jaka akhirnya angkat bicara, gemas sendiri mendengar pertanyaan konyol dari si Aira.

"Apa yang akan kamu lakukan, seandainya kamu bisa time travel ke masa lalu?" Pertanyaan manis macam apa itu? Aira jadi tersipu, lihat pipinya, meruai kemerahan.

Untuk beberapa saat, Aira mengheningkan cipta. Tidak ada satu kalimat pun yang keluar dari bibir pinknya.

"Nggak ada ...," Kemudian, raut wajahnya berubah seketika. "Ah, mungkin satu hal ini. Aku ingin memperbaiki caraku mencintainya. Cara paling sederhana mencintai manusia, do'a."

Semua manusia yang ada di dalam ruangan saling menatap kemudian saling melempar senyuman.

"Oke, kita ke pertanyaan selanjutnya, ready?" Aira mengangguk dengan pasti.

"Apa yang paling kamu sesali di masa lalu?"

Tau tidak? Setiap pertanyaan yang Cakra peruntukkan untuknya, selalu muncul Agha dalam benaknya. Seolah, ini adalah kesempatan untuk Aira berbicara dengan Agha yang menghindarinya, benar-benar menghindari sehingga tidak ada ruang untuk dia berbicara lagi dengan orang yang masih dia cintai dalam diamnya.

"Mungkin, menjauhinya selama satu bulan. Saat itu gue tau, yang gue siksa bukan dia yang nggak cinta sama gue, tapi gue menyiksa diri sendiri."

"Menyiksa?" tanya Jaka seperti mesin pertanyaan otomatis.

"Mencintai orang yang masih menyimpan nama lain di hatinya, adalah seni mempercantik hati dengan luka, ya, kasarnya, sih, seni menyiksa diri sendiri. Sudah tau punya orang lain, masih saja dicintai, sudah tau tidak mudah, tapi setiap hari bermimpi mampu menggantikan nama yang sudah jadi ratu dalam hidupnya." Oke, Aira tau mereka semua juga sedang memikirkan satu nama yang sama dengan dirinya.

"Well, setiap manusia punya penyesalannya masing-masing. Tapi, pernah suka, pernah berbagi rasa, pernah berbagi cerita dengan orang itu nggak membuat gue menyesali segalanya. Gue suka, sebab meski akhirnya tidak bahagia, setidaknya hidup gue jadi berwarna berkat dia."

Mereka tau dia yang Aira bicarakan siapa. Ya, Aira terpancing dengan pertanyaan provokatif dari si Cakra, sialan. Otaknya baru sampai ke tempat tujuan, ya sudah, sudah kepalang, mau bagaimana lagi?

"Oke, kita next ke pertanyaan berikutnya. Bagaimana caramu mengatasi perasaan merepotkan bernama rindu?"

"Datang ke rumahnya, izin bertamu, lalu menyampaikan rindu. Kalau gue punya keberanian lebih, gue bakal melakukan itu." Aira tertawa mendengar jawabannya sendiri, sebab dia pernah menghampiri Agha yang sempat membuatnya rindu sampai gelisah setiap malam, sialan!

Pun, cara Agha menyampaikan rindunya sangat buruk. Dia malah marah-marah setiap kali bertemu dengannya. Jelek, sangat jelek!

"Gue tau siapa orangnya!" Jaka malah antusias sendiri, sampai akhirnya dia diam begitu Aidan menyuruhnya untuk diam.

"Last, question," ucap Jaka tidak mau ambil pusing dengan kelakuan Jaka.

"Kalimat apa yang ingin kamu sampaikan pada orang-orang berharga, yang sekarang tinggal dalam kenangan masa lalumu?"

Aira membatu, dia memikirkan sejenak. Karena konteksnya masa lalu, Aira harus mengingat. Sebab, orang di masa lalu Aira tidak begitu banyak. Kebanyakan mereka masih bersama dengannya hari ini.

"Nggak banyak. Mungkin, gue cuma mau bilang ini. Maafkan aku, karena masih mencintaimu. Dan maafkan aku, karena menyerah untukmu." Sambil mengakhiri kalimat sederhananya tadi, Aira tersenyum kecil.

Benar, Aira menyerah. Menyerah untuk tetap mempertahankan Agha tetap di sampingnya. Percuma pikirnya, sebab Aira tidak akan pernah menang. Dia kalah saat mempertahankan Agha untuk tetap di sampingnya.

"Oke, selesai. Gimana? Udah curhat, hati lo lebih lega, kan?" tanya Cakra di balik kameranya.

"Hah?" Aira melongo mendengar pertanyaan si Cakra.

Pertanyaan sederhana saja, membuat kerutan di dahinya terlihat jelas.

"Agha, jawaban atas pertanyaan tadi buat Agha, kan? Lo diem aja bahkan Agha setelah Agha mencampakkan lo, dan di sini ada kita yang nggak rela kisah lo berakhir begitu aja, "ucap Aidan jujur.

"Kisah lo nggak ada manis-manisnya, Anjirlah. Baru dimulai masa udah berakhir?" Jaka ini kurang keras apalagi menyindirnya!

"Lo mau lihat sesuatu, nggak? Kita punya sesuatu buat lo, kita di sini adalah tim nggak rela lo sama Agha pisah. Aghanya bego, lo nya gampang nyerah."

"Mudah? Nggak ada yang mudah, Cak! Gue mati-matian buang ego gue, mati-matian bikin Agha sadar, tapi Agha tetap memilih masa lalunya! Gue bisa apa, berjuang, bertahan, udah bukan kewajiban gue lagi. Jadi, gue pergi."

"Tau, gue tau. Jadi, lo harus lihat ini. Satu hal yang bisa bikin lo ketawa ...."

Kemudian, Aidan memutus kalimat Cakra. "Nggak usah bertele-tele. Kita juga punya jawaban atas pertanyaan yang tadi kita tunjukin buat lo. Jawaban Agha," ujar Aidan kemudian berjalan untuk mengusap kepala Aira.

"You should have a happy ending story, lo orang baik, Rain!" Hangat, hati Aira menghangat, tapi tidak berdesir seperti saat Agha memperlakukannya.

Kemudian, Jaka sudah menaruh layar empat belas inci dalam pangkuannya. "Agha tidak mencintai masa lalunya lagi, yang dia lakukan sekarang hanyalah bagian dari penerimaan diri, atas masa lalunya. Agha hanya ingin hidup tenang, dia hanya  ingin menebus rasa bersalahnya pada Andara."

Aira mengerjap, sedikit terkejut melihat siapa yang berbicara tadi. Aira bahkan tidak tau kalau Jaka bisa mengatakan kalimat menenangkan seperti tadi.

Akhirnya, setelah mengumpulkan kesadarannya, Aira dengan berani mengklik video. Ada wajah Agha yang terperangkap dalam layar empat belas inchi ini.

"Apa yang akan lo lakukan, seandainya lo bisa time travel ke masa lalu?" 

Ya, Jaka mempertanyakan kalimat yang sama seperti saat sedang menanyai Aira.

"Menemukannya lebih cepat, kemudian memeluknya." Jawaban Agha terdengar mantap, dia tidak seperti Aira yang harus mencerna pertanyaan tadi.

Tapi, kenapa jawaban Agha seperti ini? Dada Aira jadi berdebar hebat karenanya.

"Apa yang paling lo sesali di masa lalu?"

"Cara pandang gue, terhadapnya. Penyesalan gue cuma satu, gue pernah mengatakan satu kalimat buruk terhadapnya--'kamu benalu.' Padahal, jauh di dalam hati dan egois gue, gue ingin mengatakan satu kalimat ini buat dia …, 'aku juga mencintaimu.' Ya, seharusnya gue bilang gini, waktu dia confess sama gue."

"Bagaimana cara lo mengatasi perasaan merepotkan bernama rindu?"  Cakra juga langsung menanyakan pertanyaan selanjutnya.

"Marah-marah," jawab Agha, persis seperti saat Aira mendeskripsikan bagaimana sikapnya saat dia merindukan seseorang--ah, merindukannya.

"Kalimat apa yang ingin lo sampaikan pada orang-orang berharga, yang sekarang tinggal dalam kenangan masa lalu lo?"

"Maaf, karena terlambat menyadari betapa berharganya kamu, yang sudi mencintaiku." Ucap Agha, malah membuat degup dalam dada Aira bertambah hebat.

Apa jawaban dari pertanyaan tadi untuknya?

Aira membatu untuk sesaat, namun nyawanya kembali terkumpul begitu pintu ruangan ini terbuka. Mata Aira membola sempurna, bukan karena Agha, tapi Andara. Ya, Andara yang sedang duduk di kursi roda, dan Agha yang berdiri di belakangnya.

"Aira, ngobrol bentar, yuk," ucap Andara malah membuat bola mata Aira hampir keluar dari tempatnya.

🍄🍄🍄🍄

🍄🍄🍄🍄

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
After Summer Rain (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang