Malam hari di lokasi diklat lapangan Aksara jauh lebih dingin daripada suhu di puncak tempat Anne dan Devan menghabiskan liburan kemarin. Gadis itu tak henti-hentinya bersin, hidungnya sudah merah dan matanya sedikit berair.
Agenda malam itu adalah serah-terima jabatan secara simbolik pengurus lama ke pengurus baru, dilanjutkan dengan ikrar dan pengukuhan anggota baru, kemudian makrab.
Menemani serangkaian acara malam hari, panitia telah menyiapkan api unggun sebagai penghangat di tengah suhu 14 °C dan angin malam yang berhembus menusuk tulang.
Devan tak henti-hentinya memperhatikan Anne dari kejauhan. Gadis itu mengusap hidung dan sesekali menutup mulut karena bersin.
"Dev, ngelamun mulu kesambet ntar." Cia menyodorkan secangkir teh hangat pada Devan.
Acara sertijab akan segera dimulai, Cia ingin membuat Devan relaks kalau-kalau anak itu merasa gugup. Namun, ternyata Devan tampak lebih tenang dari yang Cia kira.
"Nggak ngelamun, Kak. Makasih, ya." Devan menerima minuman dari Cia dengan kedua tangan berbalut penghangat.
"Deg degan, Dev? Habis sertijab nanti kamu bakalan jadi waketum Aksara setaun ke depan loh. Gimana tuh?"
"Ya nggak gimana-gimana, Kak. Dijalanin aja."
"Hahaha, baguslah. Aku kira kamu bakalan mikir yang aneh-aneh kaya waktu itu."
Devan meletakkan cangkir tehnya pada bangku taman yang berada di sebelahnya.
"Kak Cia benar, nggak ada yang tau apa yang akan terjadi besok. Jadi ya, kita nggak ada pilihan lain selain menjalani hari ini sebaik mungkin. Dengan asumsi hari esok masih ada."
Cia mengernyitkan dahi tak paham.
"Entah kenapa ucapanmu malah kaya orang pesimis deh."
"Pesimis gimana?"
"Dengan asumsi hari esok masih ada. Pemilihan kalimatmu tuh ... kayak orang mau mati aja ngomong gitu."
Devan tertawa. Ia suka berbincang dengan Cia karena kakak kelasnya itu cenderung ceplas-ceplos dalam mengemukakan pikiran. Meskipun terkadang menjengkelkan, tapi itu lebih baik daripada berbincang dengan seseorang yang hanya mengatakan kebohongan.
"Pagi itu misteri tau, Kak. Kita bisa melalui pagi hari ini, tapi nggak tau masih bisa ketemu sama pagi esok apa enggak."
"Hm ... Tau ah, Dev. Otakku tuh nggak sampai buat deep talk topik kayak gini. Puyeng."
"Hahaha ...."
"Udah yuk kumpul. Habis ini dimulai acaranya."
"Iya, Kak."
Devan menyusul Cia yang sudah berjalan di depan. Namun, mendadak ia merasa kakinya kaku, terasa berat untuk digerakkan. Devan berhenti sejenak, membiarkan seluruh energinya terpusat untuk menggerakkan organ motoriknya itu.
Devan menekuk lutut, sembari mengurut kedua betis mencoba menghilangkan kebas di sana. Namun, bukannya lebih baik, tubuh bagian atas Devan justru ikut terasa kaku. Seiring dengan itu, hawa dingin memaksa masuk ke dalam jaket tebalnya. Devan mengusap lengan berusaha menghangatkan diri. Tidak terlalu berhasil, karena ia masih merasa kedinginan.
"Ayo, Dev kita kumpul." Leon menghampiri Devan yang berjongkok seorang diri di tengah halaman vila.
"Iya, Kak bentar. Kakiku kebas tiba-tiba. Susah buat jalan."
"Keram? Gara-gara kedinginan?"
Devan mengendikkan bahu. "Nggak tau juga."
"Harusnya jangan ditekuk kalo kebas, bisa-bisa makin keram. Perlu bantuan?" Leon turut berjongkok, hendak membantu Devan untuk berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Sebuah Pagi (On-Revision)
Nezařaditelné"Setiap malam, aku selalu berdoa agar Tuhan memberiku kesempatan untuk bertemu kembali denganmu esok pagi." Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok hari. Terlebih bagi seorang Devan yang memiliki bom waktu dalam tubuhnya, yang dapat meledak k...