PART 51
Setelah mendengar ucapan Bintang, Baskara hanya bisa terdiam. Kata-kata Bintang mengganggu pikirannya sampai dia tak bisa berpikir dengan jernih dan menjauh dari Bintang untuk menenangkan diri. Dia tak bisa melakukan apa pun sekarang dan hanya ingin menghabiskan waktunya dengan tidur. Jika dia bertemu Bintang, dadanya akan sesak karena pemikiran bahwa Bintang akan pergi darinya terus menghantuinya.
Dalam renungan yang memakan waktu lama itu, Baskara semakin yakin bahwa melepaskan Bintang lebih cepat akan jauh lebih baik daripada membiarkan Bintang berada terus-terusan di sisinya dan hanya akan membuatnya merasakan rasa sakit yang jauh lebih besar suatu saat nanti.
Baskara keluar dari kamarnya dan melihat banyak mainan di sebuah rak. Robot-robot berbagai ukuran dan juga mobil mainan. Baskara berdecak, lalu kembali mencari Bintang. Di pikirannya, mainan-mainan itu pasti milik Baron. Walau dia tak tahu kapan dan bagaimana mainan-mainan itu datang. Baskara merasa dia yang membelinya, tetapi setengah tak yakin akan hal itu.
Ketika menemukan Bintang di dapur, Baskara kembali dilema. Cowok itu menunduk, kesal pada dirinya sendiri. Padahal dia sudah berusaha untuk membiarkan Bintang pergi ke mana pun Bintang inginkan, tetapi Baskara ternyata belum bisa melepaskan Bintang.
Baskara mendekati Bintang yang sedang menyiapkan sarapan. Ketika Bintang sibuk, Baskara langsung memeluknya dari belakang. Baskara tahu Bintang terkejut, tetapi cewek itu kembali melanjutkan pekerjaannya seolah tak terganggu dengan Baskara yang menempel padanya.
"Mau sarapan, kan?" Bintang berusaha tersenyum meskipun Baskara tak bisa melihat wajahnya itu. Dia juga sedang pura-pura tegar di antara perasaan cemas akan kepergiannya yang tak tahu kapan.
Bintang hanya berharap dia bisa menikmati waktu bersama Baskara setidaknya 1x24 jam sejak detik ini.
"Maaf," gumam Baskara, membuat Bintang berhenti menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. "Karena tadi gue jadi pengecut. Tiba-tiba ninggalin lo yang masih sedih."
Bintang melepas tangan Baskara yang melingkar di perutnya, lalu berbalik menatap Baskara.
"Jangan ninggalin gue. Gue janji gue bakalan ngelakuin apa pun untuk lo asal lo nggak pergi," kata Baskara, lirih.
Bintang mendekat, lalu menepuk-nepuk punggung Baskara tanpa memeluknya. "Gue masih di sini, kok. Gue juga nggak mau pergi."
Tanpa Bintang sadari, kalimat terakhirnya itu memberi harapan pada Baskara.
"Ayo duduk. Pas banget lo datang makanannya udah jadi." Bintang menarik kursi untuk Baskara. Baskara duduk tanpa bicara. "Nah, duduk di sini."
Bintang menarik kursi di samping Baskara dan duduk di sana. Baskara memutar kursi untuk menghadap Bintang.
"Kenapa lo jadi pakai lo-gue?" tanya Baskara. "Jadi kedengaran asing karena sebelumnya lo nggak gitu."
"Itu artinya kita udah akrab...," balas Bintang setelah melihat ke lain arah.
"Oh, ya?" Baskara menggenggam tangan Bintang di bawah sana. "Apa pun cara ngomong lo, gue tetap suka."
"Eh?" Bintang mendorong pipi Baskara agar mengarah ke makanan. "Makan."
"Gue belum selesai ngomong," balas Baskara, kembali menghadapkan wajahnya pada Bintang. "Apa ada sesuatu yang pengin lo omongin ke gue? Asal jangan tentang lo yang pengin pergi."
Bintang menggigit bibirnya tanpa sadar dan menggoyangkan kakinya karena gelisah.
"Lo mungkin nggak akan percaya ini," kata Bintang pelan. "Tapi lo akan lupain gue suatu saat nanti—"
Bintang menghentikan ucapannya karena Baskara membekap mulutnya. Dia langsung menarik tangan Baskara untuk menjauh dari mulutnya.
"Gue belum selesai ngomong!" seru Bintang, membuat Baskara menghela napas dan berpaling. "Suatu saat, ah, mungkin bentar lagi kita bakalan ketemu dan lo bakalan berusaha deketin gue untuk ingat hal yang lo lupain. Lo udah berusaha untuk ingat itu. Walaupun akhirnya lo nggak bisa ingat secara detail dan selalu sakit kalau kita jauhan."
"Gue nggak ngerti apa yang lo omongin," balas Baskara cepat.
Bintang menunduk sedih. Dia tidak ingin menghabiskan waktunya untuk mengatakan hal-hal yang pada akhirnya tidak akan Baskara ingat juga. Dia ingin menghabiskan sisa waktunya itu bersama Baskara dengan kenangan yang baik.
"Lo nggak boleh pergi." Baskara meggenggam tangan Bintang dan menatapnya lekat-lekat. "Kalau lo pergi dari gue, gue bakalan cari lo sampai ketemu."
"Gue juga nggak mau pergi cepat." Bintang mendekat dan memeluk Baskara sekali lagi. "Setidaknya ... sehari aja."
Bintang kemudian tak bisa merasakan sentuhan Baskara dan tak bisa mengatakan apa pun karena terkejut melihat tangannya yang perlahan-lahan menjadi transparan.
Ternyata sekarang, ya? Bintang membatin dengan perasaan berkecamuk. Perasaan tak rela memenuhi ruang hatinya. Harapannya tak terwujud.
Baskara menjauh karena hampir terjatuh. Genggaman eratnya pada Bintang tiba-tiba tak terasa begitu saja. Baskara memejamkan mata karena rasa sakit pada matanya saat melihat warna aneh di depannya. Dia kembali membuka mata dan melihat kepergian Bintang yang semakin menghilang dari pandangannya.
Setelah itu, Baskara hanya melihat dinding dapur berwarna putih.
Baskara memegang pipinya. Dia pikir itu adalah keringat, tetapi ternyata air matanya sendiri.
Kenapa dia menangis? Apa yang dia lakukan sendirian di dapur? Baskara memegang kepalanya yang agak pusing. Disandarkannya sikunya ke atas meja, lalu matanya tak sengaja melihat dua piring berisi nasi goreng.
Dia tak ingat baru saja membuatnya. Apakah mamanya datang memasak untuknya? Kapan? Itu tak mungkin terjadi. Baskara tak ingat apa pun. Semua bayangan tak jelas yang berputar di ingatannya terasa seperti halusinasi, membuatnya berusaha tak peduli dan fokus pada apa yang terjadi sekarang.
Dia bangkit dari kursi dan membuang makanan dari kedua piring itu tanpa memakannya sedikit pun. Cowok itu membuka kulkas dan merasakan sebuah kekosongan di hatinya. Dia mengambil botol berisi air dingin, meminumnya sampai setengah, berharap rasa tak nyaman di hatinya itu segera menghilang oleh dinginnya es yang lewat di tenggorokan. Walaupun itu terdengar konyol.
Baskara kembali ke kamarnya dan ada pikiran yang terus mengganggu, tapi dia tak tahu apa itu.
Dia menemukan banyak barang perempuan dan hanya berpikir bahwa pemiliknya adalah mamanya. Sementara pakaian anak laki-laki itu adalah milik Baron. Baskara tak mau terlalu memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan mamanya dan segera berbaring di tempat tidur untuk menghilangkan rasa tidak nyaman di hatinya.
Apa saja dia lakukan selama ini? Dia seperti telah bermimpi panjang. Mimpi panjang yang tak jelas seperti apa.
***
Baskara memperhatikan seorang siswi yang sedang memakai sebuah gelang di pergelangan tangannya. Caranya melangkah membuat Baskara teringat akan seseorang yang dia juga tak tahu siapa. Hari-hari yang dilaluinya beberapa hari ini terasa kosong dan tak nyaman. Namun, setelah melihat siswi itu, ada sesuatu yang terasa berbeda.
Wajah itu terasa tak asing, tetapi Baskara tak bisa mengingat apa pun sampai membutanya frustrasi dalam waktu singkat.
"Lo." Ucapannya membuat siswi itu menatapnya dengan terkejut. "Apa kita pernah ketemu sebelumnya?"
***
thanks for reading!
love,
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Dan Bintang
Teen FictionSELESAI ✔️ Bintang, cewek yang pernah tinggal di jalanan selama bertahun-tahun, tiba-tiba terbangun di sebuah kamar yang asing. Satu hal yang membuatnya kaget. Dia terbangun di atas kasur yang sama dengan seorang cowok yang sedang tertidur lelap d...