Dari banyaknya alasan jatuh cinta, Raina Aira Narissara justru memilih cara paling bodoh. Agha Shankara bukanlah pangeran berkuda putih yang siap siaga mempertaruhkan nyawa demi dirinya, justru lelaki itu berniat menghancurkan hatinya dengan membagi...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
🍄🍄🍄🍄
……………..
“Sure, I'm gone. And we're done!“
______________________________
Setelah hujan sedikit mereda, Agha meninggalkan Aira sendirian. Pun setelah kepergiannya beberapa menit yang lalu, rintik hujan kembali membesar, mencegah Aira yang hendak pulang untuk tetap berada di tempatnya.
Hujan di musim panas ini, akan Aira ingat sebagaimana dia mengingat Agha yang mencampakkannya. Seperti bau tanah, dia akan mengingat ini sebagai waktu di mana dia semakin jatuh cinta setelah dibuat patah. Ah, Agha memang definisi sempurna dari kata brengsek.
Ya, dia brengsek sekali. Hahaha menyebalkan.
Aira ingin menangis, hatinya sudah sangat sakit bukan main. Tapi, dia masih di sekolah. Menunggu Nadin yang sudah pulang, kembali datang menjemputnya.
Aira menatapi langit kelabu di hari ini, dia jadi mengingat langkah Agha yang pergi menjauh darinya. Tanpa salam, tanpa satu senyum manis sebagai salam perpisahan, pengakuannya malah berhasil membuat Aira dibuang seperti sampah.
"Wah, kalau tau hujan bakal tambah gede, gue ikut pergi aja tadi sama si Agha. Terus teriak depan mukanya, buat ngasih tau kalau dia itu brengsek!" gerutu Aira dengan dada yang tiba-tiba menyesak bukan main.
Dia hanya takut, Agha akan menjadi asing. Kemudian, panel situs sekolah akan penuh dengan cacian. Aira belum siap.
Dia itu cengeng, mudah menangis, tapi dia selalu tersenyum dihadapam banyak orang. Bagaimana ini? Dia benar-benar takut disakiti oleh orang lain, sebab mulut adalah racun paling berbisa yang dimiliki manusia.
"Ra!" panggil satu suara berhasil membuat tubuhnya mati rasa.
"Pulang sekarang, sebelum Pak Asman gembok pintunya. Sorry ninggalin lo sendirian, gue tadi keluar beli payung." Aira membatu, menatapi bayang lelaki yang selama ini senang sekali mengacaukan detaknya.
Sudah menolak Aira sekasar itu, kenapa dia kembali lagi?
Kenapa di mata Aira, Agha bukan lagi menawarkan payung, atau jaket? Tapi, dia sedang menunjukkan perasaannya. Perasaan yang sebenarnya.
"Ra, gue emang kurang ajar udah permainin lo. Tapi, sebagai teman, gue cuma bisa lakuin ini–lindungi lo biar lo nggak sakit."
Tapi hati Aira yang sudah sakit ini bagaimana cara mengatasinya? Aira tidak banyak bicara, dia melangkah ke arah pintu, mengambil payung putih beserta jaket yang Agha pakai tadi pagi.
"Lo brengsek!" lirih Aira membuat Agha tidak bicara lagi.
Di satu langkah terakhir sebelum mereka bertemu dalam satu sekat tipis, Agha memangkas jarak yang ada. Menatapi Aira—seolah untuk yang terakhir kalinya. Kemudian, tubuh mereka bertemu dalam satu rengkuhan hangat, Aira jatuh tenggelam dalam pelukan nyaman menyesatkan.
Berbeda dari alasan kenapa Agha memeluknya, Aira hanya bisa menyimpulkan satu hal ini. Pelukan dalam mimpinya menjadi nyata. Agha memeluknya tanpa bicara. Dia hanya menepuk lembut punggung kecil Aira dalam rengkuhannya.
"Sekarang, mari kita batasi kedekatan kita, Ga. Gue emang suka sama lo, tapi lo nggak berhak lukai gue lebih jauh lagi," lirih Aira tidak berniat membalas pelukan tadi.
"Sure, I'm gone. And we’re done!" kata Agha dan pelukan tadi terlepas.
Namun, apa yang pernah mereka mulai? Tidak pernah, tidak ada, dan semua perasaan Aira pada Aigha sudah jelas cinta.
"Hati-hati di jalan," lirih Agha membenahi rambut Aira yang berantakan.
“Ah, kalau ada orang yang coba jahatin lo lagi, kaya hari kemarin, lo boleh datang ke gue. Cerita, atau apa pun itu, lo boleh mengadu apa pun sama gue. Oke?” ya, ini penawaran terakhir yang Aira punya untuk Agha, satu kebaikan terakhir yang tersisa untuk membalas budinya hari lalu.
Agha memberikan satu senyum terbaiknya. Bayangannya sudah lebih dulu pergi dibalik pilar yang menjadi penghalang jarak pandang.
Lalu, Aira jatuh terduduk. Tau, tidak, sih, rasanya senang tapi sedih?
"Aira!!!!" panggil Nadin muncul dibalik pintu.
Dia menatap Aira penuh penyesalan. Mungkin mendengar semua yang Aira ucapkan untuk Agha.
"Astaga, saran dari buaya betina memang menjerumuskan semua. Tapi, makasih Nadin, lo udah bikin gue lebih berani, dan jujur sama diri gue sendiri. Ini bukannya lucu, ya? Semua hal yang nggak pernah gue mulai, sekarang berakhir satu persatu," lirih Aira menerima uluran tangan dari Nadin.
"Ra, sorry," ujar Nadin menatap Aira dengan raut wajah sulit dibaca. Satu yang pasti, dia amat sangat menyesal untuk segalanya.
"Bukan salah lo. Gue aja yang dongo! Well, tugas lo sekarang berkurang, lo nggak perlu menasehati gue lagi masalah cinta. Untuk sekarang, gue cuma minta satu hal, Nad. Cukup jaga gue, biar gue nggak jatuh untuk yang kedua kali, dalam pelukan Agha."
Nadin mendekat, kemudian merangkul pundak sahabatnya ini dengan erat.
"Ya, lo bisa berhenti, Ra. Dipta, Agha, lo bisa Bahagia tanpa keduanya. Karena yang lo butuhin untuk diri lo sendiri ya cuma diri lo. Oke?"
Lalu, beginilah kisah dari mimpi indahnya berakhir.
Lepas.
Ikhlas.
Lalu, mencoba lebih bahagia daripada sebelumnya. Itu harus.
Aira pun berharap, Agha akan begitu.
"Belum, ini bukan akhirnya!" kata seseorang yang tiba-tiba muncul di balik pilar dekat kelasnya.
"Ini awalnya, Ra. Si Agha emang rada bodoh, jadi pasti dia belum menyadari sesuatu. Hati yang dia kira sudah mati itu, berhasil lo hidupin lagi," kata Aidan, si anak laki-laki dengan hidung tinggi itu selalu membayangi langkahnya.
Datang tak dijemput, pulang tak diantar, ya ini Aidan. Bukan jelangkung. Sampai Aira sempat berpikir, apa mungkin si Aidan ini menyukainya juga? Tapi, ehey! Tidak mungkin!
"Lo kenapa baik banget sama gue, Dan?" tanya Aira tanpa sadar, rasa penasaran sudah memenuhi puncak kepalanya.
"Sempat gue pikir, buat menyematkan nama lo dalam kisah gue. Tapi, gue nggak pantes buat merebut lo dari seseorang yang merasa tidak pantas bahagia. Karena gue nggak mau jadi orang jahat, buat lo."
Nadin hampir menjerit, namun Aira malah melongo. Dia belum mengerti maksud Aidan.
"Maksudnya, gue nggak pantes bahagia?"
"Bego banget punya temen!" gerutu Nadin, greget sendiri. "Jadi maksudnya, si Aidan itu …."
"Nggak usah dijelasin, ayok pulang. Gue yang anter," kata Aidan memutus ucapan Nadin, well gadis itu juga tahu, kalau Aidan menyukai Aira.
Namun, perasaan yang sudah terlihat jelas begitu, tidak mampu Aira baca. Nadin jadi menyayangkan satu hal, Aira bisa lebih bahagia jika menerima Aidan sebagai pemeran utama pria yang dia suka. Namun, dia memilih jalur sulit dengan cara mencintai lelaki yang masih terbayang masa lalunya. Mengerikan.
"Ayo pulang," ajak Aidan tersenyum manis menatap gadis yang tertelan jaket kebesaran milik sahabatnya.
"Aidan, mungkin nggak, kalau gue bisa jadi pelangi setelah hujan buat Agha? Sebagai teman dekatnya, lo pasti …."
"Mungkin iya, mungkin tidak. Hati manusia siapa yang tau? Lo mau jadi pelangi sementara buat Agha?" pertanyaan Aidan barusan sukses membuat Aira tertegun.
Pasalnya, dia baru teringat sesuatu. Aira tidak menyesal sama sekali, bahkan setelah mengatakan aibnya—perasaannya pada Agha. Sebaliknya, dalam hati, Aira merasa lega. Sesuatu yang biasa orang lain sebut cinta, dengan sensasi kupu-kupu berterbangan di perut itu, sukses membuat Aira lupa akan malunya.
Well, dua kali mengakui cinta, dua kali ditolak. Memalukan, tapi tidak apa-apa. Aira tidak masalah, sebab, dia meyakini satu hal ini.
"Kalau hidup Agha selama ini kelabu, dan tiba-tiba kemunculan pelangi setelah gue datang, bukankah artinya itu sama artinya kalau gue adalah warna baru dalam hidupnya? Sementara atau selamanya, bukannya warna itu akan tetap dia ingat kalau dia pernah ada, ya?"
Sekarang Aidan yang tertegun. Dia kira, dia memiliki celah untuk merebut hati Aira saat Agha yang jelas-jelas sudah jatuh cinta, tapi memilih menyerah.
"Jadi, nggak ada kesempatan buat gue, ya, Ra?" tanya Aidan menghentikan langkahnya tiba-tiba, refleks, Aira juga melakukan hal yang sama.
"Kesempatan apa? Kan, gue atau lo nggak bikin salah."
Ya, salah Aidan. Jatuh cinta pada gadis yang mencintai orang lain. Dia tertawa lalu, mengacak rambutnya seperti yang Agha lakukan tadi padanya. Kenapa senang sekali mengacak-ngacak rambut singanya, sih?
"Nggak ada yang salah, mungkin emang nggak ada kesempatan buat gue," kata Aidan kemudian tersenyum manis.
"Oh iya, lo kenapa ada di sini?"
"Suruh Agha anterin lo balik, katanya mobil gue lebih aman buat lo."
Ah, Agha Shankara! Kenapa senang sekali mencuri detaknya! Sudah jelas tadi dia menolaknya!
Lalu, perhatian ini Aira anggap sebagai apa?!
“Ah, kesel gue, di mana mana selalu jadi nyamuk!” gerutu si Nadin membuat Aira sadar, kalau ada orang lain selain dia dan Aidan di sini.
.................
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.