10 • Benalu

60 24 0
                                    

🍄🍄🍄🍄

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🍄🍄🍄🍄

“Jadi, kasih gue waktu buat merayakan hari di mana gue dicampakkan untuk yang kedua kalinya..“
______________________________



Pagi hari datang lebih cepat daripada biasanya. Aira lekas memasukkan ponselnya ke dalam saku, menutup panggilan dari sang ayah setelah memberi kabar tentang ibunya.

Menutup pagar rumahnya yang terlihat sepi tanpa penghuni, Aira lekas melangkah pergi dari sini. Dia harus cepat berangkat sekolah, sebelum guru piket hari ini stay di depan gerbang sekolah.

Namun, bunyi klakson dari belakang sana berhasil menghentikan langkahnya. Lebih buruk dari itu, dia juga bahkan melihat satu mobil mewah milik Aidan. Tentu saja, Agha, si pemilik motor berwarna putih juga ada di sana, bersama ketiga temannya.

"Pagi, Nona Rain," sapa Jaka dengan senyum merekah.

Sial! Dia tampan sekali, setelah memanggil namanya dengan panggilan lain.

"Kaget, ya? Ayo bolos, kata Agha, lo butuh take terakhir buat tugas kita, kan?" tanya Cakra tidak mau kalah.

Ya tidak harus bolos juga! Dan sebenarnya, Aira lupa. Gara-gara ibunya sakit, fokusnya jadi hilang begini.

"Naik mobil Aidan, motor nggak cocok buat rok kependekan lo. Terus, bukannya gue udah bilang, ya? Panjangin rok lo, atau nggak pakai kaos kaki yang lebih panjang. Bisa?"

Dehaman usil dari Jaka dan Cakra menjadi original soundtrack untuk perhatian manis dari si Agha pagi ini.

"Gue …."

"Ayo, Ra, naik. Jangan nunggu sampai Agha marah," ucap Aidan setelah menilai gelagat Aira yang hendak menolak.

Aira tidak punya pilihan lain, bukan?

"Oke," katanya pasrah dibawa bolos oleh keempat lelaki tampan ini.

Begini, masalahnya Aira hanya ingin pikirannya bebas. Dia tidak ingin begitu sibuk memikirkan kondisi ibunya yang belum membaik, dia juga tidak begitu ingin memikirkan tatapan Agha semalam. Pun biasanya, hari sabtu sekolah tidak terlalu sibuk. Jadi, Aira putuskan untuk membolos di hari sabtu.

Namun, Aidan si baik hati ini malah belok ke arah berlawanan dengan ketiga pengendara motor yang sepertinya pergi ke arah studio Jaka.

"Sekolah yang bener, ya. Gue nggak ngizinin lo bolos, oke?" ucap Aidan menatap Aira sekilas, kemudian tersenyum tipis setelah melihat raut wajahnya yang tampak membaik.

"Hubungan lo sama Agha udah berkembang sejauh mana?" Aira bahkan tidak tau alasan Aidan menanyakan ini.

"Nggak berkembang sejauh apa pun, sih. Dia cuma nganterin gue balik, terus kemarin protect gue dari orang jahat."

"Oh ya? Dia sampai jagain lo?" tanya Aidan sedikit tercengang.

Gadis itu mengangguk kecil.

"Kemarin, gue hampir nangis gara-gara omongan orang lain. Tapi, nggak jadi, di luar dugaan, Agha yang gue kira brengsek, malah ngebela gue," jawab Aira mengingat sensasi mendebarkan saat Agha memanggilnya cantik.

"Hebat! Andara aja dulu susah banget luluhin dia."

"Andara? Itu bukannya sultan--"

"Bukan, lah! Jangan ngaco! Masih pagi," kata Aidan tampak terkekeh di sana. "Oke, karena gue keceplosan, nggak ada salahnya lo tau sesuatu tentang Agha. Jadi, Andara itu adalah masa lalunya si Agha. Bisa dibilang, mereka kena friendzone. And well, udah sampai sekolah, lo cukup tau sampai sini aja, oke?"

"Oke, tapi boleh kasih tau gue sesuatu? Sekarang Andara di mana?"

"She's gone. Agha kira bahagianya itu Andara. Jadi, segala tempat di dalam hidupnya dia isi dengan nama itu. Tapi, Andara berbeda, dia memilih pergi karena katanya Agha pantas bahagia meski bukan bersamanya. Lucu, bukan?"

"Sebentar, jadi …," Aidan mengangguk menjawab pertanyaan yang belum sempat terlontarkan dari bibir mungil gadis ini.

Jadi, bagi Agha, namanya memang sudah lama mati di dalam hati, nama yang menjadi penyebab dia mematahkan banyak hati tanpa hati. Namun, bagi Agha, kenangan singkat manis itu, tetap Abadi di satu tempat bernama masa lalu.

………

Sabtu sore, Agha kira hujan tidak akan turun. Yang benar saja, ini baru pertengahan musim kemarau yang katanya akan berlangsung panjang.  Tapi, kenapa hujan sudah turun melanda. Dia terjebak di ruang kelas gelap ini, bersama dengan gadis yang sedari tadi sibuk memutar rubik miliknya.

Tanpa Agha sadari, dia tersenyum melihat keseriusan Aira yang sedang mencoba menyusun warnanya agar sama.

"Aidan nggak ngapa-ngapain lo, kan?" Gadis itu menggeleng sebagai jawaban yang Agha lontarkan barusan.

"Aidan bilang apa sama lo? Kenapa mau aja diajak kabur sama dia? Tenang, gue nggak akan marah, tugas kita udah beres, nih."

"Nothing! Dan bukannya lo, ya, yang niat bawa kabur gue? Iya, bilangin makasih sama Jaka dan Aidan," ucap Aira dengan tangan yang masih sibuk dengan rubiknya, sampai akhirnya, suara tawa seorang Agha berhasil membuyarkan seluruh fokusnya.

Lalu, si lelaki tampan ini tertawa. Entahlah, seharusnya dia ikut bersama ketiga kawannya pergi ke tempat bowling. Namun, pada akhirnya Agha memilih terjebak bersama gadis ini, di tempat paling suram selama hidupnya

"Susah, kan?" tanya Agha yang tidak sadar kini sudah berdiri dihadapan gadis ini dalam jarak yang amat dekat.

Wangi manis dari parfum yang dia pakai menyeruak lembut di indra penciumannya. Senyumnya semakin bertambah lebar, saat dia menyadari kalau rubiknya kian bertambah kacau.

"Ga, kenapa ini makin nggak jelas, sih, bentuknya? Merasa sia-sia gue belajar sama lo, kenapa gue masih nggak bisa-bisa, ya?" lalu tawa keduanya melebur hangat, bersama hujan yang turun di tengah musim panas.

"Jelas, lo ancurin rubik gue, padahal kalau langkah lo bener, rubik gue udah beres, nih! Dan jangan salahin gue, salahin aja otak lemot lo!" Kemudian, lelaki dengan jaket baseball navynya itu, duduk di samping Aira.

Tanpa mau peduli atau tau, detak jantung gadis itu sudah segila apa. Padahal, Agha itu punya satu keistimewaan, dia itu peka!

"Coba lo maenin lagi, ntar gue kasih arahan," katanya membuat Aira mengangguk kecil.

Melihat bagaimana cara Aira memainkan rubiknya, Agha tidak tahan untuk tertawa. Bagaimana pun dilihat, dia bukannya berniat menyusun, tapi merusak dan menghancurkan rubik miliknya.

"Ra, nggak gitu mainnya!" protes Agha menyisakan tawa mengejek di sudut bibirnya. "Yang hijau nggak lo puter ke kanan, puter ke arah sebaliknya, yang merah baru lo puter ke kanan. Kalau lo mainnya gitu terus, sampai lo nikah, rubiknya nggak akan jadi."

Tanpa peringatan, tatapan mereka bertemu dalam satu titik paling canggung. Shit! Kenapa Aira mudah terprovokasi oleh satu kata itu. menikah! Oh sial! Yang benar saja.

Dalam ruang sepi bernama canggung, Aira duduk berhadapan dengan dambaannya. Kalau sejak awal dia tau mendapatkan hati laki-laki seperti apa, mungkin dia akan melakukan hal yang sama untuk mendapatkan Dipta.

Namun, Aghalah yang membuat Aira mengerti. Bahwa tidak selamanya diam itu emas, bahwa tidak selamanya diam itu baik, bahwa tidak semua perjuangan hasilnya manis, bahwa tidak semua mimpi berakhir indah juga.

"Lo tahu, gak, sih, dulu lo nggak menarik sama sekali di mata gue." Suasana yang semula berjalan baik-baik saja, mendadak mendukung untuk berkata jujur. "Tapi, ntah sejak kapan, waktu gue nggak liat lo, gue selalu mencari keberadaan lo, Ga."

"Lo baper sama gue?"

"Bukannya udah jelas? Dan gue juga tau, akhirnya akan bagaimana, sebab gue tau, lo laki-laki brengsek yang suka ninggalin cewek waktu dia udah nyaman sama lo. Tapi, sejak gue suka sama Dipta, sejak gue memberanikan diri buat mengakui perasaan gue ke dia, sejak gue berani buat lebih jujur sama perasaan diri gue sendiri, sejak gue tau rasanya ditolak, gue memutuskan untuk tidak lagi diam-diam suka sama orang. Gue kalah, Ga!"

Aira sudah meneguk ludah berkali-kali, dia ingin menghentikan bualan anehnya. Namun, tidak bisa. Dia ingin mengatakan segalanya.

"Lo bisa mundur sekarang, sebelum gue lebih parah rusak—"

"Gue tau, Ga. Gue tau, lo mempermainkan gue sejak awal. Taruhan atau apa pun itu, gue tau segalanya! Salah gue, terhanyut dalam permainan lo. Gue nggak menyesal, Ga, karena gue tau, lo tau semuanya dari awal, kan? Lo tau bagaimana perasaan gue, dan setidaknya lo nggak keberatan menghabiskan waktu bareng gue yang suka sama lo. Tapi, apa lo akan terus bersikap kaya gini sama gue, Ga? Di saat lo nyuruh gue mundur, lo pernah nggak, sih, penasaran kenapa gue bisa jatuh cinta sama lo?"

"Nggak penasaran, nggak pengen tahu. Gue cuma pengen lo enyah, sumpah! Keinginan gue udah terkabul, sekarang. Gue udah bikin lo merasakan yang namanya dicampakkan untuk yang kedua kalinya. See, who is the winner?!"

Wah, memang Aira sudah salah kaprah sejak awal. Namun, anehnya di sini terasa seperti Aira adalah pemenangnya.

"Di mimpi gue, lo peluk gue. Di mimpi gue, lo sayang sama gue. Di mimpi gue, lo jatuh cinta sama gue. Indah banget, kan, mimpi gue? Tapi gue tau, itu cuma mimpi. Mimpi yang bikin gue jatuh sejatuh jatuhnya sama lo, Ga."

Namun, sampai akhir Aira tidak pernah ingin menyerah. Dia ingin memberitahu Agha mengenai segalanya.

"Meski gue tau, jarak antara dunia mimpi dan nyata adalah khayal, gue tetap jatuh cinta sama lo. Meski gue tau lo mempermainkan gue, gue tetep suka sama lo. Jadi, kasih gue waktu buat merayakan hari di mana gue dicampakkan untuk yang kedua kalinya." Aira tersenyum, memandangi rubik yang sudah bersatu dengan warnanya.

"Satu hal terakhir yang harus lo tahu, gue bahagia, bukan hanya di mimpi, tapi saat ini juga—waktu sama lo, gue bahagia, Ga."

"Gue enggak," jawab Agha mengepalkan jari tangannya. "Lo beban, Ra! Gue nggak butuh lo, gue nggak jatuh cinta sama lo, gue nggak bahagia waktu sama lo. Karena bagi gue, lo sama kaya yang lain. Lo cuma liat gue sebagai orang ganteng berduit, yang lo cintai bukan gue, tapi tampang gue. Sama seperti yang lain, lo cuma ingin memanfaatkan sesuatu dari gue. Lo benalu!" Lalu, ini maksud Aidan soal Agha yang senang membagi lukanya.

Penyangkalan yang kuat, malah membuat Aira berharap kalau perasaan Agha padanya juga sama.

"Gue nggak sepenuhnya mengerti maksud lo. Ya, orang bilang lo tampan, nyaris sempurna. Tapi, di mata gue, lo kesepian. Lo, nggak menginginkan hidup lo. Lo tertekan, lo nggak pernah cerita, tapi gue tau. Rubik menjadi tempat lo mencurahkan kesedihan, dan tempat lo menghibur diri, kan?"

Agha memilih menyerah lebih dulu. Sebab, di mata Agha, cinta itu bohong. Tidak ada. Semuanya fana.

Lalu, Aira juga tidak tahu, di antara rumitnya menyamakan warna rubik yang beragam, kehadirannya justru memberi warna yang tidak pernah ada sebelumnya. Dia menjadi warna baru, sekaligus warna terindah yang pernah dia lihat.

Ya, Agha menutup mata. Menutupi fakta, kalau perasaannya mungkin tidak akan bertahan lama. Namun, dadanya berdesir hebat mendengar pengakuan jujur dari gadis ini.

"Nggak apa-apa, Ga. Mau lo anggap gue benalu, penggangu, setidaknya lo anggap gue ada. Terima kasih."

Jawabannya sama, jawaban tentang rasa suka berlebihannya pada kaum Adam selalu satu suara, dia dicampakkan lagi. Ya, selamat, sebab Agha berhasil membuat Aira merasakan kalah untuk yang kedua kalinya.

🍄🍄🍄🍄

🍄🍄🍄🍄

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
After Summer Rain (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang