Segurat Kisah.

955 72 0
                                    


Kau tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari.
Sebagaimana kau tidak pernah tahu apakah masih tersisa hari esok.

Matahari, akankah masih terbit dan bersinar lagi?
Awan, akankah masih berjalan dan menari di lazuardi?
Udara, akankah masih bisa kau hirup sebagaimana hari ini?
Waktu, akankah masih berputar dan berlalu penuh arti?
Dan hidup, akankah masih tetap bergulir meskipun tidak kau kehendaki?

Kau punya hari ini. Saat kau merasa tak punya apa pun lagi, cukuplah ingat bahwa hari ini masih tersisa untuk kau jalani.

Ibaratkan seperti lembaran kanvas yang siap kau lukis dengan cat aneka warna.
Ibaratkan seperti botol kosong yang siap kau isi dengan soda, jus, atau hanya air saja.

Kau punya hari ini. Saat kau merasa tak punya siapa pun lagi, cukuplah ingat bahwa hari ini masih setia menemanimu selama 86.400 detik.

Kau sudah melakukan yang terbaik. Dan itulah yang terpenting.

Ia berjalan menyusuri lorong putih itu seorang diri. Gontai. Aroma kina dan bahan-bahan kimia menguar dari segala tempat, tidak ia pedulikan hidung elangnya menghirup bau menyengat itu. Ia hanya berjalan, sesekali bersandar pada dinding untuk menopang tubuhnya yang siap ambruk sewaktu-waktu.

"Aku harus menemuinya."

Dalam hati ia berbicara pelan, tidak ditujukan pada siapa pun melainkan lebih kepada diri sendiri.

Pandangan matanya mulai buram. Ia mengerjap beberapa kali guna mengusir bintang-bintang berputar yang tampak di penglihatannya. Perlahan tapi pasti, telinganya mulai berdengung. Pertama telinga kanan disusul telinga kiri. Tidak sampai satu menit keduanya tidak bisa fokus mendengar suara apa pun lagi.

Ia berhenti. Tangannya berpegang erat pada besi dingin yang melintang sepanjang dinding. Ia merosot. Jatuh terduduk secara perlahan, seiring absennya cahaya dari pandangan yang mulai membuat segalanya terlihat gelap.

"A-aku harus menemuinya." Kali ini ia berbisik lirih, dengan sisa kesadaran yang masih ia miliki.

Tepat saat itu juga sesuatu serasa menghantam tubuhnya dengan amat keras. Ia roboh. Kedua tangannya tidak lagi berpegangan pada apa pun melainkan memeluk bagian depan tubuhnya yang terasa sangat sakit. Dadanya. Tepatnya sebelah kiri.

"Ah, sial. Ini terjadi lagi."

Sebelum ia benar-benar tumbang, pikirannya melayang menjelajah masa-masa lampau yang dihabiskannya bersama orang terkasih. Orang yang seharusnya ia temui hari ini. Namun, tidak bisa ... lagi.

⛦⛦⛦

Elegi Sebuah Pagi (On-Revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang