PART 11

7.8K 1.2K 40
                                    


PART 11

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

PART 11

"Apa kalian harus gini?" Bintang menghela napas panjang karena Diva dan Ajeng memegang masing-masing lengannya dan tak mau melepasnya hingga tiba di depan sebuah pintu ruangan yang belum pernah Bintang masuki.

Acha bertugas membuka pintu. Muslimah di belakang Bintang dan kedua tangannya menyentuh punggung Bintang. Sementara Mae mengawasi.

"Katanya teman? Ini namanya pemaksaan." Bintang didorong memasuki ruangan yang pintunya sudah terbuka. Tak berapa lama kemudian suara pintu di belakangnya tertutup dengan keras, membuatnya tersentak kaget. Dia berdecak, lalu menoleh kesal.

"Kemarin kenapa kabur?" Suara Baskara. Sudah tidak asing di telinga Bintang.

Bintang menoleh sambil melihat Baskara yang duduk di lantai dengan satu kaki yang tertekuk dan lengan yang tersangga di atasnya. "Karena lo sinting?"

Baskara tersenyum kecil, hingga terlihat seperti senyum miring. "Masih pertanyaan yang sama. Apa kita pernah ketemu sebelumnya?"

"Kalau kita pernah ketemu dan gue kenal lo, gue nggak perlu kabur kemarin." Bintang akan terus waspada. Meskipun sudah mendengar penjelasan Shareen semalam, tetapi dia juga tidak akan langsung percaya pada sesuatu hal yang mustahil terjadi di dunia ini.

Jika mereka pernah bertemu, maka bagaimana itu bisa terjadi?

"Tapi kenapa kita kayak pernah ketemu, ya?" tanya Baskara lagi.

"Mana gue tahu?" tanya Bintang dengan suara pelan. Tatapannya tak bisa berpaling dari wajah lelah Baskara. Apa semalam dia tidur dengan baik? Bintang tidak ingin luluh karena rasa kasihan. Bagaimana pun juga, apa yang Shareen katakan hanyalah dugaan dan bisa saja yang terjadi di antara mereka adalah sebuah plot twist dari apa yang Shareen duga, seperti misalnya sebenarnya semua yang terjadi di antara mereka tak ada hubungannya dengan mesin waktu.

"Iya, juga, ya." Baskara bangkit dari duduknya dan menghampiri Bintang.

Ketika tangan cowok itu memegang pergelangan tangan Bintang, Bintang tak menolak. Dia hanya diam dan membiarkan apa yang sebenarnya akan terjadi.

"Pokoknya gue nggak mau jauh dari lo sebelum gue inget semuanya." Baskara menggenggam tangan Bintang erat seolah takut lepas darinya begitu saja. Suaranya pelan karena keputusasaan. "Ya?"

Bagi Bintang, Baskara itu menyebalkan. Terutama, dia agresif sampai membuat Bintang takut berhadapan dengannya. Bintang hanya butuh waktu. Memastikan Baskara tak ada maksud jahat kepadanya adalah hal utama yang akan Bintang lakukan.

"Bukannya apa yang lo alami itu ada hubungannya dengan hilang ingatan? Mungkin lo pernah jatuh...."

"Gue udah cek di hari pertama kita ketemu. Dan hasilnya, otak gue baik-baik aja. Tubuh gue baik-baik aja. Gue nggak ada penyakit fisik." Baskara mendekat, membuat Bintang waspada dan mundur. Punggung Bintang tertahan di pintu saat Baskara berbisik di atas bahunya. "Makanya jujur, lo udah pelet gue, kan? Lo pakai susuk? Atau sejenisnya?"

Bintang menarik tangannya dan mendorong Baskara menjauh. "Cowok gila. Buat apa juga gue pelet lo? Kalau mau cari hal-hal mistis, mendingan gue nyuri uang dengan ngepet."

"Lebih baik nggak usah dua-duanya," sanggah Baskara.

"Ya emang siapa juga yang mau ngelakuin dua-duanya? Yang gua bilang tadi cuma majas." Bintang mengibaskan tangannya di depan Baskara karena lelah. "Gini, ya. Apa hubungannya kalau kita pernah ketemu di masa lalu? Toh, kalau udah berlalu ya udah. Mau ke psikiater sekalian? Gue temenin, deh."

"Nggak bisa." Baskara berdecak menutupi wajahnya sambil menghela napas panjang. "Karena udah jelas obatnya ada di hadapan gue sekarang."

Bintang menunjuk dirinya sendiri. "Gue?"

"Iya." Baskara mencuri kesempatan memegang tangan Bintang, menggenggamnya erat. Sampai Bintang tak sadar dengan itu karena terpana dengan tatapan Baskara. "Sekarang mendingan lagi. Lo obatnya, Bintang."

Bintang menghela napas panjang. Dia menatap tangannya yang digenggam erat oleh Baskara. Terkadang muncul rasa kasihan, tapi di sisi lain ada hal yang membuat Bintang bersikeras untuk menjaga jarak dari Baskara seolah dia memang harus melakukan hal itu.

"Bintang?" panggil Baskara pelan.

Bintang memandang Baskara dengan tatapan malas. "Ya? Apalagi?"

"Ayo gandengan setiap hari." Baskara menarik tangan Bintang yang satunya lagi dan membungkusnya dengan kedua tangannya yang besar. Tatapannya penuh permohonan ketika dia menunduk dan memandang mata Bintang lekat-lekat.

"Mau tinggal di apartemen gue? Ada satu kamar kosong. Lo boleh tinggal di sana. Lo nggak usah pusing soal makanan karena gue bakalan siapin apa pun yang lo mau. Lo bebas ngelakuin apa aja. Kita juga bisa pulang-pergi sekolah bareng. Asal lo mau gue gandeng setiap kali gue pusing. Gimana?"

Si gila ini! Bintang tak tahan lagi.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Matahari Dan BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang