Saat membuka mata, hal pertama yang Devan rasakan adalah nyeri di sekujur tubuhnya, terlebih di dada kirinya. Seperti ada batu besar yang menghimpit sehingga ia tidak bisa bernapas dengan lega, meskipun di hidung elangnya sudah bertengger masker oksigen.
Devan mengerjapkan mata beberapa kali, membiasakan diri dengan cahaya yang merangkak masuk ke retina. Barulah kemudian ia mendengar seruan suara yang familier, tetapi sangat ia rindukan.
"Devan sudah bangun, sayang? Ada yang sakit?" Ratna mengusap tangan Devan yang bergerak pelan menggenggam jemarinya.
Devan hanya diam. Pandangannya menyapu sekeliling ruangan. Masih linglung dengan situasi yang dihadapinya, nyawanya bahkan belum terkumpul dengan sempurna. Seolah memahami gurat kebingungan di wajah Devan, Ratna menjelaskan.
"Devan ada di ruang rawat inap di RS. Syukurlah kamu berhasil melewati masa kritis dan akhirnya bisa pindah dari ICCU. Terima kasih ya, sayang. Terima kasih, sekali lagi kamu masih kembali. Mama sayang Devan."
Devan menoleh ke arah Ratna. Ia bisa melihat kilatan bening meluncur dari sudut netra mamanya. Tangan Devan terangkat untuk menghapus air mata Ratna, yang disambut usapan lembut dari Ratna.
"Ma ... mama ... " terdengar suara serak Devan.
"Iya sayang, Mama di sini. Ada yang sakit?"
Devan menggeleng.
"Kalau ada yang sakit bilang ya, sayang. Pasti capek kelamaan tidur. Kaki kamu sampai bengkak begini. Nanti biar diperiksa Dokter Kevin lagi."
Devan mengangguk.
"Mama senang Devan sudah bangun. Terima kasih ya, sayang." Ratna mengusap pipi Devan, menenangkan.
"Ma ... maaf, ya ..."
"Kok maaf?"
"Maaf ... Devan sakit lagi ..."
Empat kata singkat yang membuat Ratna tidak bisa menahan air mata. Tangan Devan terulur untuk mengusap deraian hujan yang turun dari mata sang mama.
"Maaf, Devan ... bikin Mama sedih ... lagi ..."
"Devan jangan minta maaf terus. Mama berterima kasih banget karena Devan sudah berjuang sangat keras. Pasti sakit sekali, ya? Tapi Devan kuat dan bisa kembali lagi di sini, sama Mama. Jangan minta maaf, ya."
Devan jadi de javu dengan adegan semacam ini yang nyaris selalu terjadi setiap kali ia baru sadar dari tidur panjang karena kambuh. Devan yang meminta maaf karena sakit lagi, Ratna yang menangis, Devan yang minta maaf lagi, Ratna yang menenangkan, dan pada akhirnya Devan hanya akan diam selama beberapa waktu.
Pintu kamar rawat Devan terbuka, ayah dan kakak perempuannya masuk dengan tergesa.
"Devan!" seru Devi-lebih seperti berteriak karena suaranya nyaring.
"Ssstt, Devi. Suaranya jangan keras-keras, nanti Devan kaget. Pelan-pelan aja, sana mendekat kalo mau ngobrol."
Devan tersenyum kecil melihat ayahnya mengomeli Devi. Ayahnya tidak sepenuhnya salah. Untuk saat ini Devan cukup sensitif dengan suara-suara keras karena irama jantungnya sedang tidak normal. Devan merasa suara Devi yang alamiahnya melengking bisa menyakitinya-dalam kondisi sekarang. Lemah sekali, Devan benci tubuhnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Sebuah Pagi (On-Revision)
Casuale"Setiap malam, aku selalu berdoa agar Tuhan memberiku kesempatan untuk bertemu kembali denganmu esok pagi." Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok hari. Terlebih bagi seorang Devan yang memiliki bom waktu dalam tubuhnya, yang dapat meledak k...