Bagian - 22

565 21 0
                                    

Oh thinkin' about all our younger years
There was only you and me
We were young and wild and free

Devan merasakan tubuhnya ringan, sangat ringan. Tidak ada rasa sakit di dada, tidak pula ada sesak yang menyiksa. Hanya ketenangan yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Dan sekitarnya.

Devan mengamati suasana di sekelilingnya. Ada sebuah padang rumput luas dengan hamparan hijau kekuningan menyejukkan mata. Di ujung sana ada danau, entah berapa jauh jaraknya dari tempat Devan berdiri saat ini. Karena lautan rumput itu terasa begitu luas hingga Devan kira butuh waktu beberapa jam untuk menapaki dari ujung ke ujung.

Devan mengerutkan kening dan berpikir, inikah surga? Apakah Devan sudah tiada?

Entahlah. Untuk saat ini Devan tak ingin mempertanyakan hal-hal yang tak diperlukan. Biarlah dirinya menikmati ketenangan ini selagi bisa. Sebelum kesakitan yang selalu menemani hampir sepanjang hidupnya kembali hadir mendera.

Devan merebahkan diri di rerumputan. Membiarkan wajahnya terpapar sinar mentari yang hangat. Devan pun heran mengapa pancaran dari sang surya tidak terasa panas. Devan menutup mata, menyatukan diri dengan harmoni alam yang membelainya lembut seperti dekapan mama. Pikirannya menerobos relung ingatan dan memutar satu per satu kenangan di pandora memorinya.

Seorang anak laki-laki berusia enam tahun tengah duduk di ayunan taman samping rumahnya. Ayunan tersebut sebenarnya berupa potongan kayu yang diikat ke pohon besar. Anak itu hanya bisa memandangi kakak perempuannya yang tengah belajar mendribble bola bersama sang ayah.

"Nah begitu, Devi. Pintarnya anak Ayah. Ayo sedikit lagi dribble sampai ke ring. Ayo ayo, pasti Devi bisa!"

Anak itu-Devan kecil-membuang napas melihat kakaknya menggiring bola penuh semangat. Begitu tiba di depan ring, Devi berusaha memasukkan bola yang dibawanya dengan sebuah lompatan kecil. Namun, bola itu gagal masuk karena tubuh Devi belum terlalu tinggi untuk menjangkau ring.

Devan tersenyum kecil melihat Devi berdecak kesal sambil tiada henti mengomeli tiang ring basket. Jauh di dalam hatinya, Devan ingin sekali ikut bermain basket. Berlarian ke sana-kemari dengan bebasnya tampak seperti aktivitas yang sangat menyenangkan di mata bocah enam tahun itu. Apalah daya, Devan tak akan pernah bisa melakukannya hingga akhir hayat.

"Dih, jelek banget. Masak bolanya yang nggak masuk, tiangnya yang disalahin?" komentar Devan menggoda Devi.

"Diem ya, kamu! Sebel banget gitu doang nggak masuk huh!" Devi merengut kesal.

"Makanya Kak Devi tinggi dulu biar bisa masukin bolanya."

"Eh, ini Kakak udah lebih tinggi dari kamu, ya!"

"Ih, liat aja nanti pasti gedenya tinggian aku!"

"Enggaaak, tinggian Kakak pokoknya!"

"Tinggi aku!"

"Tinggian Kakak. Titik!"

Andri tertawa gemas menyaksikan tingkah putra-putrinya yang hampir setiap hari selalu meributkan soal tinggi badan. Tentu saja Devan yang selalu memulai pembahasan tentang tinggi badan. Apa pun topik yang dibahas, pada akhirnya akan berujung saling seloroh tinggi badan. Ada-ada saja.

Elegi Sebuah Pagi (On-Revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang