8 • Harga Diri

57 29 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


🍄🍄🍄🍄

……………..

“Merendahkan orang lain dan merasa dirinya paling tinggi? Pertanyaan gue cuma satu, emangnya dunia ini cuma dibuat buat lo hidup?“
______________________________



Dipta, adalah nama yang Aira kira sudah dia lupa. Namun, kalau mau tau, Aira masihlah berharap. Tidak banyak, tapi masihlah tersisa ada. Haha, sekarang Aira tau, siapa wajah dibalik siluet yang Dipta pakai untuk profil whatsappnya.

Cindy, kakak kelasnya. Dulu, dia adalah mentor Aira saat penerimaan siswa baru di Bina Nagara. Ternyata dia pujaannya Dipta.

Oke, Aira kalah. Namun, kenapa ia tidak terima saat dadanya sesak tak terhingga? Ada sedikit rasa sesal yang tertinggal saat Aira mengunjungi tempat ini, toko buku. Ah sial!

"Loh, Aira juga ada di sini, sama siapa?" tanya Cindy mampu membuat Aira tersenyum palsu.

Apalagi melihat tangan mereka yang tadi bergandengan, sekarang sudah terlepas secara paksa. Seolah Aira sudah mengganggunya.

"Biasa, cari buku. Kak Cindy sama Kak Dipta lagi cari buku buat persiapan SBMPTN, ya?" Well, pertanyaannya barusan bisa dikatakan basa basi semata.

"Iya, Ra," sahut Dipta ramah.
Apa dia tidak merasa bersalah setelah memblokir no whatsappnya, terus mengasingkannya di sekolah? Sekarang, di hadapannya, dia sedang berkencan dengan kekasihnya? Ini hari yang sangat buruk, demi Tuhan!

"Oh iya, udah nemu bukunya? Mau sekalian makan bareng sama kita? Kamu, kan, suka banget sama machiatto, nanti--" Aira tertawa kecil, mendengar ucapan Dipta seolah dia tahu banyak tentangnya.

"Duluan aja, Kak. Aku ada janji sama orang lain," jawab Aira, berharap Agha yang berjanji akan menjemputnya segera tiba.

"Pacar lo beneran si Agha? Kok, bisa pacaran sama dia?" tanya Dipta memasang raut wajah sulit dibaca, bukan sulit dibaca--tapi apa wajah meremehkan Dipta memang selalu seperti itu?

"Bisalah! Kenapa nggak? Salah, gue pacarin cewek secantik Aira?" sahut satu suara tidak ramah di belakang sana, berhasil menyapa indra pendengarannya, sekaligus mencuri debarnya lagi.

Mata Aira pun bereaksi sama–membola dengan sempurna.

"

Ngapain lo?!" seru Aira tidak bisa diajak kompromi.

"Wah, hebat banget kamu, Ra! Belum lama sejak Kakak tolak, kamu pacarin Agha?" kata Dipta barusan meremehkannya, ya, kan? Dipta meremehkannya, kan?

"Wah, nice to meet you, lo kenal gue, ya?" pun, Agha membalasnya dengan cara yang sama. Bahkan, dia terdengar lebih sombong.

"Jelas, siapa yang nggak kenal laki-laki kurang ajar kaya lo? Yang hobi mainin cewek? Well, kalau sampai lo mainin Aira juga, gue bakal--" sepertinya, Aira tidak ingin jatuh dua kali.

Makanya, dia tidak memberikan kesempatan pada Dipta untuk membelanya.

"Bakal apa? Emang kenapa kalau si Agha cuma mau mainin perasaan aku doang? Ah lebih penting dari itu, Kak Dipta emangnya siapa?" lihat, Aira juga mampu membuat Dipta diam.

"Ra, jangan kemakan muka gantengnya si Agha! Kamu bisa dapetin laki-laki yang lebih baik dari dia," katanya, merasa diri paling baik lebih dari siapa pun.

"Ya, bahkan aku berani bilang kalau Agha juga lebih baik daripada Kak Dipta! Meski dia badung, akhlaknya nggak dibawah SNI!" jawab Aira semakin berani, sampai akhirnya Cindy melangkah maju dengan wajah manisnya.

"Lo suka sama cowok gue?" tanya Cindy yang mungkin baru mengerti ke mana arah tujuan bicara mereka.

"Tahu diri, Ra, sebelum ngatain orang. Lo aja nggak memenuhi standar buat jadi pacarnya Dipta." Dan hari ini Aira bisa mengonfirmasi sendiri, kalau mulut Cindy itu memang tajam seperti katanya.

"Kalau ditolak, seharusnya lo ngaca! Lo, kurang dalam segala hal! Nggak memenuhi kriteria sebagai cewek yang Dipta suka. Intinya cuma satu, lo nggak pantes buat Dipta." Sialan! Cindy menikam dada Aira di titik yang paling tepat

"Hey!" seru Agha tampak tidak terima, sedangkan gadis dengan novel baru di tangannya itu diam membisu.

"Satu lagi, Agha Shankara, lo nggak menyesali pilihan lo sekarang, kan? Bina Nagara banyak cewek cantik, dan kenapa dari sekian banyak cewek, lo milih Aira yang biasa aja?" Wah, sekarang Aira tau kenapa Dipta memilih Cindy, sebab mereka sama.

"Dia cantik, kok. Lebih cantik dari lo, malah" jawab Agha tenang dan lagi-lagi sombong.

"Aku kasih tau, barangkali Kak Dipta menyesal. Cewek di Bina Nagara pada cakep, loh, dari sekian banyaknya cewek cantik, kenapa harus milih dia yang biasa aja? Kasian gue, Kak, sama lo. Nemu cewek, ucapannya kaya sampah semua. Satu yang pasti, gue nggak menyesali pilihan gue. Aira orang baik," ucap Agha membuat Aira kehilangan kemampuannya untuk bicara.

Hey! Sial! Kenapa ada orang setampan dan sebrengsek Agha? Pun, kalau dilihat-lihat, kenapa Agha tampak lebih tampan daripada yang ia lihat waktu siang tadi?

"Jadi maksud lo--" Cindy tampak tidak terima, namun Agha juga pandai dalam hal meremehkan orang lain.

"Ya, jadi maksud gue pacar gue lebih baik daripada pacar lo, Kak Dipta! Oh tentu, soal tampan, pacar lo juga kalah sama gue, kan? And see, ucapan pacar lo menggambarkan tempatnya! Merendahkan orang lain dan merasa dirinya paling tinggi? Pertanyaan gue cuma satu, emangnya dunia ini cuma dibuat buat lo hidup?"

Aira ingin menangis, tapi tidak jadi. Ucapan Agha menguatkannya. Dia ingin berlari saat Cindy merendahkannya. Namun, Agha menaut lengannya, seolah berkata tidak apa-apa, ada dia disisinya. Agha mengajaknya berjalan beriringan, daripada melarikan diri sendirian. Mulutnya memang bungkam, namun caranya menenangkan, mampu membuat Aira berada dalam titik aman dan nyaman.

Ya, Agha memang lelaki sehangat itu. Dia jadi penasaran, luka di masa lalu seperti apa yang membuat Agha menjadi lelaki berengsek sekarang?

"Yok, lo katanya mau makan cilok, kan? Beli bukunya nanti aja, kita makan dulu, daripada di sini makan hati nggak kenyang, kan?"

Agha tersenyum sembari membawa tubuh kecil gadis ini untuk pergi. Namun, langkah Aira terhenti. Dia tersenyum sumringah, seraya membalikkan tubuhnya.

"Oh iya, aku mau bilang sama Kak Cindy, terima kasih sudah menyadarkan aku untuk sadar diri. Tapi, Kakak juga harus belajar caranya menghargai. Aku manusia, kamu juga manusia, aku atau kamu pantas yang namanya dihargai. Aku memang tidak pantas untuk memiliki satu hal yang memang bukan untukku. Tapi, aku juga pantas mendapatkan yang lebih baik dari apa yang pernah aku lepaskan. Semoga bahagia selalu, Kak."

Ya, karena manusia itu sama. Mereka punya dua mata untuk melihat hal-hal indah, meski terkadang ada saja hal-hal yang tidak diinginkan dilihat kedua mata. Begitu pun telinga, kita hanya ingin mendengar hal-hal baik tapi pada akhirnya, mulut manusia selalu berisik. Mengatakan hal-hal buruk yang bisa menyakiti hati.

Aira menghela napas berkali-kali, sampai tidak sadar kalau Agha menatapnya sedari tadi. Lengan mereka sudah lama saling terlepas.

"Ra, lo tahu, nggak? Lo keren banget hari ini!" puji Agha, dengan kurang ajar lengannya ikut naik, mengacak lembut surai Aira yang tergerai acak-acakan.

Tidak sopan. Lagi-lagi Agha berhasil mengacak detaknya. Bukan, Agha mencurinya lagi.

"Gue emang selalu keren. Tapi, emangnya gue pacar lo?" Agha mengangguk mengiyakan pertanyaan Aira.

Gadis itu tertawa pelan, padahal perasaannya sudah salah tingkah parah.

"Iya, kita pacaran. Di depan Pasangan kurang ajar tadi doang, selain di depan mereka tidak berlaku. Lo cuma temen sekelas gue, dan gue temen sekelas lo yang baik hati."

Lalu Aira kecewa.

Aira kira, akhirnya akan sama seperti novel yang berada di dalam pelukannya ini. Ah sial. Dia jadi berharap untuk hal yang tidak-tidak.

"Lo ngarep, ya?"

Jelas saja, kenapa juga si Agha bertanya untuk hal yang sudah jelas?

"Kegeeran! Gue pulang duluan, deh, daripada bahas hal nggak penting, kan?" kata Aira, sebenarnya dia ingin menormalkan detak jantungnya yang mendadak gila.

"Ayo makan, temen-temen gue udah nunggu." ajak Agha, terlihat seperti biasanya. Menyebalkan

"Hah? Lo bawa temen lo? Nggak, deh. Makasih, gue ada janji sama Nadin," ucap Aira, jelas saja berbohong.

"Nadin juga ikut, kok. Cakra yang bawa. So, mau ngeles apalagi? Mau bohong apalagi?" Sial! Si Agha malah memojokkannya.

"Cakra? Mereka pacaran? Hah? Bukannya Nadin suka sama Jaka, ya?"

Agha tertawa, melihat bagaimana Aira mempertontonkan kebodohannya dengan jelas.

"Ngaco! Cakra itu sepupunya Nadin, jadi pasti dia banyak tau soal crush, kan? Terus, gue mau ngenalin lo sama anak crush, secara resmi," ucap Agha terdengar ambigu.

"Mereka udah kenal gue, apalagi si Cakra. Terus, lo mau memperkenalkan apalagi?"

"Memperkenalkan lo, sebagai pacar gue, secara resmi. Kemarin, kan, gue bilang lo calon pacar gue. Hari ini, lo jadi pacar gue." Perkataannya terdengar begitu percaya diri, sedangkan Aira mungkin ingin tidak sadarkan diri.

"Asam lambung lo kambuh, ya? Atau salah makan, sih?" tentu saja pernyataan Agha barusan mengguncangnya.

"Astaga, taruhan nggak akan seru kalau nggak ada tantangannya, kan?" Dahi Aira lekas mengerut.

"Jadi maksud lo? Tantangannya gue jadi pacar lo?" Apa Agha bermaksud membuat Aira kalah?

"Pinter. Ayo, jadi pacar gue. Biar lo tau rasanya kalah kayak apa."

"Tunggu, kalau begitu letak tantangannya di mana? Lo kalau suka gue, bilang. jangan mengatasnamakan perasaan lo di atas pertaruhan kita! nggak adil!"

"Lo salah tanggap soal ucapan gue, Aira.” Lagi, senyum menyebalkan Agha muncul ke permukaan wajah tampannya.

"Tantangan lo cuma satu, buat gue jatuh cinta. Well, lo bohong, kalau lo nggak suka atau nggak mau jadi pacar gue, kan?" Iya, sudah tahu Aira bohong, lalu kenapa si Agha ini tidak mengejek kalau Aira adalah pecundang yang kalah sebelum perang?

Tapi, harga diri Aira juga sama tingginya. Sempat terlintas dalam pikirannya untuk mengakui perasaannya. Namun, dia juga sepenuhnya sadar, kalau dia mengaku kalah, Agha akan menginjak harga dirinya.

"Lo juga salah, Agha. Gue, nggak semudah itu jatuh cinta setelah tahu rasanya ditolak mentah-mentah kayak apa! Lo tahu, alasan gue terima tantangan lo, meski gue jadi bahan gunjingan anak satu sekolah?"

"Bodoh?" tanya Agha tersenyum culas.

"Salah! Karena gue mau buktiin ke orang-orang, kalau Agha nggak seberengsek yang mereka kira. Gue bakal jadi contoh, kalau seorang Agha bisa berubah karena si Aira yang dipertanyakan letak cantik ya di mana! Sekarang, paham?!" Agha termenung mendengar penuturan Aira barusan.

🍄🍄🍄🍄

🍄🍄🍄🍄

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
After Summer Rain (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang