Dari banyaknya alasan jatuh cinta, Raina Aira Narissara justru memilih cara paling bodoh. Agha Shankara bukanlah pangeran berkuda putih yang siap siaga mempertaruhkan nyawa demi dirinya, justru lelaki itu berniat menghancurkan hatinya dengan membagi...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
🍄🍄🍄🍄🍄
…………..
“Bilangnya sayang, bilangnya suka, tapi kenapa masih suka bahas masa lalu!“
______________________________
Bodohnya Agha saat itu adalah, dia tidak mengejar Aira setelah pertengkaran tidak penting itu. Dia hanya melihat sosok Aira yang berjalan seperti anak kecil, yang membawa satu bungkus permen kapas berwarna merah muda.
Pun, Agha tidak segera mengejarnya, setelah ibu menelpon. Kabar dari Andara terus berdatangan, ada kabar kalau Andara akan dipindah ruangankan. Kondisinya sedikit membaik, meski katanya seluruh badannya terasa kaku. Gadis itu ingin bertemu Agha. Entah apa yang mau dia katakan, hati kecil Agha berkata untuk segera menemuinya. Ya, dia pecundang.
Mengetuk-ngetuk meja belajarnya sembari menatap ponselnya yang terus saja mendapat notifikasi, Agha akhirnya menghela napas panjang. Dia mengambil ponselnya, sekalian dengan kunci motornya.
Ya, meski jauh di dalam hatinya dia ingin bertemu dengan Dara, gadis itu tidak berhak mendapatkan attention lebih darinya. Sekarang, di dalam dada Agha, nama Andara dan Aira seolah sedang bertengkar, memperebutkan siapa yang lebih berhak untuk mendapatkan perhatian kecil dari Agha.
Rumahnya sepi, padahal ini sudah pukul sebelas malam. Memang Agha sudah terbiasa begini, dia jadi punya sedikit kebebasan, meski esok harinya dia harus kena pukul. Dia sudah tidak peduli lagi, Aira lebih penting sekarang.
Sembari menggunakan jaketnya, Agha juga mengantongi kubus rubik yang masih acak-acakan. Satu hadiah, juga alasan malam ini dia menemui Aira.
Malam hari ini tampak sedikit berkabut. Tidak hujan, tapi hawa dingin mulai menyeruak masuk meski Agha sudah mengenakan pakaian hangatnya.
Semenjak kejadian itu, Aira menolak dihubungi dengan cara apa pun. Ya, wajar kalau Aira marah, sebab Agha memang brengsek. Dia mengungkit masa lalunya, bahkan membandingkannya dengan binar mata yang masih menyala, itu artinya Agha masih mengharapkannya. Dan Aira tidak cukup bodoh untuk menafsirkannya.
Sampai di persimpangan jalan, dekat mini market di mana Agha mengantar Aira membelikan ice cream kesukaannya. Sempat terpikir untuk membawa oreo ice cream untuk gadisnya, tapi ini bukan waktu yang tepat.
Akhirnya, Agha memutuskan untuk meneruskan jalan menuju rumah kekasihnya.
Ya, dia melakukan hal yang sama, seperti waktu Aira merindukannya. Dia menghampirinya, menghampiri rumah Agha. Bukan rumah yang sebenarnya, namun bagi Agha, studio Jaka lebih terasa nyaman dibanding rumah mewahnya.
Jantungnya berdegup kencang, Agha lekas mematikan mesin motornya. Hawa dingin yang mungkin menyelimutinya tadi, mendadak mencair begitu dia berdiri dengan gelisah di depan rumah seorang gadis, rumah kekasihnya.
Memainkan jari tangannya yang masih terselimuti sarung tangan, Agha dengan berani memencet bel samping pagar bercat putih. Sambil menunggu seseorang membuka pintu, Agha lekas melepas sarung tangan hitamnya.
Dadanya berdegup hebat begitu sosok gadis dengan hoodie hitam, muncul di balik pintu. Kedua mata Aira membola, nyarisn keluar dari tempatnya. Agha ingin tertawa, tapi dia simpan kembali, begitu Aira terlihat marah saat menghampirinya.
"Ra, siapa?" ucap seseorang di dalam sana, akhirnya membuat Aira bergeming.
"Temanku, Yah," jawab Aira membuat Agha lekas cemberut.
Dia menunggu sampai Aira membuka pintu.
"Teman? Kok, temen, Ra?" tanya Agha begitu Aira sampai di depan matanya.
"Mau apa ke sini? Nggak naik bianglala sama mantan lo?" jawab Aira sewot.
"Ih, Aira! Gue mau minta maaf," ucap Agha terdengar tulus, tapi hal itu belum cukup untuk meredam rasa kesal dalam diri Aira.
"Kenapa? Emangnya lo bikin salah apa minta maaf?" Gemas sekali melihat Aira marah-marah begini.
"Ra, temannya suruh masuk, udah malem," teriak Ayah Aira dari dalam sana, sudah terdengar seperti lonceng penyelamat.
"Ayah lo nyuruh masuk, Ra, ayo ...."
"Nggak, Yah, ini ...."
"Makasih, Om! Saya masuk sekarang, ya!" Aira melotot mendengar jawaban dari si Agha.
Kenapa dia malah ikut berteriak?
"Agha!" seru Aira tampak malu, pasalnya teman yang dia maksud adalah laki-laki.
Apa kata ayahnya kalau dia membawa laki-laki malam begini?
Tuh, lihat, ayah langsung keluar setelah mendengar Agha berteriak.
"Siapa, ya?" tanya Ayah, begitu sosok anak lelaki tampan ini membayang dengan jelas di kedua netranya yang sudah tampak kelelahan.
"Agha Shankara, Om, teman sekelasnya Aira. Sekaligus pacarnya anak Bapak." Bibir Agha tersenyum, sedangkan bola mata gadis di sebelahnya tampak membola.
"Kamu ngajak anak saya pacaran malam-malam?" Agha lekas menggeleng pelan, gesture tangan Agha menyangkal segalanya.
"Ng-nggak, Om! Bukan begitu, saya ke sini, karena kemalaman mau pulang ke rumah. Rumah saya di daerah perumahan Sriwijaya, Om. Om tau, kan, daerah sana kalau jam segini seram."
Ayah Aira tampak berpikir sejenak, melihat Agha dari atas sampai ke bawah.
"Kamu, masuk dulu," kata Ayah, membuat jantung Aira lekas berdebar hebat.
"Sudah makan?" Pertanyaan sang ayah justru membuat rasa takut Agha sedikit meluntur. "Kalau belum, mau makan bareng saya? Saya sama Aira kebetulan mau makan malam, nih."
"Eh? Nggak apa-apa, nih, Om? Saya ke sini cuma mau numpang sampai temen saya jemput ke sini."
"Makan dulu, ayo. Ada nasi goreng," kata Ayah membuat Aira tambah semakin tidak percaya.
Aira kira, ayahnya akan menanyakan hal-hal aneh. Seperti, ya seperti yang kalian oikirkan saat seorang laki-laki datang tanpa diundang, dengan wajah sang putri yang terlihat tertekan.
"Kamu kabur dari rumah, ya?"
"Eh? Nggak, Om. Saya ke sini mau ketemu sama Aira," jawab Agha tampaknya belum sadar dengan kejujurannya.
"Mau apa ketemu anak, saya?" tanya Ayah, menaruh semangkuk nasi goreng kecap lengkap dengan mentimun, dan telur ceplok.
"Mau minta maaf ...," Kemudian kalimat Agha berhenti sampai di situ, dia baru menyadari kebodohannya barusan.
"Oke, abisin makannya. Udah abis, saya masih waktu lima belas menit buat kamu ngobrol sama anak saya, di luar aja, ya, ngobrolnya. Terus, panggil saya Pak, aja, jangan panggil Om."
Agha tersenyum kecil, dengan semangat dia menghabiskan sepiring nasi goreng buatan Ayah Aira.
"Ayah lo baik, beda banget sama Ayah gue. Acuh, tapi angetnya sampai ke hati. Beda sama Ayah gue, anyep. Pengen jadi anaknya Ayah lo, deh."
Aira diam tidak merespon, bukan sibuk mengunyah makanannya, tapi sibuk dengan pikirannya. Kalau menjadi Agha, Aira mungkin tidak akan jadi sekuat dia.
Sampai akhirnya, Aira yang memutuskan tidak bicara apapun pada Agha, kini mengatakan satu kalimat untuknya.
"Pernah denger, nggak? Katanya, enggak semua orang tua itu adil sama anak-anaknya. Tapi, ketika si anak yang tumbuh dewasa tanpa merasakan kasih sayang orang tuanya tumbuh menjadi orang tua, katanya dia akan punya peran menjadi orang tua yang hebat. Orang tua yang selalu ada untuk anaknya. Like it's oke, hari ini lo merasa nggak adil dengan sikap orang tua lo. Kelak, saat menjadi orang tua, lo harus memberikan apa yang nggak pernah lo terima sebelumnya buat anak lo."
Agha tersenyum kecil, memperhatikan setiap kalimat yang keluar dari bibir gadisnya.
"Jadi, Ra, gue udah di maafin?" tanya Agha, membuat Aira tersedak makanannya sendiri.
Oke, kalimatnya terlalu panjang! Wajar saja kalau Agha menganggap Aira sudah memaafkannya.
"Ck, ayo di luar ngobrolnya," ucap Aira kemudian berjalan lebih dulu meninggalkan sepiring nasi goreng yang belum habis.
Sebenarnya, Aira masih kesal. Namun, melihat di cuaca yang lumayan dingin ini Agha menghampirinya, hati Aira menjadi lebih tenang dan senang. Apalagi, Agha menyadari kesalahannya.
"Apa? Lo mau bilang apa? Maaf lagi?" Agha mengangguk mengiyakan ucapan Aira.
"Salah apa? Kenapa minta maaf?"
"Soal Andara, soal kesukaannya dan kesukaan lo. Gue minta maaf, karena gue berani membandingkan lo sama Dara. Satu yang harus lo tau, rubik ini itu adalah kita." Alis Aira tertaut mendengar pernyataan Agha barusan.
"Rumit, maksud lo?" tanya Aira mendapat gelengan kecil dari Agha.
"Penuh warna, dan abstrak. Mungkin terlihat berantakan, tapi warna di dalam sini tidak akan kurang, apalagi lebih saat warnanya di samakan. Itu artinya, nggak ada celah untuk warna baru muncul di sini. Nggak ada tempat, Ra. Penuh sama lo."
Sial, seharusnya Aira dari dulu pacaran, jadi dia tau apa yang harus dia lakukan saat ini.
"Tau, ah, bilangnya sayang, bilangnya suka, tapi kenapa masih suka bahas masa lalu?" Aira jadi merajuk sampai akhir.
"Jangan cemburu begitu, atuh, sayang." Agha terus mencecarnya dengan kalimat manis meyakinkan.
"Tau, ah! Males! Besok-besok paling goyah lagi!"
"Nggak, sayang, gue beneran minta maaf, maafin ya, maafin! Gue beneran nggak bisa makan, nggak bisa tidur seharian ini."
"Ya udah, ayo makan lagi, gue ganggu, ya, tadi?" Agha tersenyum kecil, dia merunduk lalu tangannya usil menaikkan kupluk sampai rambut Aira menutupi wajahnya sendiri.
"Bisa, nggak, sih, jangan bikin gue jatuh cinta, gugup, sama salting setiap hari sama lo?" Agha tertawa tepat di depan wajahnya.
Sampai sini, Aira sudah benar-benar memaafkan Agha. Lelaki yang sampai saat ini belum yakin dengan pilihannya yang sekarang.
Dia bahagia, namun pikirannya masih penuh oleh Andara.
🍄🍄🍄🍄
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.