Pagi itu Anne tidak segera bangun. Ia berdiam diri, memandangi parasnya di depan kaca mungil yang ia bawa. Apakah kejadian yang dialaminya semalam hanyalah mimpi? Apakah kepingan momen yang menari bahagia di dalam memorinya hanyalah khayalan, alih-alih kenangan?
Anne menepuk pipinya yang memerah akibat udara dingin. Ia harus menyadarkan diri agar tidak tenggelam terlalu jauh. Tidak sebelum ia mempersiapkan hati. Anne benar-benar tak ingin menjatuhkan hati sebelum yakin ada orang yang siap menangkapnya.
Ah, rasanya Anne ingin segera bertemu Devan. Ia ingin meluapkan segala kebimbangan yang mengganggu perasaannya. Devan pasti tahu apa yang harus Anne perbuat. Saran dari sahabatnya itu hampir selalu berguna—meskipun terkadang tidak masuk akal juga.
"Ayo, ayo! Segera kumpul di halaman! Dalam hitungan kesepuluh semua harus sudah keluar. Satu, dua ...."
Anne melemparkan kaca yang dipegangnya ke sembarang tempat, begitu mendengar teriakan megaphone dari luar. Memang benar diklat Aksara tidak ada drama marah-marahan senior kepada anggota baru, tapi beberapa panitia lebih bawel dari Devan. Anne tak ingin berurusan dengan kebawelan siapa pun selain Devan—yang dirasanya sudah merepotkan.
Gadis itu berlari ke luar vila berbarengan dengan anggota lain. Begitu sampai di halaman, angin pagi yang berembus membuat bulu roma serentak berdiri.
"Hatchiii ...."
Anne mengusap hidungnya yang gatal. Ia sudah berdiri di barisan paling belakang, ketika tiba-tiba sebuah jaket tebal disampirkan oleh seseorang ke pundaknya. Anne menoleh, ia melihat Leon tersenyum ke arahnya.
Anne menutup muka. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa malu dan ingin menyembunyikan diri di suatu tempat. Anne tidak sanggup melihat wajah Leon.
Tubuhnya terasa bergetar hanya dengan melihat sosok rupawan itu. Otak Anne mendadak beku, tak bisa berpikir jernih. Jadi lebih baik Anne tidak berhadapan dengan Leon secara langsung daripada gadis itu mati gaya atau bertingkah aneh-aneh.
Anne tak lagi fokus mendengarkan suara panitia di depan yang memberikan instruksi terkait pelaksanaan acara selanjutnya. Anne lebih tertarik menikmati kehangatan dari jaket yang Leon "berikan" kepadanya.
"Bukannya dengerin depan malah asik sendiri, lagi ngapain sih kamu?!"
Devan menarik topi beanie yang Anne kenakan hingga menutupi mata gadis itu. Anne menggulung kembali ujung beanie-nya ke atas sambil merengut.
"Dengerin depan, Jamet."
Anne memukul pelan Devan yang tiba-tiba sudah ada di sebelahnya dan bertingkah usil.
"Kamu kemana aja sih? Semalam aku cariin tau," ujar Anne setengah berbisik.
"Isabela Jamet, dengerin yang di depan. Jangan ngomong sendiri," jawab Devan dengan suara datar. Anne kian merengut mendengarnya.
"Rese!" Anne membuang muka, enggan melihat ke arah Devan. Laki-laki itu menarik beanie Anne sekali lagi sebelum kemudian beranjak pergi.
Acara pelatihan membaca dan menulis bagi penduduk setempat akan berlangsung hingga pukul 10 nanti. Setelahnya ada penutup, dan diakhiri perjalanan pulang kembali ke sekolah.
Anne berjalan dengan beberapa anggota yang menjadi kelompok untuk melakukan pelatihan. Sejujurnya Anne tidak ingat siapa saja nama-nama mereka, meskipun tadi sempat berkenalan. Anne adalah tipikal gadis yang akan segera lupa nama seseorang jika hanya mengenalkan diri satu kali saja. Terbiasa hidup asosial selama ini tampaknya berdampak buruk pada ingatan Anne—khususnya dalam hal mengingat nama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Sebuah Pagi (On-Revision)
Sonstiges"Setiap malam, aku selalu berdoa agar Tuhan memberiku kesempatan untuk bertemu kembali denganmu esok pagi." Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok hari. Terlebih bagi seorang Devan yang memiliki bom waktu dalam tubuhnya, yang dapat meledak k...