by sirhayani
part of zhkansas
PART 47
Ketika Bintang membuka mata, hal yang pertama kali dilihatnya adalah seseorang yang sedang duduk di sofa seberang. Bintang sontak bangun karena terkejut. Dia langsung duduk disaat semua kakinya masih ada di atas sofa.
Ditatapnya Baskara yang sedang bersandar sambil melipat tangan di dada.
"Kenapa...?" tanya Bintang, berbisik. Dia memperbaiki posisi duduknya dan memegang kepalanya yang pusing. "Bikin kaget aja, ck."
Baskara bangkit, lalu melangkah ke arah Bintang. Tangannya menyugar rambut Bintang tanpa bicara terlebih dahulu. Bintang pikir, Baskara akan mengatakan sesuatu. Akan tetapi, tak ada yang diucapkan oleh Baskara dan hanya menatapnya sementara jemari tangannya masih ada di antara anak rambut Bintang.
Bintang jadi merasa suasana agak canggung. Dia menyingkirkan tangan Baskara dari rambutnya dan menurunkan kedua kaki ke lantai. Saat ingin beranjak, tiba-tiba saja Baskara menaruh kedua lengannya di antara pundak Bintang. Cewek itu melotot. Kaget. Ditatapnya Baskara dalam hening. Lidahnya menjadi kelu setelah melihat bagaimana Baskara menatapnya tak biasa.
Bintang menyilangkan tangannya di dada, menyembunyikan degup jantung yang terus berirama dengan kencang. Bingung, Bintang tak tahu apa yang dirasakannya sekarang. Dia benci tak bisa mengontrol dirinya sendiri. Tatapannya tak bisa lepas dari Baskara yang sedang mengurungnya di antara lengan cowok itu.
"Hei...," ujar Bintang, nyaris berbisik. "Bisa minggir nggak...?"
Baskara menatapnya beberapa detik lagi sebelum bicara. "Apa yang lo rasain?"
Bintang mengernyit.
"Gue mau minta maaf." Baskara mengalihkan perhatian dari Bintang, lalu berdiri tegak.
Bintang pikir Baskara akan menjauh, tetapi cowok itu duduk di samping Bintang. Kemudian hal yang membuat bola mata Bintang hampir keluar dari tempatnya adalah kelakuan Baskara yang tanpa aba-aba menjadikan paha Bintang sebagai bantalan kepalanya.
Itu adalah hal asing di antara mereka.
Bintang kaku sementara Baskara asyik memakan kacang yang diambilnya dari stoples di atas meja. Bintang mengambil bantal sofa, lalu menaruhnya di atas wajah Baskara dan menindih bantal sofa itu dengan tangannya sekuat tenaga sampai tangan Baskara naik ke wajah Bintang dan mencubit pipi Bintang agak keras.
"Lo mau bunuh gue?" tanya Baskara setelah berhasil melepaskan bantal sofa di atas wajahnya.
"Iya!" seru Bintang sambil menaruh bantal sofa tadi ke depan wajahnya sendiri, menyembunyikan ekspresi wajahnya dari pandangan Baskara di bawah sana. "Minggir!"
Baskara tak mau pergi dan masih membebani paha Bintang dengan kepalanya. "Lo belum jawab."
Bintang mengintip Baskara lewat bantal sofa. "Jawab apa?"
"Tadi gue minta maaf, tapi lo belum jawab."
"Maaf untuk?" tanya Bintang heran.
"Tadi kan gue udah kasar. Mau maafin gue?" tanya Baskara dengan tatapan penuh harap.
Bintang tak langsung menjawab. Dia sedang berpikir apakah kelakuan aneh Baskara barusan hanya karena cowok itu ingin meminta maaf? Setelah mendapatkan dugaan yang meyakinkan, Bintang jadi tak gugup lagi. Sikap tak biasa Baskara ada sebabnya dan Bintang akhirnya menjadi rileks.
"Cuma lo yang gue punya." Baskara kembali bicara setelah hening yang cukup lama. "Lo maafin gue kan?"
Bintang berpikir sebentar. Ada keinginan untuk mengetahui sejauh mana Baskara menuruti keinginannya. "Ada syaratnya."
"Apa?"
"Gendong."
Baskara langsung bangun. Dia berdiri, lalu mencondongkan tubuh ke arah Bintang dan membawanya ke dalam gendongan dalam sekejap. Bintang membelalak kaget. Baskara langsung menuruti kemauannya.
"Terus? Gendong doang?" tanya Baskara.
"Ke kamar."
Balasan itu membuat Baskara justru mematung.
"Ke kamar," kata Bintang lagi sambil menatap Baskara. Setelah merasa nyaman di gendongan Baskara, Bintang jadi ingin dibawa pergi dalam gendongan cowok itu dan satu-satunya yang muncul di pikirannya adalah kamarnya.
"Habis dari kamar lo, gue langsung keluar." Baskara mulai berjalan dan membawa Bintang dengan kaku, tetapi Bintang tak menyadari kekakuan cowok itu dan asyik sendiri karena merasa seperti bermain wahana.
"Aku boleh minta satu hal lagi?" tanya Bintang pelan. Sejujurnya dia tak yakin ini akan berhasil. Setelah melihat Baskara tak mengatakan sesuatu, Bintang jadi semakin pesimis. Namun, dia tidak ingin diam saja. Bintang merasa Baskara tahu apa yang dia inginkan. "Boleh, kan?"
"Hm."
Bintang ikut bergumam. Dia jadi ragu mengatakannya. "Aku mau ke jalanan."
Setelah itu, Baskara tak bersuara.
"Nggak mau, ya...?"
Baskara menurunkan Bintang ke atas tempat tidur, lalu dia berdiri dan tangannya langsung dipegang oleh Bintang. "Cuma sehari. Dan janji lo jangan kabur."
"Iya...," balas Bintang, skeptis.
"Jangan bohong."
"Iya, beneran." Bintang mengeratkan genggamannya di tangan Baskara, meyakinkan Baskara meski sebenarnya dia berbohong. Bagaimana pun, dia tetap akan mencari kesempatan untuk kabur karena tak yakin Baskara membiarkannya pergi dalam waktu lama. Tak mungkin dia jujur dengan rencananya kepada seseorang yang mengurungnya itu.
Baskara ikut duduk di tepi tempat tidur Bintang dan menatap Bintang penuh peringatan. "Kalau lo bohong, gue bakalan cari lo sampai ketemu dan setelah itu gue nggak akan cuma ngurung lo, tapi juga ngikat lo di kamar ini. Ngerti?"
Biasanya ancaman Baskara terdengar seperti angin lalu bagi Bintang karena terdengar. Sekarang tidak terdengar seperti dulu lagi.
Bintang merasa Baskara berubah jadi menyeramkan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Dan Bintang
أدب المراهقينSELESAI ✔️ Bintang, cewek yang pernah tinggal di jalanan selama bertahun-tahun, tiba-tiba terbangun di sebuah kamar yang asing. Satu hal yang membuatnya kaget. Dia terbangun di atas kasur yang sama dengan seorang cowok yang sedang tertidur lelap d...