Bagian - 11

485 42 4
                                    

Devan kembali masuk sekolah setelah absen selama empat hari.

Sebenarnya kondisi Devan belum benar-benar membaik. Bahkan untuk bisa berangkat ke sekolah pagi ini pun ia harus melakukan berdebatan sengit dengan sang Mama. Devan hanya tidak senang berada di rumah. Lagi pula, semester baru belum lama dimulai, mana mungkin Devan bersedia "bolos" lama-lama.

Jam pelajaran telah usai sejak 10 menit lalu. Namun, Devan sama sekali tidak beranjak dari bangkunya. Laki-laki itu duduk bengong sembari menggigit pangkal penanya.

"Kamu bukannya pulang, malah gigitin bolpen. Cacingan, Dev," tegur Kenzio

"Bentar lagi pulang." Devan memutar-mutar pena dengan jemarinya.

"Kamu kenapa sih murung banget? Marahan sama Icha, ya?"

Alih-alih menjawab, Devan justru mendengus.

Seharian Devan memutar otak. Apa yang harus ia lakukan agar bisa berbaikan dengan Anne? Namun, gadis itu malah menjalankan aksi ghosting, mati-matian menghindari Devan.

Ketika Devan menjemput Anne pagi tadi, satpam di rumahnya bilang Anne telah berangkat lebih dulu. Dan benar saja, Anne melihat gadis itu sudah duduk manis di bangkunya. Diam. Sama sekali tak mengindahkan sapaan Devan.

Ketika jam istirahat, Anne buru-buru keluar kelas. Devan tak berkesempatan menghadang karena Anne sudah melesat entah kenapa.

Saat ini pun, Devan berniat mengantar Anne pulang. Namun seperti yang bisa diduga, Anne keluar kelas cepat-cepat. Panggilan Devan hanya berlalu tanpa jawaban.

"Jangan bengong lama-lama. Kesambet ntar. Yuk, balik." Kenzio menepuk bahu Devan.

"Duluan aja, aku mau mampir ke balai Aksara."

"Kamu bawa mobil, Dev."

"Iya."

"Sanggup nyetir? Kamu baru sembuh. Bareng aku aja kan bisa, nanti aku tungguin sampe kamu selesai."

"Nggak usah, makasih. Udah terlanjur juga. Masa mobilnya mau ditinggal?"

"Ya udah kalo gitu. Hati-hati, ya. Aku duluan."

Devan mengangguk. Ia merapikan buku-buku dengan segera, lantas melenggang meninggalkan kelas yang nyaris melompong.

Devan harus bertemu Cia. Namun, begitu sampai di ruang klub sastra, Devan tak mendapati Cia di manapun. Justru ia bertemu sosok lain.

"Kirana!" Devan nyaris berteriak jika tak menahan diri.

Dengan kaki jenjangnya, ia melangkah cepat menuju Kirana yang duduk di sudut ruangan, tengah membaca buku. Gadis itu menoleh ke arah orang yang memanggilnya, dan tak lupa menyuguhkan segurat senyum.

"Devan, hai!" Kirana melambaikan tangan.

"Kamu udah masuk sekolah?"

"Nggak—belum. Aku cuma mampir ke sini. Kangen Cia sama temen-temen."

Devan baru menyadari Kirana tidak mengenakan seragam. Tubuhnya hanya berbalut casual dress dan sebuah jaket.

"Aku ambil kursi dulu, ya. Pengen ngobrol."

Devan berlari ke sudut lain ruangan, beberapa detik kemudian ia kembali dengan sebuah bangku. Ia posisikan di samping tempat duduk Kirana.

"Santai aja, Dev nggak usah lari-lari gitu."

Kirana tertawa menyaksikan tingkah Devan yang seperti anak kecil bersemangat karena menemukan mainan baru.

"Ya habisnya terlalu seneng ketemu kamu lagi. Kamu udah sehat?"

Elegi Sebuah Pagi (On-Revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang