Bagian - 7

540 42 4
                                    

"Devan, aku sayang kamu. Sayang banget. Jangan pernah tinggalin aku, ya. Aku nggak akan bisa hidup tanpa Devan."

BEEP BEEP

06.00 a.m.

Devan terbangun bukan karena alarm. Mimpi yang terasa sangat nyata membangunkannya. Ia merasa mendengar suara itu secara langsung di telinganya, tidak di alam mimpinya.

Pintu diketuk. Devan bangkit dari kasur dan membuka pintu yang dikuncinya dari dalam. Sang mama membawakan nampan berisi beberapa potong sandwich dan segelas air putih.

"Ma, aku bisa makan di bawah, kan? Ngapain dibawa ke sini."

"Anne sedang sarapan di bawah sama Ayah. Biar dia ngabisin makanannya ditemani Ayah. Kamu sarapan di sini ditemani Mama."

"Idih, malas. Mending sarapan di bawah sama Anne sama Ayah."

"Kamu tuh sensi amat jadi orang mirip siapa sih?"

"Ya mirip Mamalah. Ayah selalu santai tuh, Mama yang sering ngegas."

Mama Devan memukul bahu putranya itu pelan. Devan hanya meringis sementara tangannya menyambar makanan yang dibawa oleh mamanya.

Ratna mengamati Devan yang tengah menyantap sandwich dengan lahap. Wajah itu di matanya masih tetap sama, seperti bayi mungil yang kala itu menangis di gendongannya. Tubuh rapuh yang dulu pernah hampir meninggalkannya itu, kini menjelma menjadi laki-laki tinggi yang tampan. Ratna mengernyitkan dahi kala melihat tulang selangka Devan yang semakin tampak. Apa anak itu kehilangan berat badan?

"Kok Mama perhatikan kamu kurusan, ya?"

"Masa sih?" Devan masih asyik dengan makanannya.

"Kamu makan teratur, kan?"

Devan mengangguk.

"Di sekolah nggak jajan aneh-aneh?"

Devan mengangguk lagi.

"Obat kamu?"

"Maaa, plis. Aku lagi makan jangan diajakin ngomong terus. Nanti kesedak."

"Kan kan, nyolot lagi kalau ngomong."

"Lagian Mama sih ... orang lagi makan juga."

"Iya iya, maaf. Lanjutin aja makannya. Pelan-pelan."

Ratna buru-buru menepis asumsi negatif yang mengitari pikirannya. Naluri seorang ibu dalam hatinya mengatakan Devan telah tumbuh dengan baik, tak perlu ia campuri perasaan itu dengan pikiran aneh-aneh.

Apalagi kini, hanya dengan melihat Devan menyantap makanan buatannya dengan lahap saja, sudah membuat hati Ratna terasa sangat hangat.

"Mama sayang Devan," ujarnya tiba-tiba.

"Dih, modus. Paling ada maunya."

Ratna tertawa.

"Nanti malam ikut Mama, ya. Mengunjungi teman lama."

"Nah, kan ketahuan modusnya."

"Anne biar menginap lagi beberapa hari sampai keadaan dia benar-benar baik. Kamar Devi biar ada penghuninya juga."

"Mama bilang langsung aja ke dia. Aku belum sanggup lihat kondisi dia yang kaya gini. Dan lagi, biar hari ini dia nggak usah masuk sekolah dulu, nanti aku mintakan izin."

"Lah, dia udah pake seragam kok. Udah siap berangkat malah. Nunggu kamu yang masih molor."

"Hah?! Nggak, nggak usah sekolah, dia kalo habis nangis kelamaan terus stres gini suka kambuh asmanya."

Elegi Sebuah Pagi (On-Revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang