Setiap hari di hari ulangan, ada satu waktu di mana Agha dan Aira bertemu dalam satu ruang lingkup yang sama.
Namun, Agha selalu pergi begitu menerima panggilan dari seseorang. Ibunya. Raut wajah tenang yang mendambakan pertemuan itu, membuat Aira sedikit tidak nyaman. Ada satu hal yang Agha tutupi, namun terlalu tabu untuk Aira ketahui.
"Kondisinya masih lemah, dia masih butuh perawatan intensif."
Ya, tanpa sepengetahuan Aira, Agha mengikuti kabar tentang sadarnya seorang gadis yang dulu pernah dia sayang. Andara, gadis yang hampir setahun ini koma, mulai sadarkan diri dan menunjukkam kemajuan atas kondisinya yang dikira akan berakhir mati.
"Syukurlah. Ga, Aira tau soal ini?" tanya lelaki dengan kacamata bertengger manis di hidung mancungnya, dia menutup sketch boonya.
Minatnya teralih, tidak lagi menggambar ilustrasi hujan di sore hari yang menggugurkan beberapa ranting dan dedaunan di pohon.
"Nggak, Dan. Aira nggak tau, biarin aja. Andara bukan siapa-siapa Aira, kan?"
"But, she's you'r ex, Agha Shankara. Sekarang, lo lebih peduliin mantan lo itu daripada Aira," timpal Cakra melilitkan lengannya di leher Agha yang tampak galau tidak jelas.
"Ck, singkirin tangan lo! Berat!" ucap Agha keberatan dengan tingkah laku Cakra.
"Tau, gak? Padahal lo baru jadian, tapi bisa-bisanya malah mikirin Andara terus!" ucap Jaka tampak tidak peduli dengan konsekuensi dari ucapannya.
"I know, tapi posisi Andara di sini adalah temen gue!" Jawaban Agha bukankah terdengar egois?
"Teman, tapi pernah sayang? Hampir pernah menikah, dam Andara masih lo anggap temen?" ujar Aidan tajam.
"Bego! Lo harus punya batasan, Agha Shankara," komentar Cakra membuat Agha tersenyum kecil.
"Gue nggak terpengaruh dengan sadarnya Andara. Gue cuma sedikit bersyukur sebab dia udah sadar …."
"Itu penyangkalan, karena dengan lo bilang gitu, lo sendiri sadar prioritas lo sekarang siapa!" ujar Aidan menatap Agha sinis, "Lo sakitin Aira dua kali, gue nggak akan buang kesempatan, oke?"
"Maksud lo apa?" Agha naik pitam, dia mencekal kerah baju Aidan erat sekali. "Lo suka Aira? Bilang dari dulu! Kejar dia sampai dapat! Dan lo bilang apa?! Kesempatan? Nggak akan datang dua kali!"
"Itu tau! Kesempatan nggak akan datang dua kali! Terus kenapa masih ragu? Kenapa masih mengkhawatirkan masa lalu lo di saat ada orang yang udah ngisi peran lain sebagai orang yang lo sayang? Mikir!"
Aidan lekas meleos dari sana, dari tempat biasa mereka bersama. Pun, tanpa mampu menampik, Agha hanya terdiam, meremat jemarinya sendiri.
"Gue salah, ya? Gue nggak menduakan Aira, kan?! Gue cuma khawatir sama Dara, udah gitu aja," ujar Agha berharap teman-temannya ikut membela.
Namun, Jaka malah membenarkan letak kemejanya yang berantakan seraya berkata, "Gue yang malu, Ga! Boleh gue bilang kalau lo—so freaking bad!"
"Kalau makan seblak, jangan lupa pake kerupuk. Gue pamit dulu, mau beli otak di depan," ucap Cakra mengikuti jejak Jaka yang sudah lebih dulu pergi.
"Gue nggak bilang mau balik, tapi apa salahnya ngasih perhatian ke temen gue?"
Ya, itu dia letak salahnya. Memberi perhatian pada teman wanita, bisa di salah artikan sebagai bentuk tidak menghargai wanitanya. Tepat! Agha tidak mengerti poin itu. Kalau Andara adalah temannya, maka Agha tidak pantas mengkhawatirkannya secara berlebihan.
Agha merasa kesepian di sini, matanya berpendar mencari kehidupan di sekitar. Ya, semuanya meninggalkan Agha sendirian. Lamunannya kemudian buyar, begitu ponselnya berdering. Dadanya yang sempat berdebar, kini berdetak dengan tenang begitu nama Aira terpampang jelas di layar ponselnya.
"Agha! Jadi naik biang lala, sama beli permen kapas, gak?"
Pertanyaan yang tidak ada lucunya sama sekali itu berhasil membuat sudut bibir anak lelaki ini naik.
Dia tersenyum, ya Aira selalu mampu membuatnya tersenyum. "Jadi, tapi gue ada urusan dulu sebentar. Kalau udah di rumah, siap-siap dulu, nanti gue jemput."
"Oke, jangan lama-lama," ucap Aira di seberang sana.
"Iya, sayang." Agha tersenyum kecut, sialan, Andara membuat panggilan sayang itu terdengar seperti bualan.
"Ya udah, pokoknya kalau udah di depan rumah kabarin, gue turun angkot dulu." Aira terdengar sumringah di seberang sana.
"Hmm, nanti gue kabarin. Hati-hati, Ra!"
Setelah mematikan panggilan tadi, Agha lekas menghela napas panjang. Tatapannya jatuh pada layar bening yang sekarang cahayanya mulai meredup lalu mati.
"Ya, kesempatan nggak datang dua kali," ucap Agha mengambil jaketnya yang dibiarkan berserakan tadi. "Liburan kali ini, gue harus nyusulin Andara ke LA. Dia butuh gue, buat sembuh."
Agha jatuh untuk yang kedua kalinya. Dia kira sudah sembuh, tapi ternyata masih terjebak masa lalu yang masih memberatkan hidupnya sampai saat ini. Aira hanyalah penenang, karena pemenang sebenarnya masih ditempati oleh orang yang berdiri teguh, di atas nama penyesalan masa lalunya.
Meski begitu, Agha harus tetap menepati jajnjinya pada Aira. Hari sabtu kali ini, selesai mengerjakan lembar soal di hari terakhir, Agha merencanakan pergi ke wahana permainan. Melepas penat katanya. Setelah selesai dengan urusannya, mereka sekarang sudah berada di antara ramainya manusia yang sama-sama ingin melepas penatnya kehidupan mereka.
"Ga, beli permen kapas dulu!" pinta Aira tampak bersemangat, dia bertambah semangat begitu Agha mengaitkan lengan dengan gadis kesayangannya.
"Bawel banget lo hari ini," ujar Agha, membawa langkahnya semakin dekat dengan penjaja gulali itu. Standnya berdiri di dekat bianglala yang hendak mereka naiki.
"Ga, pernah naik bianglala?" tanya Aira membuat anak lelaki itu mengangguk.
"Sering, sama Dara waktu kecil."
Aira tersenyum, sedikit nyeri dadanya saat mendengar nama Dara.
"Suka gulali?" Anak lelaki itu refleks menggeleng selepas mendengar pertanyaan kekasihnya.
"Nggak, dulu nggak suka karena Dara juga nggak terlalu suka makanan manis."
Andara lagi?
"Lo dulu deket banget sama Andara?"
"Dia bagian dari crush," jawab Agha, ya kalau dijelaskan, memang Andara itu cocok jadi girl crush sejuta umat.
"Orang tua kita deket, jadi gue tau apa aja yang dia suka dan nggak. Dia nggak suka makanan manis, tapi suka banget sama ketinggian. Makanan dan minuman kesukaannya waffle sama cappuccino. Dia lebih suka pake flat shoes, daripada wedges. Lucunya, meski dia suka cappuccino, dia lebih suka wedang jahe."
Senyum Aira masih dipertahankan, permen kapas membuatnya tersenyum meski dadanya panas seperti terbakar.
"Terus, lo tau apa soal gue?"
Agha diam, kalau dipikir, Agha memang tidak tahu menahu soal gadis ini.
"Lo suka matcha, suka churros, suka makanan manis, yang terpenting, lo suka sama gue."
Benar, tapi ada satu hal yang Agha tidak tau. Aira benci mendengar Agha mengetahui banyak hal tentang masa lalunya.
"Terus, di antara Aira Narissara, dan Andara lo lebih suka sama siapa?" Seharusnya ini mudah untuk dijawab.
Tapi, Agha malah termenung, tatapannya jatuh pada permen kapas yang terlihat sangat aneh untuk bisa disebut sebagai makanan.
"Raina Aira Narissara, pacar gue! My crush, satu-satunya cewek yang bisa bikin gue salting brutal."
Ya, Aira sempat terbang ke awan. Namun, satu pertanyaan itu ikut mengawan di atas kepalanya. Kenapa Agha memikirkan lebih dulu jawabannya, sedangkan jawaban itu tepat berada di hadapannya?
"Gue nggak mau naik bianglala," ucap Aira kemudian menatap Agha sungguh-sungguh.
"Loh, kan, lo yang minta ...." Agha menghentikan ucapannya.
Bukan, tapi Agha yang meminta Aira menemaninya menaiki bianglala. Kemudian dengan tingkat kebodohannya yang lumayan tinggi, Agha mengatakan kalau masa lalunya sangat menyukai hal ini.
"Ga, gue bisa terima masa lalu lo, tapi kalau lo nggak bisa nerima gue sebagai orang baru, gue mundur." Maka bukan salah Aira kalau dia berkata begini.
"Gue juga bisa terima kalau seandainya lo masih mengingat masa lalu lo, tapi gue nggak bisa terima kalau seandainya lo ngejadiin gue like you're past. No! Gue Aira, bukan Andara. Kalau lo mengharapkan kebahagiaan yang sama seperti masa lalu lo dari gue, maka jawabannya tidak akan pernah ada." ucap Aira tampak sungguh-sungguh.
"Ra, gue nggak bermaksud." Agha masih mencoba berkilah.
"Awalnya gue nggak paham, apa maksud lo sebenarnya, tapi, permen kapas bikin gue sadar. Kalau lo masih merindukan masa lalu lo, masa lalu yang lo kira sudah mati, nyatanya masih hidup di sini ...," Aira menunjuk dada Agha berani, "Dia masih hidup di dalam dasar hati yang lo kira udah mati.
"Ra," Agha mencoba menjelaskan, namun Aira enggan mendengarkan.
"Lo bisa banget selesaikan masa lalu lo dari sekarang. Atau mungkin bisa lo perjuangkan lagi. Tapi, saat lo pergi, perasaan gue buat lo juga mati."
Ya, itu harga mati yang harus Agha bayar atas rasa sakitnya.
"Jangan pergi! Siapa yang bilang boleh lo pergi?" Aira tertawa mendengar kalimat ini.
"Gue, karena gue punya hak lain, selain hak gue yang notabenenya adalah pacar lo."
Agha menghela napas panjang sekali lagi, "Lo mau gue jujur?"
Tentu saja, Aira ingin mendengart alasannya.
"Silahkan, semakin lo terbuka, semakin gue nggak merasa kalau ternyata lo suka gue itu nyata."
"Andara sadar dari komanya, makanya pikiran gue kacau sekarang."
Sakitnya bertambah dua kali lipat. Agha benar-benar mengatakan yang tidak seharusnya dia katakan. Ya, rumus wanita memang begitu, serba salah.
"Hebat, ya, jadi Andara! Bisa bikin gue yang awalnya baik-baik aja, kini jadi ikut kacau. Fine! Karena gue suka manis dan benci ketinggian, gue beli permen kapas ini, dan silahkan lo naik bianglala buat mengenang masa lalu lo."
"Nggak, Ra ...."
"Sekarang gue tau, perasaan lo beneran kaya permen kapas yang kesiram air. Kembali ke bentuk semula, kemudian hilang. Tampak manis, namun ternyata hambar!"
Ya, nyatanya masa lalu Agha berhasil mengacaukannya juga.
🍄🍄🍄🍄
KAMU SEDANG MEMBACA
After Summer Rain (TERBIT)
Fiksi RemajaDari banyaknya alasan jatuh cinta, Raina Aira Narissara justru memilih cara paling bodoh. Agha Shankara bukanlah pangeran berkuda putih yang siap siaga mempertaruhkan nyawa demi dirinya, justru lelaki itu berniat menghancurkan hatinya dengan membagi...