Devan mengunjungi rumah Anne pukul 7 malam. Dengan susah payah ia memencet bel, karena kedua tangannya disibukkan membawa "paket" untuk Anne tersayang.
Pintu terbuka tidak lama kemudian. Tampaklah wajah masam Anne dari balik pintu begitu melihat siapa yang bertamu ke rumahnya.
"Ngapain?"
Anne bahkan tidak membuka pintu secara penuh. Ia tahan sebagian, seolah enggan mempersilahkan Devan masuk.
"Kamu udah makan?" tanya Devan.
Anne menggeleng.
"Kenapa nggak makan?"
"Malas."
"Tante pasti belum pulang, ya?"
Anne menjawab dengan raut ketus menghias wajahnya. Buat apa Devan mengajukan pertanyaan retoris yang sudah ia ketahui jawabannya?
"Makanya aku bawain ini!"
Devan mengangkat bungkusan kardus yang dibawa kedua tangannya dengan semangat.
"Apa tuh?" Anne enggan melihat bungkusan yang dibawa Devan, tapi diam-diam ia mengintip. Penasaran apa isinya.
"Martabak manis!"
Anne membelalak. Ia kalah telak. Tidak mungkin bisa Anne menang melawan makanan yang sangat dipujanya sepanjang masa itu. Anne menelan ludah, mencoba menahan diri.
"Topping-nya?"
"Coklat, keju, greentea!" seru Devan penuh kemenangan. Ia sangat paham Anne tidak akan mampu menahan diri lama-lama.
Dan benar saja. Insting keganasan gadis itu muncul begitu ia tahu bungkusan yang dibawa Devan itu berisi makanan kecintaannya. Dengan sigap Anne menyambar bungkusan dari kedua tangan Devan.
"Eh eh eh, tunggu."
Anne tidak melihat Devan hendak masuk ke dalam rumah. Anne terburu-buru menutup pintu dan tanpa sengaja menjepit jemari tangan kanan Devan yang menahan ujung pintu agar tidak tertutup.
"Aaaakh!" teriak Devan sembari refleks menarik tangannya.
Anne terkejut. Ia membalikkan badan, membuka pintu agar terbuka sempurna, lantas mengamati apa gerangan yang menyebabkan Devan berteriak.
Darah mengalir dari telunjuk dan jari tengah tangan kanan laki-laki jangkung itu. Anne tanpa sadar menjatuhkan bungkusan martabak manis tercintanya begitu saja di lantai, kala melihat tangan Devan berdarah.
"Ya ampun, Devan. Maaf maaf. Aku nggak sengaja. Sakit, ya?" Anne meniupi tangan Devan yang terluka.
Devan hanya meringis.
"Agak perih gitu sih. Tapi nggak papa," ujarnya mencoba menenangkan Anne yang tampak panik.
"Nggak papa gimana? Ini kulitnya robek gini. Ayo sini aku ambilin obat merah dulu."
Anne membuka pintu lebar-lebar lantas berlari ke dalam rumah dengan tergesa-gesa.
"An, ini martabaknya ditinggal gitu aja?"
Anne tidak menggubris. Gadis itu berlari ke ruang belakang tempatnya menyimpan obat-obatan dalam kondisi darurat.
Devan berdecak. Dengan satu tangan, ia ambil kedua bungkus martabak malang itu, kemudian diletakkannya di atas meja.
Anne datang dengan membawa kotak P3K. Gadis itu mendudukkan Devan dengan paksa di sofa, lantas menarik tangan kanan Devan yang masih mengalirkan cairan merah.
Anne mengguyurkan air bersih untuk membasuh darah di jemari Devan. Setelah itu, ia mengelapnya dengan handuk kecil yang telah dicelupkan pada air es.
"Kok dingin?" protes Devan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Sebuah Pagi (On-Revision)
Sonstiges"Setiap malam, aku selalu berdoa agar Tuhan memberiku kesempatan untuk bertemu kembali denganmu esok pagi." Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok hari. Terlebih bagi seorang Devan yang memiliki bom waktu dalam tubuhnya, yang dapat meledak k...