Bagian - 25

577 28 8
                                    

Anne berdiri di depan kamar Devan yang tertutup—entah sudah berapa jam, ia tak ingat. Mematung, bersandar pada pintu yang masih setia tertutup sejak senja hingga kini gelap di langit kian larut.

Rasanya hari ini kaki Anne bekerja lebih keras dari biasanya. Separuh dari hari ini ia habiskan dengan berdiri di depan pintu menanti orang yang sama. Pagi tadi di depan pintu pagar rumah Devan, dan kali ini di depan pintu kamar Devan.

"Anne, makan dulu ya, sayang? Belum makan, kan?"

Ratna menghampiri Anne yang berdiri—agak loyo sedikit karena kaki gadis itu sudah pegal—menyandarkan tubuh pada pintu kamar Devan yang masih setia tertutup. Ditepuknya lembut bahu gadis itu.

"Terima kasih, Tante. Tapi Anne nggak lapar."

"Beneran? Nanti sakit lho kalau telat makan."

Anne hanya tersenyum tipis.

"Anne nggak lapar beneran, Tante. Nanti pasti langsung ambil kalau udah lapar," jawab gadis itu.

"Ya sudah. Nanti ambil sendiri, ya? Di dapur ada makanan. Kalau mau panasin bisa pakai microwave. Atau nanti Anne panggil Tante aja biar bisa Tante siapin."

"Terima kasih, Tante. Maaf merepotkan."

"Ah, Anne. Kayak sama siapa bilang gitu."

"Rasanya Anne selalu merepotkan Tante, Om, Devan, Kak Devi. Anne selalu merepotkan semua orang. Anne tidak bisa melakukan apa pun sendiri. Selalu saja merepotkan."

"Ssst ... siapa yang bilang begitu? Anne nggak merepotkan siapa-siapa. Anne anak yang mandiri. Anne nggak pernah merepotkan."

Ratna menangkap nada sendu dari kalimat yang diujarkan Anne, membuat tangannya secara refleks menarik tubuh kurus gadis yang sudah ia anggap anak sendiri itu ke pelukannya.

Anne bergeming. Tidak membalas pelukan Ratna, tidak juga mencoba melepaskan diri.

"Anne Sayang, kalau boleh tahu ... " Ratna memberi jeda pada pertanyaannya, " ... kalau Tante boleh tanya, Anne lagi ada masalah di rumahkah?"

Anne masih diam terpaku menatap udara, tidak memberikan jawaban apa pun pada Ratna.

Suasana membisu beberapa saat.

Ratna pun tidak mencoba bertanya lagi, ia hanya mengusap punggung Anne dalam keheningan sejenak. Ratna tahu Anne akan bercerita jika memang gadis itu ingin. Ia mencoba memberi kesempatan gadis itu untuk mulai bersuara.

"Tante ... "

"Ya, sayang?"

"Tolong Anne ... "

Suara parau Anne yang tercekat membuat Ratna memejamkan mata, menahan diri agar tidak mengalirkan bulir-bulir air mata saat itu juga.

"Apa ada yang bisa Tante bantu, sayang?"

"Tidak tahu ... "

"Anne bisa cerita sama Tante. Mungkin dengan cerita bisa lebih lega."

"Tidak tahu ... mau cerita apa."

Ratna memutar otak mencoba menemukan cara yang tepat untuk memancing Anne bercerita. Ratna paham betul bahwa dalam keadaan seperti ini, Anne ibarat sebuah sungai yang terbendung hingga tak bisa mengalir lancar. Apabila laju air dari hulu terus bertambah, sedangkan bendungan menghadang jalannya menuju hilir, lama-lama sungai tersebut akan meluap. Bendungan akan jebol. Banjir bah. Maka, yang perlu Ratna lakukan adalah membuka perlahan bendungan tersebut agar air tidak sampai overload dan dapat mengalir kembali dengan normal.

Aneh sekali Ratna mengibaratkan manusia dengan sungai. Namun, ya ... itulah yang bisa terbayangkan olehnya.

"Anne lagi bertengkar?" tanya Ratna dengan hati-hati.

Elegi Sebuah Pagi (On-Revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang