……………..
“Pada akhirnya, hikmah dari menyimpan cinta sendirian adalah sia-sia.”
______________________________
Berkendara dengan Agha Shankara bukanlah mimpinya, ketika dia mengetahui crush. Namun, sepertinya benar, ketika sesuatu yang tidak kita ingin-inginkan, maka akan terjadi, tepat di depan kita, menyapa dengan satu harapan kosong tanpa makna.
Seharusnya, Aira membekali diri tentang crush sebanyak yang seharusnya dia tahu. Aira bahkan terlalu acuh, dia terlalu memikirkan tentang bagaimana cara menjaga perasaannya untuk Dipta. Lelaki yang bahkan tidak mencintainya.
Pun sekarang, di sinilah Aira berada. Di studio milik Jaka yang luasnya melebihi kamarnya sendiri. Ada satu hal yang ingin gadis ini tertawakan, di sudut kanan terlihat Jaka sedang sibuk dengan komputernya—membuat instrumental. Tugas yang seharusnya Aira, Agha, dan Cakra kerjakan. Well, Aira sedikit terbantu, meski dia tidak nyaman.
Cakra terlihat sibuk memainkan ponselnya, katanya mau memesan makanan. Aidan, lelaki itu bahkan tampak tenang di situasi yang terasa sangat membosankan ini.
Ya, mereka semua tampan tapi membosankan. Terutama Aira yang sedari tadi mengotak ngatik rubiknya. Oh sial, seharusnya Aira mencari pelarian lain selain rubik. Sudah tahu lemot parah, memainkan rubik tidak membuat otaknya terasah. Lalu, di sampingnya Agha tertawa—menertawakannya.
"Sampai kuda jalan pake dua kaki, itu rubik nggak akan jadi, Aira." kata Agha, mengambil alih rubik di tangannya.
Deg.
Satu degup berhasil lolos, saat tangan Agha menyentuh telapak tangannya. Gila, yang benar saja si Aira ini! Kenapa baper untuk hal yang tidak perlu begini, sih?
"Kenapa? Ini gue mau menuhin janji gue sama lo." Agha memamerkan senyumnya, tangannya dengan lihai memainkan rubik tadi. "Main rubik juga ada tipsnya Aira."
"Tips? Gue kira lo nggak bisa ngapa-ngapain." sindir Aira tertawa canggung setelahnya.
"Satu menit, rubik yang lo kerjain berhari-hari, Agha bisa menyelesaikannya dalam waktu satu menit," ucap Cakra tidak membuat Aira lekas percaya.
Mana ada yang seperti itu, saking tidak percayanya, Aira lekas memalingkan wajahnya untuk melihat gerakan tangan Agha yang sedang mengotak ngatik rubiknya.
"Wah." Aira sampai terperangah. "Kok, bisa cepet kaya gitu?"
"Rubik itu mainan Agha dari kecil," jawab Jaka yang sedari tadi sibuk dengan komputernya, akhirnya ikut menimbrung.
Tepat setelah Jaka duduk di samping Aira, Agha berhasil menyelesaikan rubiknya.
"Ga, lo serius, kan, mau ngajarin gue?" tanya Aira antusias.
Gadis itu memang selalu seperti ini, dia mudah tergoda untuk bisa melakukan hal-hal yang selama ini sulit ditaklukkan. Pun kenapa, orang itu harus Agha? Aira sedikit keberatan, dia juga sedikit penasaran, kenapa Agha memperlakukannya seperti ini?
"Nah, jadi gimana? Mau tips and triknya, nggak, nih?" tanya Agha, lagi-lagi mengembangkan senyumnya.
Well, meski Aira sudah mendengar desas desus kalau si Agha ini bajingan tampan, Aira tidak bisa apa-apa setelah didekati begini. Dia juga tahu, kalau Agha sering mencampakkan wanita yang mungkin sudah dia buat nyaman. Aira punya pilihan untuk pergi, namun dia tertahan di sini.
"Mau banget!"
Dia butuh obat untuk melupakan Dipta. Kalaupun Agha memanfaatkannya, Aira juga punya alasan untuk memanfaatkannya.
"Oke, jadi besok, lo ada rencana jalan ke mana?"
Aira menoleh setelah lama terpaku pada rubik yang sudah bersatu dengan kawananya, dia menatapi Agha dengan halis bertaut.
"Besok gue mau sekolah, lah. Tapi, nggak jalan. Gue kalau ke sekolah naik angkot, Ga."
Ketiga lelaki itu tertawa, Agha tidak termasuk.
"Bukan, Aira. Maksud gue, besok, kan, sabtu, lo ada rencana main ke mana?"
Pertanyaan Agha barusan memancing suara riuh dari ketiga temannya, Agha biasanya tidak akan berlaku seperti ini. Si orang yang paling benci hubungan, menunjukkan sisi lainnya hari ini. Dia terlalu—bagaimana cara menjelaskannya, ya? Terlalu banyak merayu? Mirip seperti itu, tapi maksudnya bukan seperti sebuah rayuan.
Intinya, sih, semenjak Aira menolaknya mentah-mentah, sisi lain Agha mulai keluar. Entah akan berdampak bagaimana, namun ini bukan sesuatu yang bisa dikatakan baik. Agha terlihat menikmati sisi sakitnya, satu sisi yang butuh sembuh itu, ia malah terus membiarkannya.
"Ah, main maksud lo. Nggak ada, sih, tapi niatnya besok gue mau cari buku," jawab Aira, membutuhkan waktu untuk mencerna percakapan Agha tadi.
"Gue anter, pulangnya nanti bisa langsung bikin klip buat tugas seni, oke?"
Tidak oke sama sekali, tapi apa boleh buat? Aira tidak bisa menolaknya. Bukan menolak ajakan Agha, tapi keinginan hatinya yang mendadak kurang ajar begini. Aira tidak bisa membohongi dirinya sendiri.
Belajar dari masa lalu, Aira pernah menyimpan perasaan, dan berharap perasaannya akan benar-benar hilang Namun, itu bohong. Kalimat tadi, hanya pemanis, hanya hiburan untuk diri sendiri. Padahal, perasaan itu akan tetap sama, akan tetap berada di sana. Tidak akan pernah hilang, sebab semakin dibiarkan, perasaan itu malah makin membesar, sulit dikendalikan, lalu pada akhirnya hikmah dari menyimpan cinta sendirian adalah sia-sia.
"Nggak usah, ngapain—"
"Nggak usah nolak, gue nggak menawarkan penolakkan, kan? Besok, pulang sekolah, gue anter!" putus Agha, kemudian mengambil ponsel di sakunya yang bergetar.
Aira tidak begitu penasaran, bisa jadi dari gebetan atau mungkin kekasihnya. Namun, kenapa wajah anak lelaki ini mendadak masam?
"Ya, aku pulang sekarang," katanya begitu mengangkat panggilan tadi.
Tidak ada yang penasaran, seolah mereka semua sudah tahu siapa yang membuat mood Agha menjadi jelek begitu.
"Ra, mau gue pesenin driver buat pulang?" Agha kembali bersuara, sedangkan respon Aira tampak seperti orang bodoh.
Dia membulatkan kedua matanya, satu jarinya menunjuk dirinya sendiri. "Gue? Pesen driver? Buat apa? Kan, lo yang mau pulang."
Tuh lihat, si Agha sekarang malah tertawa. Bukan hanya Agha, tapi ketiga temannya juga. "Lo mau nginep di sini? Mau main sama kunti yang tinggal di studionya si Jaka?"
"Hah? Oh iya, gue harus pulang!"
Mereka berempat tertawa lagi.
"Biar gue yang anter, Ga. Lo pulang aja," ucap Jaka beranjak dari kursi komputernya.
"Tugas lo gue kelarin malam ini, nanti urusan klip lo bisa andelin si Aidan."
"Gue?" Aidan menggerutu kecil, pandangannya beralih menatap sketch book A4 di tangannya.
"Ya udah, ayo, Ra. Gue anter balik," ucap Aidan belum sempat dia berdiri, Cakra sudah lebih dulu mencekal tangannya.
"Biar gue yang anter. Jaka, Aidan, lo duduk manis aja." Kali ini, Cakra ikut berinisiatif.
"Apa, sih, kalian? Emang siapa yang suruh kalian anterin Aira? Gue? Nggak! Gue nggak pernah nyuruh," seloroh Agha, terlihat sebal.
"Apa, sih, kalian? Emang gue bilang mau dianterin sama kalian? Nggak, gue bisa pulang sendiri." putus Aira kemudian menyampirkan ransel di pundak kanannya.
"Gue pulang sekarang. Untuk masalah tugas, lo bisa hubungi gue—ah, lo udah save nomor gue, belom?" Agha tersenyum, menyambut gelagat salah tingkah si manis Aira.
Gadis berseragam putih abu itu sedikit terhuyung, begitu Agha sengaja merundukkan tubuhnya dan tersenyum tepat di depan wajahnya.
"Ra, nomor lo atau hati lo, bukan hal yang sulit untuk gue miliki."
Ucapan Agha barusan terdengar meremehkannya, inginnya Aira bantah. Namun, dia sudah kalah lebih dulu.
Kemarin, dia sok sokan menolak, hari ini dia bahkan mau datang tanpa menolak untuk mengerjakan tugas bersama. Haha sialan, karma selalu datang lebih cepat dari yang ia kira. Yang lebih menggelikannya lagi, Aira tidak bisa menolak karena mimpi malam lalu. Menggelikan! Sungguh!
"Gue nggak segampang itu. Dan gue bukannya mau ikut sama lo karena tampang, atau karena lo famous, tapi karena tugas. Lo ngancem gue sama tugas, it's not fair! Lo nggak bisa maenin titik lemah seseorang dengan cara begitu."
Agha tersenyum kecil, dia melangkah maju mendekati gadis itu. Sedikit merunduk, kemudian dia membisikkan sesuatu di telinga gadis itu. "Itu keahlian, gue, Aira."
Aira juga sadar, kalau penolakannya kemarin, akan membawa dia pada titik ini. Titik di mana Agha mendekatinya, lalu menjauhinya saat Aira sudah jatuh dalam pesonanya. Sialnya, permainan belum dimulai, tapi Aira sudah kalah duluan. Gara-gara mimpi sialan.
"Nah, jadi, daripada suasananya makin awkward gue balik duluan, ya," kata Aira mencoba tidak menggubris ucapan lelaki tadi.
Gadis itu benar-benar pergi. Dia melukai Lagi, harga diri Agha yang tinggi.
"Menarik, ya? Cewek selemot dan sekaku dia ada di antara kita," ujar Jaka mengompori suasana.
"Niat lo bikin Aira jatuh cinta terus ninggalin dia gitu aja, seperti biasanya, kan? Tapi, hati-hati, Ga. Gadis kaya Aira punya potensi tinggi buat ubah keadaan." Tambah jaka membuat senyum remeh di wajah tampan Agha terlihat jelas.
"Let's see. Keadaan yang mungkin kalian bayangkan, nggak mungkin terjadi. Love? Hahaha, yeah, no!" Lihatlah! Agha memanglah sombong, tengil dan argh, menyebalkan.
"Lo mau ke mana?" sergah Aidan begitu melihat si tampan Agha hendak melangkah keluar
"Nyusul Aira. Kalian laki, tapi kepekaannya tipis, mau hujan, kok, biarin anak gadis pulang sendirian?!"
Lihat, Aira bahkan tidak peduli di luar mendung atau tidak. Yang lebih parahnya lagi, mungkin dia tidak tau kawasan di sini. Jadi, sebagai lelaki Agha harus mengantarnya.
"Oy, ayo naik! Daerah sini, nggak ada bus atau angkot, makanya gue tadi nawarin driver buat lo."
"Nggak usah—"
"Nggak usah ngeyel, buru naik. Lo mau sakit?"
Setelah dirasa Aira tidak punya pilihan lain, dia akhirnya berjalan mendekati Agha, dan motornya.
Aira sempat berpikir, kenapa dia bisa terlibat dengan lelaki ini? Tepat setelah dia patah hati, tepat setelah dia bermimpi. Kenapa sekarang dunianya berputar pada Agha?
"Raina Aira Narissara, itu nama panjang lo, kan?" tanya Agha membuat Aira mengurungkan niatnya memakai helm.
"Mau taruhan sama gue?"
"Taruhan? Maksudnya lo mau jadiin gue barang taruhan, hah?" sewot Aira membuat Agha terbahak.
"Ck, kenapa gak langsung paham, sih? Maksudnya, gue mau taruhan sama lo, lemot!"
"Sama gue? Mau taruhan apa? Soal nilai?" Memang melelahkan bicara dengan si Aira ini.
"Lo baru ditolak, kan?" ucap Agha santai, lain halnya dengan Aira yang sudah kalang kabut lukanya diungkit. Bukan luka, tapi aib sampai hari tua.
"Maksud lo? Sebentar, gue nggak paham?" seru gadis ini lekas mundur ke belakang begitu Agha turun dari motornya, mengambil helm yang menggantung cantik di tangan gadis ini.
"Jadi, maksud gue kita taruhan," ujar Agha dengan senyum kurang ajarnya, dia menatap Aira serius.
Tangannya tidak tinggal diam, dia memakaikan helm putih itu pada gadis ini. "Siapa yang duluan jatuh cinta, dia wajib menuruti apa pun permintaan yang menang."
"Maksudnya?" Aira masih juga belum paham.
"Kalau lo jatuh cinta sama gue, lo wajib nurutin apa pun permintaan gue. Sedangkan kalau gue jatuh cinta sama lo, gue akan menuruti apa pun kemauan lo. Deal?"
Tidak deal, Agha curang. Sebab, tanpa dia tahu, atau mungkin Agha sudah tau—karena katanya dia laki-laki paling peka sedunia. Bagaimana pun mengatakannya, Aira sudah kalah duluan. Agha sudah membuatnya jatuh lebih dulu.
"Deal!" sahut Aira menjabat tangan Agha yang dingin, sama-sama dingin, ntah karena diguyur hujan, atau mungkin Agha juga sudah melakukan kesalahan.🍄🍄🍄🍄
KAMU SEDANG MEMBACA
After Summer Rain (TERBIT)
Novela JuvenilDari banyaknya alasan jatuh cinta, Raina Aira Narissara justru memilih cara paling bodoh. Agha Shankara bukanlah pangeran berkuda putih yang siap siaga mempertaruhkan nyawa demi dirinya, justru lelaki itu berniat menghancurkan hatinya dengan membagi...