9 • Rahasia Masa Lalu

58 28 0
                                    

🍄🍄🍄🍄

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🍄🍄🍄🍄

……………..

“Meski masa depan nggak bisa diperhitungkan akan berbentuk bagaimana, tapi masa lalu nggak akan terjadi dua kali, kan? Tahu kenapa? karena dia punya tempatnya sendiri.“
______________________________


Malam datang lagi, bintang memenuhi ruang angkasa di musim panas kali ini. Aira tidak jadi diperkenalkan secara resmi menjadi pacar dari Agha Shankara, dia tergesa pulang setelah mendengar kabar ibunya masuk rumah sakit.

Sore tadi, Agha mengantarnya sampai di depan pelataran rumah sakit. Senang, ya, hari ini cukup menyenangkan, dengan kabar menyedihkan datang di penghujung hari yang melelahkan. Dia sekarang sudah berada di rumah, tidak ada makan malam di atas meja makan seperti biasanya. hanya ada dua mangkuk mie goreng yang baru dimasak bersama dengan adiknya.

"Ibu nggak apa-apa, Kak. Besok juga pulang," kata Banu, si adik laki-lakinya yang paling tidak sopan itu, mendadak menjadi bijak setelah melihat raut wajah kakaknya yang berantakan.

"Iya, tau. Cuci piringnya dulu sebelum masuk kamar, Kakak mau keluar sebentar." Tanpa membantah, Banu lekas mengambil piring kotor, kemudian melangkah pergi setelah menghela napas panjang.

Ice cream oreo vanilla bercangkang biru, adalah solusi terbaik untuk mengatasi hari terburuknya. Setelah mengambil jaket hitamnya, Aira lekas melangkah keluar. berjalan dipayungi bintang yang bertaburan banyak sekali malam ini.

"Kenapa, sih, sama hari ini? Jadi pengen ketemu Ibu, tapi besok sekolah," gerutu Aira, menendang kerikil kecil yang di rasa menghalangi langkahnya.

"Tapi gue lega, karena Dipta udah nggak jadi beban pikiran gue lagi. Jadi penasaran, si Agha lagi ngapain, ya?" ocehnya semakin tidak masuk akal, kemudian dia tersenyum sambil menepuk pipinya sendiri.

Jatuh cinta dan patah hati adalah kolaborasi sempurna untuk remaja yang sedang melalui masa muda sebelum dewasa. Jatuh cinta dan patah hati juga merupakan pengalaman masa muda yang sulit dilupa, berkesan sekaligus menggelikan.

Ya, Aira sedang berada di fase ini.

Fase di mana cinta adalah segalanya. Fase di mana dia mengira kalau cinta masa muda akan berlangsung selamanya. Lalu, di saat dia sedang ribut dengan isi pikirannya sendiri, langkahnya terhenti begitu sepasang sepatu hitam terperangkap dalam retinanya.

"Jalan itu lihat ke depan bukan nunduk," sambar satu suara yang perlahan mulai terdengar ramah di indra pendengarannya. "Lo nggak kaget ketemu gue? Ini malam minggu loh, cuaca cerah gini cocok buat main."

"Kaget, sih, pasalnya untuk apa Agha Shankara yang banyak ceweknya ada di sini? Mau ngapain? Pacar lo rumahnya di daerah sini? Terus, besok hari sabtu, Agha! Apanya yang malam minggu?" protes Aira dihadiahi kekehan dari si tampan.

Mengejutkan, karena si Agha ini selalu ada dalam setiap langkahnya. Aneh, tapi Agha yang ada di depannya ini nyata.

"Mau ngehibur lo, siapa tau senang setelah ketemu gue," katanya selalu terdengar menyebalkan, tapi Aira maklum.

"Ih, si Agha!"

"Apa, Aira!" jawaban macam apa itu? Kenapa jantung Aira jadi berdebar tidak karu begini?

"Gue mau cerita, nih," kata Aira dengan rasa penasaran tentang masa lalu Agha, yang mencuat tiba-tiba.

"Lo tau, nggak? Dulu, gue hampir ketabrak mobil di depan minimarket yang ada di depan. Tapi, gue nggak trauma nyebrang lewat sana, soalnya di minimarket itu ada ice cream kesukaan gue." Aira hanya sedang mencoba, siapa tau Agha bisa terbuka padanya.

"Apaan, sih, random banget lo. Cerita, apa mau ngomongin lo yang hampir mati, nih?" ucap Agha terdengar sinis.

"Iya, gue mau curhat sama lo. Emangnya lo doang yang usaha bikin gue jatuh cinta? Gue juga, dong, ini lagi usaha!" Lihat-lihat, si Agha malah menggerlingkan bola matanya.

"Terus? Lo nggak mati, kan? Lo masih hidup dan sekarang lagi mencoba bikin gue jatuh cinta, kan?" Aira mengangguk menyetujui ucapan Agha.

Terlihat lugu, lalu satu senyum tercetak manis begitu saja di sudut bibi Agha yang terlihat merona sama seperti pipinya.

"Iya, di masa lalu, gue beneran takut mati untuk hal apa pun. Tapi, setelah gue mencoba untuk berdamai dan yakinin diri gue sendiri, gue baik-baik aja sekarang. Membenci hal di masa lalu nggak ada untungnya, meski masa depan nggak bisa diperhitungkan akan berbentuk bagaimana, tapi masa lalu nggak akan terjadi dua kali, kan? Tau kenapa? karena dia punya tempatnya sendiri."

Agha ingin menyangkal sesuatu, mamun sesuatu yang ingin dia tepis itu malah terasa makin nyata. Setiap ucapan yang terlontar dari gadis bernama Aira ini, terus-terusan mencuri detaknya. Menjadi kacau, dan berantakan, untuk itu Agha datang lagi untuk memastikan sesuatu.

"Terus, lo pernah nggak rasain lihat orang yang lo sayang mati di depan mata lo sendiri? Di tinggal mati, tanpa pernah lo bilang how much you love him? Tanpa pernah lo bilang, kalau lo sayang banget sama dia? Lo pernah ngerasain nggak, rasanya di bayang-bayangi kalau lo akan ditinggalkan untuk yang kesekian kalinya?"

Lalu, Aira tidak menyangka, kalau masa lalunya tentang hampir mati itu, sepertinya relate dengan masa lalu Agha.

"Emang lo pernah ditinggalin siapa?" tanya Aira mengalihkan pandangannya untuk sejenak menatap Agha.

Namun, di dekat lampu jalanan yang menerangi penyebrangan, Agha mencekal erat lengan Aira. Menarik gadis itu untuk berada di dekatnya.

"Bodoh! Lo juga mau ikut-ikutan mati di depan mata gue, biar hidup gue nggak tenang, ya?" bentak Agha melihat sebuah motor melaju dalam kecepatan gila.

Pun sekarang, dalam jarak yang terlampau dekat, dalam iris mata yang selalu terlihat cantik dari kejauhan, sekarang Aira dapat melihat sesuatu di dalam sana. Dalam jarak dekat, iris bening itu hanya berisi lubang hitam berisi ketakutan dan kesedihan, ya, tampak jelas terlihat di sana.

"Maaf," ucap Aira menarik dirinya sendiri agar jauh dari jangkauan lelaki itu.

"Kalau nyebrang, lihat jalan! Jangan liatin muka gue. Ya gue tau, kok, kalau gue ganteng!" pernyataan konyol macam apa itu?

Namun sepertinya Agha hanya sedang mencoba menenangkannya

"Udah, ah, berisik! Gue mau beli es krim!"

Sebelumnya, Aira tidak pernah berpikir kalau kehadiran Agha akan mempengaruhi hari-harinya yang biasa saja ini menjadi sedikit berkesan. Lihat saja, berkat Agha, Aira merasa dirinya cantik setelah dikatai pantas bersama lelaki jangkung ini, oleh ibu-ibu yang membawa troli berisi belanjaan bulanannya.

"Agha, gue mau tanya," kata Aira setelah berhasil mendapatkan ice creamnya.

Satu bungkus sudah habis dia nikmati tanpa menawari si Agha, yang tidak juga enyah dari sisinya.

"Tanya aja," jawab Agha menyodorkan sehelai tisu padanya. "Tapi, lap dulu bibir lo! Belepotan! Jorok!"

Anehnya, meski sikap Agha ketus, tidak sopan, dan menyebalkan, kenapa Aira rela menjadi bodoh dan jatuh cinta secara sukarela begini padanya, ya?

"Ck, dengerin ya." Aira menghela napas panjang, setelah mengelap bibirnya yang blepotan. "Lo ngerasa bahagia, nggak, sih, setelah mencampakkan banyak cewek? Atau mungkin lo ngerasa hebat, setelah ninggalin cewek yang udah nyaman sama lo?"

Agha lekas tertawa mendengar pertanyaan retorika yang Aira ucapkan.

"Jelas, gue ganteng, banyak yang suka, hilang satu gue cari yang baru—"

"Salah!" belum selesai Agha bicara, gadis dengan jaket baseball coklatnya itu menyanggah.

"Prinsip lo sebagai lelaki itu kaya gini, bosen sama yang satu, lo cari yang baru. Yang lama lo buang, seolah-olah waktu yang dia pakai buat lo itu nggak ada harganya. Padahal, waktu adalah hal yang paling berharga bagi manusia, Agha."

"Hidup gue, ya suka-suka gue. Mau gue ninggalin, atau cari yang baru, ya urusan gue. Hak gue sebagai manusia."

"Itu namanya egois," sergah Aira tampak gemas.

Lihat wajah si Agha sekarang, serius dia sangat halal untuk di pukul minimal dicubit dibagian lengannya. Belum sempat Aira menunaikan hajatnya, tiba-tiba agha mengehentikan langkahnya. Dan sepasang sepatu hitam lainnya ikut terjebak di kedua matanya.

“Memang ayah menyuruhmu berkeliaran dengan seorang gadis begini?” tanyanya langsung pada intinya, bahkan kehadiran aira tidak dia indahkan sama sekali.

Tunggu, tadi Aira mendengar kata ayah?

“Hallo, Om, saya—”

“Diem, nggak usah disapa, nggak apa-apa,” ucap Aira mencegah Aira bicara lebih banyak lagi.

“Mau apa lagi? Ayah mau apa dari anak Ayah yang tidak berguna ini, hmm?”

“Ayah mau kamu belajar, Agha! Bukan ….”

Aira mematung, dia baru tau siapa yang membuat wajah Agha murung setiap kali dia menerima telepon. Ya, orang tuanya sendiri. Bahkan Aira tidak mau berspekulasi aneh, kenapa orang tua Agha sampai mengikutinya begini?

"Udah aku bilang, aku nggak mau! Aku pergi, cari udara segar, karena malas di rumah banyak tekanan! Jadi penerus Ayah? Oke, Agha setuju. Tapi balikin Kakek, balikin semua hal yang sudah hilang di masa lalu. Balikin semua hal yang udah kalian rebut dari aku, hal yang udah kalian rusak dan hancurkan untuk membuat Agha yang kalian mau!"

Agha berteriak di sana. Mungkin dia lupa ada Aira di sana.

"Lulusan terbaik? Kalian tahu, peringkatku ada di lima terbawah. Aku jadi beban keluarga Shankara? Terus beban yang udah kalian taruh di pundakku ini salah siapa?" Lelaki di hadapannya membatu, tangannya mengusap wajahnya yang sudah tampak kelelahan.

“Ayah memang enggak ada urusan lain, selain ngurusin hidup aku? Bahkan sampai rela membuntuti anaknya begini? hebat!”

"Kamu, nggak punya hak untuk menolak. Ini sudah tugas kamu sebagai keluarga Shankara. Paham?"

"Nggak! Sampai detik ini aku nggak paham, kenapa aku harus menjadi seperti ini dan itu? Kalian terus memaksakan keinginan kalian, sampai melupakan apa keinginan aku sekarang?"

"Agha!"

"Fine, aku bisa hidup sendiri!"

Selepas mengucap kalimat ini, Agha lekas melempar ponselnya tepat dihadapn ayahnya. Dia pergi, sembari menaut hangat jari tangan Aira. Sosok gadis yang sedari tadi berdiri di belakangnya.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Aira ragu, namun dengan segera Agha menyeretnya pergi.

"Ikut gue," katanya terlihat marah sekaligus lelah.

"Lepas, gue bisa jalan sendiri!"

"Denger!" Agha menghentikan langkahnya, satu jari telunjuknya mengarah tepat di antara wajah Aira yang terlihat memerah.

"Lo bisa pura-pura nggak denger sama apa yang gue ucapin tadi, kan? Iya! Lo bisa, lo harus bisa!"

"Oke, oke, gue paham. Lo bisa tenang sekarang, gue bahkan nggak denger apa yang lo omongin tadi. Jadi--"

"Makasih," ucap Agha menghela napas panjang. "Lo nggak usah bilang apa-apa lagi, sekarang ayo pulang. Biar gue yang anter."

"Tapi, Ga, lo beneran nggak apa-apa?" tanya Aira dengan refleks yang bagus, dia mengusap peluh yang mengalir disisian dahi Agha.

"Denger, Ga. Lo juga bisa bilang sama gue, kalau lo butuh buat di dengarkan. Gue emang orang asing, tapi lo boleh cerita sama gue kalau lagi kesulitan."

Lalu, di bawah taburan bintang yang memenuhi langit malam. Satu senyum hangat dibarengi dengan tatapan sayu, perasaan Agha terbaca dengan balas.

"Gue nggak apa-apa," dia berbohong.


🍄🍄🍄🍄

🍄🍄🍄🍄

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
After Summer Rain (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang