Bagian - 17

574 33 1
                                    

Devan membulatkan mata ketika melihat mobil yang sangat dikenalnya telah terparkir di depan gerbang sekolah. Mobil ayahnya.

"Ayah ngapain?" tanya Devan sembari mengetuk kaca pengemudi. Tak berapa lama Andri, ayah Devan, membukanya dengan menampakkan sebuah senyuman.

"Ya jemput kamulah, kan kamu nggak bawa mobil. Kasian udah capek masa harus naik ojol. Ayo, masuk."

Devan membuka pintu mobil, meletakkan ransel bawaannya di kursi penumpang sebelah Sang Ayah, tapi tidak lantas masuk. Sorot tajamnya men-scanning sekitar, mencari keberadaan seseorang.

"Ngapain, Dev?" Andri melihat Devan dari dalam mobil, anaknya itu tampak gusar.

"Tunggu Anne bentar ya, Yah. Tadi pagi Anne lagi nggak baik kondisinya."

Andri menjawab dengan anggukan. Seharusnya ia tau Devan lebih mencemaskan Anne daripada dirinya sendiri. Padahal wajah anak itu jelas terlihat letih, tapi raut gelisah yang terpancar dari sana menunjukkan seberapa besar kekhawatiran Devan pada Anne.

Devan memicingkan mata begitu melihat sosok di kejauhan yang memiliki postur dan gaya berjalan sangat familier. Itu Anne. Namun ia tidak sendiri. Seseorang berjalan di samping Anne, mereka tampak sedang berbincang dan ... saling bertukar senyuman. Leon bersama gadis itu.

Devan menunggu beberapa saat hingga Anne dan Leon mendekat.

"Ayo pulang, An. Udah dijemput Ayah," ujar Devan singkat. Ia sudah bersiap hendak membawakan tas yang Anne bawa ketika gadis itu menggelengkan kepala.

"Ehm ... Aku bareng Kak Leon, Devan. Sekalian mampir ke ... ke tempat lain dulu. Sama Kak Leon," jawab Anne dengan sebuah senyum-tidak ikhlas.

Devan diam. Netra hitamnya mengamati Anne dari atas ke bawah. Devan tak bisa tak khawatir jika ingat apa yang dialami gadis itu pagi tadi. Anne butuh istirahat. Selama ini, Anne tidak pernah ikut aktivitas outdoor seperti diklat lapangan Aksara sepanjang 10 tahun masa sekolah. Kegiatan dua hari ini sudah jelas menguras energinya. Namun, apa yang dilakukan gadis itu? Malah bepergian dengan Leon entah ke mana dan untuk apa. Devan tak habis pikir.

Devan hanya mematung di depan pintu mobil, ketika menyaksikan Anne menyapa Andri, kemudian kembali menghilang dari pandangannya bersama Leon. Tak mengindahkan Devan lagi.

"Anne udah bareng temannya. Ayo, Dev," seru Andri lagi.

Devan tak menjawab. Ia hanya melangkahkan kaki masuk ke dalam mobil, di sebelah sang ayah. Disandarkannya kepala yang terasa berat pada sudut bangku dan jendela.

"Mau langsung pulang apa makan di luar dulu, Dev?"

"Pulang aja, Yah."

"Oke."

Setelahnya keheningan mengisi perjalanan ayah-anak itu dari sekolah hingga tiba di rumah.

Anne dan Leon telah berada di sebuah toko buku lawas, dengan beberapa rak antik berjajar rapi di dalamnya.

"Makasih, Kak, udah mau anterin," ujar Anne sembari memilih buku.

"Kapan pun, An. Kalau butuh bantuan apa pun, hubungi aja. Kalau aku bisa, pasti kubantu."

Anne menjawab dengan senyuman simpul. Tangannya sibuk mengambil satu per satu buku, melihat sampul dan tulisan di bagian belakang, kemudian mengembalikan buku itu ke tempat semula kalau ternyata bukan buku yang dicarinya.

"Aku nggak paham soal buku-buku gini, Kak. Makanya aku minta antar Kak Leon."

"Sebenarnya aku juga nggak terlalu paham, nggak sepaham Devan. Cuma sekadar tau aja."

Elegi Sebuah Pagi (On-Revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang