13 • Lost the Vibe

59 24 0
                                    

🍄🍄🍄🍄

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🍄🍄🍄🍄

……………..

“Mungkin gue akan mencintai lo dengan cara paling sederhana yang gue bisa. Do'a. Satu untaian kata, dengan Tuhan sebagai pendengarnya.“
______________________________



Suara debuman terdengar memenuhi ruangan kosong ini, ruangan di antara barisan gedung Sekolah Bina Nagara yang masih di lalu lalangi para murid. Ruangan di mana crush sering berkumpul.

Aira berdiri layaknya orang bodoh. Seharusnya dia lari, atau paling tidak menampar Agha. Apa-apaan, kenapa dia bisa menyukai lelaki brengsek seperti si Agha. Namun anehnya, Aira menyukainya. Satu hal yang ia kira akan menjadi asing selamanya, hari ini dia rasa mulai mencair.

"Lo sama Aidan ada hubungan apa? Bukan–lebih penting dari itu, lo tau apa soal gue dari Aidan, hm? Gue tau, lo bahas masa lalu gue, karena lo denger sesuatu dari dia, kan?"

Kenapa Agha jadi membahas hal yang tidak perlu begini? Bukan, lebih penting dari itu, kanapa Agha yakin sekali kalau Aira yang memulai pembicaraan tadi?

Kenapa Agha jadi menuduhnya, setelah lama mereka tidak saling bertukar sapa. Apa kabar tidak lebih penting, daripada amarah yang tidak jelas darimana asal usulnya?

"Ga …."

"Jawab gue!" Seolah-olah dia ingin menutupi sesuatu yang sudah jelas di sini.

"Nothing! Aidan cuma ngajarin gue gambar di taman belakang sekolah! Kita nggak ada hubungan apa pun, dan Aidan nggak ada cerita apa pun soal lo ke gue." bohong, Aira bohong, dia tau sedikit mengenai Agha.

Ya, soal Andara. Sebenarnya, Aira ingin memastikan sesuatu, soal cerita tadi, benar atau tidak.

"Bohong! Lo kira gue nggak lihat? Lo pikir gue nggak tau, kalau lo sering ngetawain gue sama si Aidan di sana?" Agha berlebihan menanggapi sesuatu yang seharusnya bisa disikapi dengan tenang.

"Lo kenapa, sih? Cemburu? Atau apa? Gue nggak paham, kenapa lo jadi marah-marah gini sama gue! Gue salah apa! Gue bahkan nggak kenal sama cewek-cewek tadi, terus apa untungnya gue cerita-cerita masa lalu lo? Apa untungnya, Ga? Gue bahkan nggak tau menau soal luka lo yang lo telen sendirian itu!" Mendadak suasana di sini bertambah dingin.

"Siapa yang lo katain cemburu? Gue? Cemburu? Lo siapa?!" Seharusnya, sedari awal Aira tidak terbuai.

"Gue tau, gue bukan siapa-siapa! Gue tau, gue cuma orang nggak penting, tapi jangan menyalahkan apalagi menyakiti orang lain karena lo merasa terluka, Agha! Lo cuma butuh didengarkan, bersandar, dan cerita semua masalah lo. Lo juga nggak berhak melampiaskan semua luka lo ke gue! Sadar diri! Lo bukan siapa-siapa dan apa-apa!"

Agha membatu. Diam menatapi Aira penuh arti.

"Suka! Lo bilang lo suka sama gue! Itu artinya gue …."

"Iya! Takut lo lupa, dalam pertaruhan kita, lo yang menang, kan? Permintaan lo cuma mau gue jauhin, kan? Oke, gue jauhin lo, mulai detik ini! Gue tepatin janji gue, meski gue udah mengakui kalau lo pemenangnya! Selamat Agha! Sudah menjadi pecundang yang terus melarikan diri dari masalahnya, yang terus mencari pelampiasan atas rasa yang lo kira bisa dipermainkan! Selamat!" ucap Aira serius, ya dia serius menantang dirinya untuk tidak terbuai lagi.

Namun, langkahnya terhenti, tubuhnya terhuyung ke belakang saat satu tangan menarik lengannya. Ada Agha di sana, memeluknya dari belakang.

"Sure, coba aja kalau bisa."

Endingnya selalu saja begini, Agha Shankara selalu berhasil membuat Aira jatuh berkali-kali dalam pesona gilanya.

"Lepas! Gue teriak kalau lo nggak lepas! Gue emang lemot, tapi gue punya harga diri, ya!"

Lalu, Agha melepasnya–tidak, jari tangan mereka masih saling tertaut. Meski saling membelakangi, Agha seolah tidak ingin melepas Aira. Seolah dia ingin lebih lama bersama gadis ini.

"Namanya Andara, rambutnya panjang sepinggang, pakai poni, dan pipinya tembem. Otaknya lemot, kaya lo, pinter bikin gue emosi, dan pinter bikin gue jatuh hati. Sama kaya lo," bisik Agha tidak membiarkan Aira lepas dalam pelukannya.

"Kata lo, lo mau dengerin gue, kan? Lo siap jadi pendengar gue, kan? Jadi, tolong dengerin gue, sebelum lo tepati janji lo." Tapi, tidak dalam kondisi yang begini juga Agha Shankara.

"Lepas dulu!" pinta Aira, akhirnya Agha kabulkan–tidak sepenuhnya. Agha masih menyambut hangat satu jari kelingking gadis ini dalam tautan lengannya.

"Biar lo denger segalanya tentang gue dari mulut gue. Sedikitpun, gue nggak akan izinin lo denger kata gue dari orang lain. Maaf, udah marah nggak jelas ke lo tadi. Maaf karena ngejadiin itu sebagai alasan, kenapa gue bawa lo ke sini," ujar Agha tampak yakin.

Agha, itu sebenarnya si brengsek seperti katanya, atau bagaimana, sih? Demi Tuhan, Aira jadi pusing

"Oke, jadi, Andara itu siapa?"

"Teman masa kecil gue. Orang tua Andara itu, kolega bisnis Ayah gue. Dan ya, orang tua gue udah jodohin gue sama Dara, bahkan sejak kami masih pakai seragam putih biru. Awalnya, gue nggak suka. Sebab gue nggak bisa mentolerir dari teman jadi pasangan. Gue terus meyakinkan diri untuk menganggap Dara sebagai teman. Tapi, nggak bisa. Semakin gue meyakinkan diri, semakin gue tau, kalau gue perlahan-lahan nerima Dara dalam hidup gue."

Aira menatap iris kehitaman milik Agha, berharap menemukan kebohongan di sana. Namun, tidak ada. Agha serius bercerita.

"Tapi sialnya, Dara nggak mau menganggap serius perihal perjodohan bisnis antara keluarga kita. Meskipun begitu, gue bilang oke. Nggak apa-apa, tapi dengan satu syarat, dia harus izinin gue jagain dia. Well, sebagai teman pun nggak apa-apa."

Aira tidak tau harus berkata apa, dia kebingungan mencerna maksud Agha. Dia menyuruhnya menjauh, tapi kenapa sekarang Agha bersandar nyaman menceritakan tentang gadis masa lalunya.

"Di saat gue udah nyaman dengan keadaan sayang meski cuma dianggap teman, malam hari saat keluarga gue dan Dara janji bertemu, kami terlibat kecelakaan. Ya, mobil gue sama Dara waktu itu ditabrak truk. Sialnya, mobil Dara hilang kendali dan menabrak sisi kanan mobil gue. Di tempat itu, dengan mata kepala gue sendiri, gue lihat Kakek gue meninggal. Salah satu orang yang paling ngertiin gue disaat Ayah selalu menjejalkan kehendaknya sama gue, dan Ibu yang selalu ingin menjadikan Dara menantu perempuannya, Tuhan malah ngambil Kakek dari gue."

Jadi, wajar kalau sakit hatinya Agha terhadap orang tua bagai kesumat yang takan terlerai sampai kiamat.

"Jadi, lo nyalahin Dara? Alasan lo banyak nyakitin perempuan …."

"Ya, karena dari sekian banyak orang, kenapa gue harus membenci Andara? Gue nggak terima, karena meski gue benci anak perempuan itu, gue masih suka sama dia. Bego, kan gue?" tanya Agha tersenyum pahit, lalu saat tautan tangannya dilepas, Aira memangkas jarak yang ada.

Meski terkesan tidak sopan, Aira tidak terlalu peduli juga. Yang bisa dia lakukan sekarang adalah melingkarkan tangannya di antara pinggang Agha. Memeluknya, menenangkannya dalam pelukan. Meski terlihat seperti Agha yang memeluknya, Aira tidak peduli lagi.

"Nggak apa-apa, lo nggak salah. Nggak ada yang salah, dan nggak ada yang harus disalahkan, Agha. Mati itu, takdir manusia, teman sejati manusia. Jadi, stop nyalahin kalau semua yang terjadi itu harus ditanggung seseorang, harus menunjuk salah satu orang, kalau lo yang salah. Nggak, tapi, lo harus terima dengan lapang dada," ucap Aira menepuk lembut punggung Agha.

Dia bersandar nyaman dalam pelukan Agha, mendengarkan debaran yang terasa kian nyata seperti dirinya. Terasa seperti Agha juga cinta padanya.

"Ra, lo bisa ingkari janji lo?" Agha menarik Aira yang sedang menenangkannya.

Meski sudah terlambat, mungkin, Aira sudah mendengar jantungnya yang berdetak acak.

"Janji apa?" tanya Aira menusuk Agha dengan tatapan polosnya, sial.

Agha hendak marah, namun reaksi Aira malah terlihat lucu.

"Lo tetap mau jauhin gue?"

"Ah itu, iya, harus tepatin janji. Gue nggak mau jatuh dua kali. Tugas gue sekarang cuma belajar yang bener, biar bisa bahagiain orang tua gue." Aira Narissara memang selalu berpikir sesederhana itu, dia gadis lugu yang terlalu sayang untuk disakiti.

"Temenan mau?" tanya Agha tampa serius.

"Nggak mau, gue nggak akan tertipu lagi sama Agha Shankara," jawab Aira dengan senyum merekah.

"Kalau ada kesempatan buat balik ke masa lalu, mungkin gue akan mencintai lo dengan cara paling sederhana yang gue bisa. Do'a. Satu untaian kata, dengan Tuhan sebagai pendengarnya." ini adalah kejujuran lain yang Aira punya

Lalu, tanpa Aira tau, dia adalah perempuan hebat yang mampu membuat luka Agha tertutupi. Masih terasa sakit, tapi tidak terlalu hebat.

"Gue pamit, dulu. Terima kasih, sudah mau membagi perasaan lo sama gue. Semangat, Agha Shankara." Bahkan, tanpa Agha duga, Aira masih bisa tersenyum secantik itu.

Senyum secantik mawar, yang mekar dengan berani di musim panas. Lalu, satu debar muncul lagi, saat senyum itu menerpa indra penglihatannya.

"Gawat, gue telat sadar! Lo bego, Agha!”

🍄🍄🍄🍄

🍄🍄🍄🍄

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
After Summer Rain (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang