Bagian - 1

1K 60 0
                                    

"Devan! Devan bangun! Devaaan!"

Anne menggoyang-goyangkan tubuh Devan yang terbaring di sofa ruang tengah, dengan kebiasaannya tidur menghadap sisi kiri sembari memeluk bantal. Laki-laki yang masih memejamkan mata itu hanya menggeliat dan sesekali menepis tangan Anne. Ia menenggelamkan muka ke sofa untuk menghindari gangguan dari Anne yang berusaha membangunkannya.

"Kebo, ih. Buruan bangun!"

Tidak sabar karena yang dibangunkannya hanya menggeliat saja, Anne pun mengeluarkan "serangan mematikan". Dalam hati ia menjamin Devan pasti akan langsung bangun begitu ia meluncurkan serangan tersebut.

Anne mengikat kuda surai panjangnya, kemudian memposisikan kedua tangannya seolah hendak mencakar.

"Rasakan serangan mematikan Anne!"

Gadis itu menggelitik tubuh Devan di segala tempat, tangannya menari lincah di tubuh Devan hingga si empunya terkaget-kaget dan langsung bangkit terduduk.

"Heh bocah, rese ya kamu!" seru Devan kesal sembali melemparkan bantal sofa yang tadi dipeluknya ke wajah Anne. Tampak jelas dari raut mukanya bahwa Devan amat kesal dengan ulah Anne.

"Dih bantal habis kena iler kamu, main lempar aja!" Anne mendengus ikut-ikutan kesal. Ia balik melemparkan bantal itu ke wajah Devan, tapi gagal karena Devan sigap menangkapnya. Anne makin kesal.

"Ya lagian kamu ngapain ganggu orang tidur. Masih pagi banget tau," ujar Devan sambil menguap.

"Kamu nggak lupa janji kita, kan?" Anne merengut.

"Hah?" Devan yang usai mengeluarkan segenap udara dari dalam mulutnya memasang tampang bingung.

"Kan beneran lupa! Dasar ya kamu tuh ngeselin banget!" Anne melipat kedua tangan di depan dada dan melirik Devan dengan tatapan super judes yang demi apa pun Devan ingin menyentil dahinya gemas. Namun, tentu saja Devan tak akan melakukan itu.

"Eh Anne, nggak usah pasang muka gitu kenapa sih?"

"Bodo amat! Mau marah seminggu sama kamu."

"Halah sok-sokan mau marah seminggu, palingan nanti juga 'Devan, Devan' kalau ada butuhnya."

"Nggak akan."

"Beneran?"

"Ya."

"Yakin."

"Ya?"

"Serius?"

"Ya."

"Seratus persen?"

'Ya."

"Devan ganteng?"

"Ya—eh kok ya sih."

"Hahaha ...."

Devan tertawa puas berhasil mengerjai Anne, sementara si gadis yang kesal mengambil bantal sofa dan menggebukkannya ke tubuh Devan. Laki-laki tujuh belas tahun itu menyilangkan kedua tangannya untuk melindungi serangan membabi buta Anne dengan masih terbahak. Anne pun menambah level kekuatannya untuk menggebuk Devan, meskipun tetap saja rasa pukulannya empuk karena senjata yang ia gunakan adalah bantal.

"Ini kalian ngapain sih pagi-pagi udah ribut?!"

Seorang gadis berparas ayu yang masih mengenakan piyama tidur dan rambutnya acak-acakan melewati medan perang Anne vs Devan. Devina, kakak perempuan Devan, hendak mengambil air minum yang letaknya di ruang makan tidak jauh dari ruang tengah.

"Devan itu tuh, Kak, ngeselin banget jadi orang," tutur Anne sambil merengut kesal.

"Yee, mana ada. Kamu tuh yang ngeselin. Orang lagi enak-enak tidur dibangunin. Masih pagi juga." Devan tidak terima Anne mengadukannya kepada Devi, sudah pasti Devi akan mengomelinya karena menjahili Anne.

Elegi Sebuah Pagi (On-Revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang