PART 16
Di dalam ruangan yang hening, bersih, ada karpet bulu yang bisa dijadikan tempat tidur, jendela yang tertutup rapat juga tempat menembusnya cahaya, dan dua orang yang sedang berpelukan?
Tidak. Itu bukanlah pelukan, tetapi seorang siswa sedang menyandarkan dagunya di bahu seorang siswi sambil memejamkan mata dalam ketenangan dan kedua tangannya memegang pinggang siswi itu dengan pelan.
Sementara siswi dengan tas ransel yang masih bertengger di punggungnya itu berdiri tegang dan kaku seperti robot yang memiliki jantung yang ritme degupnya dua kali lipat dari normalnya irama jantung manusia.
Sebenarnya bagaimana semua ini terjadi? Bintang masih shock karena apa yang dialaminya pagi ini terlalu tiba-tiba.
Ketika Bintang tiba di depan sekolah, Baskara sedang berdiri di depan gerbang sekolah dengan tampang serius sampai siswa-siswi yang melewatinya saling berbisik, bertanya-tanya apa lagi yang akan Baskara lakukan kepada Bintang. Mereka juga penasaran dengan perban-perban di wajah Baskara.
Bukan sesuatu yang aneh jika siswa-siswi langsung menghubungkan semua yang terjadi dengan Bintang. Bintang hanya bisa menghela napas panjang ketika cowok itu langsung melambaikan tangannya dengan semangat ketika menyadari Bintang sudah tiba. Shareen sempat bertanya apakah cowok itu yang dimaksud Baskara dan Bintang hanya bisa mengangguk lemah.
Ini hari kedua setelah Bintang membuka diri dan bahkan belum 24 jam, tetapi mentalnya sudah sangat lelah mengahadapi Baskara.
Baru sedetik setelah Shareen melajukan mobilnya, Baskara bergerak secepat kilat menyambar tangan Bintang dan membawanya ke sebuah tempat yang mencurigakan. Bintang ingin mengumpat, tapi dia tak bisa berkata-kata. Dia mendorong dada Baskara dan saat melihat Baskara meringis kesakitan, Bintang langsung menarik tangannya.
"Bukannya lo di rumah sakit?" tanya Bintang tak habis pikir. Dia sudah susah payah membawa Baskara ke rumah sakit dan mengurus segala hal meskipun Baskara yang memberikan kartu atmnya dan memberitahukan pinnya—yang membuat Bintang sempat gemetaran karena dia tahu di dalam kartu itu terdapat jutaan uang. "Bukannya lo baru boleh pulang dua hari lagi?!"
Baskara kembali menaruh dagunya di atas pundak Bintang. "Dua hari lagi? Luka sekecil ini ngapain rawat inap? Lagian gue nggak bisa jauh-jauh dari lo."
Bintang menepuk dahinya, lalu kembali mendorong Baskara dengan hati-hati. "Apa maksud ini semua?" tanya Bintang, memandang ruangan mencurigakan. Karpet bulu berwarna pink, bantal-bantal yang kelihatan empuk, juga boneka beruang berwarna merah muda berukuran besar. Setinggi dirinya.
"Oh, tempat lo istirahat. Tempat pertemuan kita kalau istirahat berlangsung. Tempat makan kita juga. Tempat gue berobat." Perkataan Baskara membuat Bintang ingin meledak sekarang juga. "Kata Pak Catra ini ruangan kosong. Jadi, gue bersihin buat jadi ruangan kita. Gue udah izin, kok."
Bukan hanya tentang ruangan ini yang membuat Bintang stres, tetapi warna yang penuh merah muda itu membuatnya alergi. "Lo suka warna pink?"
Baskara melirik karpet, bantal, dan juga boneka yang sudah dia siapkan dari semalam. "Suka kalau lo suka. Lo pasti suka, kan?"
"Enggak!"
"Ah, udah gue duga. Nanti gue ganti jadi hitam. Udah gue siapin, kok, di mobil."
"Astaga." Bintang berjinjit untuk menarik kerah kemeja Baskara. "Nggak. Usah. Aneh. Aneh."
Baskara tersenyum senang. "Oh, gue nggak tahu kalau lo lebih suka duduk langsung di lantai. Gue juga suka, kok. Pokoknya apa pun yang lo suka pasti gue suka."
"...!"
***
Baskara duduk manis di atas karpet bulu merah muda yang pada akhirnya tidak dia gusur karena Bintang menghargai Baskara yang sudah mempersiapkan semua itu dengan susah payah sendirian.
Hanya saja, dengan tubuh kekar yang berdampingan dengan sesuatu yang selalu dikenal girly membuat Bintang nyaris tertawa. Bintang menutup mulutnya melihat Baskara duduk anteng di atas karpet itu sambil memeluk bantal bulu yang kelihatannya lembut. Mata sayu Baskara sejak tadi mendongak untuk memandangi Bintang yang berdiri dengan jarak yang cukup jauh darinya.
Bintang menyuruh Baskara duduk dan Baskara langsung duduk tanpa protes sama sekali. Bintang berdiri memegang kertas dan pulpen. Diangkatnya kedua benda itu sambil mengayunkannya pelan.
"Kita harus buat aturan-aturan supaya lo tahu batas. Kalau nggak gini, lo akan berlaku seenaknya." Bintang duduk di lantai dan langsung mengarahkan tangannya ke depan ketika Baskara bergerak ingin pindah tempat. "Lo di sana aja. Nggak boleh ke mana-mana. Oke?"
"Siap." Baskara kembali duduk dan jadi anak baik.
Bintang duduk bersila. Tas ranselnya dia jadikan sebagai alas untuk menulis. "Gue pihak A. Lo pihak B," katanya, lanjut berpikir dengan serius sementara Baskara hanya bisa memandangnya tanpa bisa menyentuhnya untuk berobat. Bintang memainkan pulpen di jarinya, memutarnya berkali-kali dengan refleks karena kebiasaan, sesekali dia menorehkan tinta pulpen itu di atas kertas putih bergaris.
Cukup lama Bintang berpikir. Ruangan itu hening. Sesekali pula Bintang melihat jam di ponselnya yang sebentar lagi menunjukkan waktu masuk pelajaran pertama. Bintang tak yakin aturan itu akan selesai, tetapi beberapa aturan sudah dia pikirkan matang-matang dan dia masih akan memikirkannya nanti.
Bintang mendekati Baskara dan duduk bersila di atas karpet merah muda itu di hadapan Baskara. Diangkatnya kertas yang sudah dia torehkan berbagai kalimat berupa aturan yang telah dia buat sendiri.
Baskara sebagai Pihak B menyetujui aturan-aturan yang telah dibuat bersama Bintang sebagai Pihak A, yaitu:
1. Pihak B harus meminta izin setiap kali ingin "berobat" kepada Pihak A. Apabila Pihak B melanggar (dalam hal ini "berobat" tanpa izin terlebih dahulu kepada pihak A), maka Pihak B akan dihukum dengan cara Pihak B tidak boleh bertemu dengan Pihak A dalam satu hari. Satu kali pelanggaran sama dengan satu hari hukuman.
2.
Poin kedua kosong. Bintang mengayunkan kertas itu sambil bicara. "Nanti gue tambahin lagi sebelum kita tanda tangani. Sebenarnya poin satu ini udah mencakup keseluruhan, sih, tapi siapa tahu gue nanti kepikiran sesuatu."
Tepat setelah Bintang menyelesaikan ucapannya, bel pertanda pelajaran pertama telah dimulai. Pandangan Bintang kembali pada Baskara setelah sebelumnya mengalihkan perhatian ke jendela di mana gelombang suara itu muncul.
"Istirahat nanti kita ketemu di sini. Gue bakalan mikirin aturan-aturan yang perlu ditambahin." Bintang menatap Baskara dengan curiga karena melihat senyum tanpa kata cowok itu. Bintang menyadari setiap kali Baskara tersenyum tanpa bicara, itu artinya dia sedang memikirkan sesuatu.
"Ya udah. Sampai ketemu nanti." Bintang meraih tas ranselnya di lantai dan memasukkan pulpen dan kertas kontrak mereka, lalu buru-buru keluar dari sana sebelum Baskara melakukan sesuatu hal aneh lain kepadanya.
Ketika Bintang berjalan di koridor dengan terburu-buru, dia bisa merasakan kehadiran Baskara di belakangnya tanpa melihat cowok itu langsung. Ketika dia berbalik, dia melihat Baskara sedang menaik-turunkan alisnya.
"Kenapa lo ngikutin gue, sih? Kelas lo kan di koridor lain?" tanya Bintang dengan tatapan heran sekaligus mencurigakan.
Baskara mengulurkan tangannya dan meraih tangan Bintang, menggenggamnya. "Kita sekelas."
***
thanks for reading!
love,
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Dan Bintang
Teen FictionSELESAI ✔️ Bintang, cewek yang pernah tinggal di jalanan selama bertahun-tahun, tiba-tiba terbangun di sebuah kamar yang asing. Satu hal yang membuatnya kaget. Dia terbangun di atas kasur yang sama dengan seorang cowok yang sedang tertidur lelap d...