Raynia terdiam mendengar ucapan Mama soal promil. Wajahnya tiba-tiba murung. Aku yakin, dia pasti ingat lagi soal malam pertama itu.
"Gimana tadi kata dokter? Kalian katanya mau jadi pendonor?"
Mama sudah berjalan menggandeng Raynia. Aku mengekor dari belakang.
"Iya, Tan, eh, Ma. Tadi kami udah ikutin tesnya buat jadi pendonor. Tinggal tunggu hasilnya cocok atau nggak."
"Mama kira cuma operasi biasa. Eh iya lupa, kalau butuh pendonor juga ya? Semoga salah satu di antara kalian cocok deh. Biar Rasya cepet ditangani. Kasihan."
Aku masih menjadi pengawal dua wanita di depanku sampai ke kamar perawatan Rasya.
"Nia, ini loh maksud Mama. Kamu sama Rakha rutinin minum ini ya. Nih ada susu, vitamin E sama asam folatnya diminum setiap hari."
Mama sangat bersemangat menjelaskan satu persatu suplemen promil. Raynia hanya menanggapi dengan wajah bingung.
"Sama ini testpack, kalau ... Ehm ... kamu udah mulai telat, langsung pakai ini ya."
Kali ini Raynia menatapku. Tatapan yang tak biasa. Bukan amarah atau licik. Tapi ... entah aku tak bisa menebaknya.
"Semoga kamu cepet hamil ya, Nia. Mama udah nggak sabar pengin gendong cucu. Kamu tahu nggak? Mama dulu baru bisa hamil setelah sepuluh tahun menikah. Semua promil dari yang tradisional sampai medis udah dicobain. Eh, pas anniversary ke sepuluh baru deh Allah kasih amanah Rakha buat Mama Papa."
Mama mulai mendongeng lagi. Aku lebih baik keluar kamar. Mulutku asem, butuh nyebat.
"Ma, Rakha keluar dulu ya. Cari yang seger-seger."
"Eh, mau kemana? Nia diajak dong."
"Nia di sini aja, Ma, nemenin Rasya. Biarin Mas Rakha mau cari udara segar."
Aku tahu, Raynia pasti sedang menghindariku. Biarlah, toh aku memang pantas mendapatkannya.
"Ya udah, sana, Kha. Oh ya, titip jus ya. Mama juga mau yang seger-seger."
"Jus apa, Ma?"
"Mama jus strawberry aja. Kalau buat Nia jus alpukat ya, alpukat itu bagus loh buat rahim."
Kulirik Raynia hanya tersenyum tipis. Mama mulai mengatur. Semoga Raynia kuat menghadapi Mama.
***
Pagi ini aku kembali masuk kantor, setelah mengantar Raynia yang juga berangkat ke toko. Sepulang dari rumah sakit kemarin, dia mulai mendiamkanku. Hanya bicara seperlunya atau menjawab seadanya.
"Bre, lemes amat kayak ayam mau mati lo!"
Frans merangkulku saat bertemu di depan lift. Kulirik sekilas, dan kulepaskan tangannya yang melingkar di bahu.
"Paan, sih?"
"Elah, jadi sok jual mahal amat lo?"
Pintu lift terbuka, gegas aku masuk diikuti Frans dan beberapa karyawan lainnya.
"Pssst, Jumat nih, Bre. TGIF!"
Aku hanya mengangkat satu alis menanggapi Frans. Aku tahu kemana arah pembicaraannya. Tak mau membuat gaduh di dalam lift, aku memilih diam. Kubiarkan Frans mengoceh sendiri.
Tepat di lantai 15, pintu lift terbuka. Aku keluar dengan tergesa. Untung saja, Frans sudah turun duluan di lantai 10. Kami memang bekerja dalam satu tower, tapi berbeda divisi.
"Rakha!"
"Hei, Clau, baru dateng juga?" Claudia keluar dari pintu lift sebelah.
"Iya, lo tumben dateng jam segini? Biasanya subuh udah buka laptop lo di meja."

KAMU SEDANG MEMBACA
RAINBOW CAKE ✔️
RomanceRakha dan Raynia sepakat untuk menikah demi kepentingannya masing-masing. Namun, pernikahan pura-pura yang mereka jalani nyatanya tak semudah yang mereka tulis dalam perjanjian.