Bagian - 19

974 39 1
                                    

Devan membuka mata perlahan, mencoba menyesuaikan cahaya yang memaksa masuk retinanya. Ia memicingkan mata ketika dirasa silau menyeruak indera penglihatannya. Pun ia mengerjap beberapa kali, mencoba memfokuskan pandangan pada objek-objek di sekitarnya.

Langit-langit putih, dinding berwarna biru laut yang familiar, jendela yang mengalirkan hembusan angin berpadu hawa panas dari luar. Pandangan mata Devan terhenti pada sosok perempuan yang tertidur dengan kepala bertumpu pada tangan kanannya. Sang mamakah?

Beberapa menit Devan habiskan untuk mengumpulkan rohnya yang baru kembali usai melakukan penjelajahan jauh di alam bawah sadar.

Salah satu hal yang paling Devan benci ketika bangun dari tidur panjang adalah ia serasa orang linglung, tak tahu apa yang terjadi. Bingung.

Perempuan di samping Devan menggeliat lantas mengangkat kepala. Bukan mama Devan, melainkan Devi, kakak perempuannya. Devi membulatkan mata ketika netranya bertemu sorot legam Devan yang masih sayu.

"Dek, udah bangun? Gimana perasaannya? Ada yang sakit? Aku panggil Dokter Kevin dulu ya."

Devan mengembuskan napas melalui masker oksigen, dadanya masih terasa sesak kendati pernapasannya sudah terbantu alat. Ia hendak menahan tangan Devi yang siap beranjak, tapi tiada daya. Alhasil, ia hanya bisa melihat kakaknya yang berjalan tergopoh-gopoh keluar ruangan.

Beberapa menit kemudian, Devi telah kembali ke dalam kamar bersama Kevin. Devi menarik-narik tangan dokter muda itu layaknya gadis bocah yang tak sabar menunjukkan mainan baru.

"Gimana perasaanmu, Dev?" tanya Kevin sembari menekankan stetoskop ke dada Devan yang naik turun teratur.

Devan membuat gestur tangan menunjuk masker oksigen, bermaksud meminta agar alat itu dilepas. Kevin yang tak menangkap maknanya hanya mengangkat bahu.

"Lepas ...." ujar Devan pelan dengan suara serak.

"Jangan dulu, Dek. Nanti kalo dilepas sesak." Devi yang menjawab.

"Nggak papa."

Devi berpaling kepada Kevin, meminta pendapat sang dokter apakah harus menuruti kemauan Devan atau mengabaikannya. Kevin mengangguk, lantas dibantu perawat untuk melepas perlahan masker oksigen yang bertengger di hidung elang Devan.

"Suhu tubuh kamu sudah normal. Hanya saja mungkin ada potensi kram otot dan pusing karena kamu baru bangun setelah tidur 30 jam. Jadi, jangan banyak gerak dulu, ya."

Devan menelan ludah. Ia sudah tidur 30 jam? Memang ada orang yang tidurnya selama itu?

"Nanti malam sudah saya jadwalkan untuk pemeriksaan. Jangan keluyuran, tetap di kamar sampai saya jemput lagi. Oke?"

Devan mengernyitkan dahi. Pemeriksaan apalagi?

"Pemeriksaan apa, Dok?"

"Ya serupa check up biasanya, cuma mungkin agak lama dikit, soalnya ada pemeriksaan tambahan."

"Kenapa ada pemeriksaan tambahan?"

"Kamu kan skip check up pekan lalu, jadi anggap saja ini gantinya. Makanya itu, jangan kabur lagi kalo udah jadwal check up."

Kevin menepuk bahu Devan pelan yang disambut ringisan. Tak mungkin Kevin mengatakan secara gamblang betapa kondisi anak itu mengalami penurunan. Devan bisa stres, dan akan lebih beresiko terhadap psikologisnya.

Sejak awal Kevin mendapat amanah dari sang ayah untuk merawat Devan, dokter kawakan tersebut telah berpesan. Cepat atau lambat Devan akan berada dalam kondisi terburuknya. Semua hanya persoalan waktu. Namun, Kevin tak menyangka jika wanti-wanti sang ayah akan terjadi secepat ini.

Elegi Sebuah Pagi (On-Revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang