Hari masih pagi, ketika Devan harus "berperang" terlebih dahulu dengan Ratna demi bisa berangkat ke sekolah. Devan harus pergi mengikuti diklat lapangan Aksara, terlepas dari sekeras apa pun mamanya melarang.
"Devan tuh nggak papa. Mama nggak usah berlebihan," sergah Devan dengan tangan terulur, mencoba mengambil kembali ranselnya yang ditahan Ratna.
"Kamu semalam kena serangan lagi. Mau kamu tuh apa sih, Devan? Coba hitung seminggu ini aja, kamu udah berapa kali collapse, hah? Itu pun yang ketauan Mama. Belum lagi yang diem-diem kamu ngumpet di kamar mandi! Kalo kejadian sesuatu sama kamu, Mama harus gimana?!" Ratna menepis tangan Devan yang hendak merebut ranselnya.
Pagi-pagi sekali Ratna masuk ke kamar Devan, memastikan bagaimana kondisi anak itu. Ingatannya bagaimana Devan terkapar di kamar mandi semalam masih sangat segar. Namun, Ratna harus dikejutkan dengan Devan yang sudah berkemas dan siap berangkat ke acara yang disebutnya diklat. Ratna hanya mengelus dada menyaksikan tingkah anak laki-lakinya yang kian hari, kian nakal saja.
Mau tidak mau, Ratna dihinggapi perasaan khawatir. Dilihat secara kasat mata pun tampak bahwa Devan tampak lebih kurus, lebih pucat. Ratna menyesal tidak memperhatikan Devan lebih detail lagi, hingga terlambat menyadari perubahan fisiknya.
Belakangan ini ia memang sering mendapati Devan mengurung diri di kamar mandi, sebuah kebiasaan anak itu jika sedang mengalami serangan dan tak ingin diketahui oleh siapa pun. Sugesti positive thinking yang selalu diterapkan Ratna pada pikirannya seolah menjadi bumerang. Devan tidak baik-baik saja, Ratna tidak boleh menampik fakta itu, sekeras apa pun ia mencoba menafikan.
"Dek ... Tolong patuhi Mama kali ini aja, ya. Mama mau kamu sembuh dulu, habis itu terserah mau ngapain aja. Mama nggak mau kamu kenapa-kenapa, Devan .... Mama ... takut ...." Ratna sudah kehabisan kata-kata untuk membujuk Devan.
"Ma ... Plis. Devan nggak papa. Devan harus berangkat. Ini acara yang penting banget. Mama nggak bisa larang Devan, toh dulu juga udah izin dan Mama kasih aja."
"Tapi itu waktu kamu masih baik-baik aja! Nggak saat ini."
"Apa bedanya?"
"Kamu saat ini lagi nggak baik-baik aja, Devan."
"Emang selama ini aku pernah baik-baik aja?"
Ratna terdiam mendengar ucapan Devan. Perempuan itu meletakkan ransel yang dibawanya begitu saja di lantai, lantas mengusap wajah.
Devan sebenarnya tak tega melihat wajah sang Mama yang tampak frustasi. Ia sangat merasa bersalah. Namun, ia yakin akan sulit mendapatkan izin Ratna dengan seribu bujuk rayu, apalagi setelah semalam Devan mengalami serangan.
"Iya, kamu benar. Selama ini kamu memang nggak baik-baik aja. Mama aja yang terlalu naif." Ratna melipat kedua tangan di depan dada, kesal. Devan tidak tahu harus berbuat apa jika mamanya sudah bersikap seperti ini.
"Devan minta maaf, Ma. Devan nggak bermaksud bikin Mama sedih. Tapi Devan beneran nggak papa, jadi Mama nggak perlu khawatir. Devan pasti jaga diri. Mama harus percaya sama Devan." Devan menggenggam tangan Ratna, mencoba mengambil hati perempuan yang telah melahirkannya itu.
Ratna hanya mendengus.
"Devan janji bakal turutin apa pun keinginan Mama kalo diizinin pergi sekarang. Ya?"
Ratna masih membuang muka, enggan menatap Devan.
"Mama tau Devan nggak mungkin berangkat tanpa izin Mama. Tapi diklat ini penting, Ma. Devan harus jalanin tugas Devan. Mama sendiri yang bilang kalau Devan harus selesaiin apa yang Devan mulai."
"Tapi nanti kalau kamu kenapa-napa gimana, Devan ...." Ratna memberi penekanan pada setiap kata yang diujarkannya.
"Devan janji bakal jaga diri, beneran Ma. Plis ... Devan tuh nggak papa, serius."
![](https://img.wattpad.com/cover/199863818-288-k777744.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Sebuah Pagi (On-Revision)
Casuale"Setiap malam, aku selalu berdoa agar Tuhan memberiku kesempatan untuk bertemu kembali denganmu esok pagi." Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok hari. Terlebih bagi seorang Devan yang memiliki bom waktu dalam tubuhnya, yang dapat meledak k...