Di hari terakhir liburan, Devan benar-benar menepati janjinya kepada Anne. Pagi hari ia menyewa dua sepeda gunung untuk digunakannya bersama Anne menjelajah kebun teh tak jauh dari vila.
"Udah siap?" tanya Devan pada Anne yang sudah siap sedia di atas sepedanya.
"Yes!" jawab Anne bersemangat.
Gadis itu mengenakan sweater berwarna biru muda, dipadukan dengan celana jeans biru dongker nyaris hitam yang panjangnya sedikit di atas mata kaki. Tak lupa tambahan beanie warna senada menutupi rambut hitamnya yang dibiarkan tergerai sepunggung.
Anne tampak bersemangat. Tak henti-henti ia menunjukkan senyuman berhias gigi gingsul yang membuatnya sangat manis dipandang.
"Ya udah, ayo." Devan mengayuh sepeda gunungnya lebih dulu kemudian disusul Anne.
Mereka mengayuh sepeda pelan sembari menikmati udara segar.
"Kamu jalan di depan aja, An," seru Devan ketika mereka baru mengayuh sekitar 500 meter. Devan sedikit berteriak agar suaranya bisa didengar Anne yang bersepeda di belakangnya.
"Enggak ah, aku nggak tau track-nya. Nanti malah nyasar," ujar Anne dengan suara sama kerasnya.
"Tinggal ikuti jalan ini, terus nanti belok kanan. Udah tinggal lurus. Buruan."
Anne tau Devan tidak menerima penolakan. Ia pun mengayuh sepedanya dengan kekuatan ekstra agar bisa menyalip Devan yang sengaja mengurangi kecepatan sepedanya.
"Duluan!" Anne melambaikan tangan begitu ia berhasil mendahului Devan. Endorfin dan oksitosinnya terlalu melimpah hari ini, sehingga membuat gadis itu sangat bersemangat.
"Ya nggak harus cepet-cepet juga jalannya. Hati-hati, An. Perhatikan depan." Devan ngeri dengan bagaimana Anne mengayuh sepedanya dengan cepat.
"Iya iya, ih. Devan bawel!"
Keduanya melewati jalanan pedesaan yang sempit tapi sudah beraspal, sebelum kemudian belok menuju jalan setapak yang masih berupa tanah.
Vila keluarga Devan yang menjadi tempat mereka berlibur dekat dengan perkebunan teh dan danau alami, tapi cukup jauh dari area pemukiman. Meski demikian, biasanya pada waktu-waktu tertentu akan ada penduduk setempat yang memetik daun teh.
Anne dan Devan menikmati semilir angin yang berhembus membawa udara dingin, membuat bulu kuduk berdiri. Padahal sudah pukul 10 tetapi udara masih dingin. Sang Penguasa Siang malu-malu menampakkan diri dan malah bersembunyi di balik mega, sehingga sengatan panasnya tidak terasa.
Indra penglihatan sepasang sahabat itu dimanjakan hijaunya perkebunan teh yang terhampar luas. Keduanya menerobos jalan kecil yang memisahkan kebun teh bagian selatan dan utara.
"An, di depan istirahat bentar ya. Capek," seru Devan ketika keduanya sudah cukup jauh menjelajah kebun teh.
"Baru segini udah capek, Devan cemen."
"Bodo amat."
Anne pun menghentikan laju sepedanya di bawah rimbunnya sebuah pohon, disusul Devan yang sudah tampak ngos-ngosan. Begitu mereka berhenti, laki-laki itu langsung meninggalkan sepedanya dan mengambil duduk di rerumputan bawah pohon.
"Beneran capek?" tanya Anne sambil ikut turun dari sepeda dan mengulurkan botol minuman pada Devan.
Devan tidak menjawab, masih sibuk mengatur udara yang saling berdesakan di saluran pernapasannya. Anne membukakan tutup botol air mineral, kemudian memberikannya pada Devan.
"Nih, minum dulu."
Devan menerima botol itu tanpa menjawab. Ia meneguk cairan itu hingga menyegarkan kembali kerongkongannya. Setelah dirasa cukup, Devan menyerahkan kembali minuman kepada Anne.
![](https://img.wattpad.com/cover/199863818-288-k777744.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Sebuah Pagi (On-Revision)
Random"Setiap malam, aku selalu berdoa agar Tuhan memberiku kesempatan untuk bertemu kembali denganmu esok pagi." Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok hari. Terlebih bagi seorang Devan yang memiliki bom waktu dalam tubuhnya, yang dapat meledak k...