Bagian - 13

557 38 2
                                    

Leon memijit kepala yang mulai pening. Ia telah beradu tatap dengan layar laptop selama lebih dari empat jam. Leon harus memastikan diklat lapangan-yang merupakan program kerja terakhir di masa jabatannya-harus berjalan lancar.

Namun di sisi lain, Leon juga harus menyunting laporan pertanggungjawaban agenda orientasi sekolah yang diadakan OSIS. Ya begitulah konsekuensi yang harus ia pikul sebagai organisatoris.

"Leon, udah malem. Kamu tidur sini apa balik ke rumah?"

Kevin baru saja kembali dari tempat kerjanya. Sedari tadi Leon berada di ruang tengah rumah Kevin, tanpa menyadari sang penghuni aslinya sudah pulang.

"Aku nginep sini aja ya, Kak? Kalau di rumah pasti ribet, diomelin Ibu."

"Terserah kamu. Tapi nggak usah begadang, ya. Katanya mau diklat lapangan, kalo kamu sakit buyar semua."

Kevin mengambil segelas air putih dari dispenser. Ia hanya mengamati adik satu-satunya itu tengah bergulat dengan urusan organisasi. Begitulah Leon. Sangat totalitas dalam mengemban amanah organisasi, sampai mengorbankan banyak hal lain; termasuk nilai akademik, kesehatan, serta hubungan dengan orang tua.

"Iya, nggak begadang. Ini udah mau selesai."

"Bagus deh."

Kevin meneguk minuman dari gelasnya. Merasa tengah mengarungi surga duniawi begitu cairan dingin itu meluncur bebas ke kerongkongannya yang kering.

"By the way, Leon. Kirana ikut ekskul kamu itu juga, kan?"

Leon menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia melihat sang kakak dengan tatapan penuh selidik.

"Iya, Kak. Kakak kenal Kirana?"

"Jelas kenal, orang dia pasien Kakak."

Kali ini Leon benar-benar menghentikan aktivitasnya.

"Kirana sakit apa emang, Kak?"

"Tanya dia sendiri, lah. Mana bisa Kakak jawab. Privasi pasien."

Leon mendecak kesal. Jika Kevin tak berniat memberitahunya dengan sungguh-sungguh, mengapa harus membuka topik percakapan itu di awal? Mau tak mau Leon jadi tergelitik ingin tahu lebih dalam.

"Terus ngapain Kakak tadi tanya-tanya kalo nggak berniat kasih tau?" tanya Leon penuh sarkasme.

"Kakak mau minta tolong."

Leon merasa de javu dengan alur pembicaraan ini. Kakaknya membahas tentang klub literasi, kemudian minta tolong, kemudian seorang suster masuk dan menyebut nama Kirana-ah, iya. Percakapan di rumah sakit kala itu.

"Jadi yang waktu itu Kakak bilang mau minta tolong di rumah sakit, soal Kirana?"

Kevin berpikir sebentar, mencoba mengingat kembali momen yang dimaksudkan Leon.

"Oh, yang itu. Enggak bukan, beda. Tapi itu ntar Kakak minta tolong lagi."

"Tumben banyak amat minta tolongnya."

"Kenapa Kakak minta tolong kamu? Pertama, karena kamu adekku. Kedua, karena kamu ketua ekskul yang mereka ikuti. Ketiga, ya nggak papa sih. Pengen aja Kakak ngerecokin kamu, haha," Kevin tertawa usil. Leon tidak menggubris candaan garing kakaknya itu.

Mendadak Leon menyadari sesuatu. Kevin menggunakan pronomina "mereka" dalam ucapannya. Berarti, selain Kirana ada lagi seseorang di Aksara yang Kevin kenal.

"Kakak punya pasien di ekskul aku berapa orang emang, Kak?" Tanyanya.

"Ada dua sih. Tapi kondisi mereka udah mengkhawatirkan. Makanya Kakak mau minta bantuan kamu, Dek. Kalo di rumah sakit, Kakak bisa kontrol mereka sebebasnya. Beda cerita kalo di sekolah. Kakak takut mereka kenapa-napa waktu di luar jangkauan Kakak."

Elegi Sebuah Pagi (On-Revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang