Hargai tulisan ini dengan vote dan komen
🌸Terima kasih🌸
Dua bulan berlalu, Daffa tahu kebiasaan Kamila yang tidak suka dibalut selimut ketika tidur. Daffa sering mendapati Kamila tidur lebih dulu di ranjang mereka. Tidak ada aturan atau percakapan mereka agar saling menunggu untuk tidur di ranjang yang sama. Ketika Daffa masuk ke kamar, Kamila sudah molor duluan. Daffa selalu berpikir kalau gadis itu jatuh tertidur sehingga tidak mengenakan selimut.
Sekarang dia cukup mengenali Kamila. Gadis itu tidak kuat begadang, tidak tahan panas. Selimut teronggok begitu saja di kakinya ketika perempuan itu bangun. Sekalipun di luar tengah hujan deras AC di kamar tetap menyala atau ketika bersantai di ruang tengah kipas angin tetap berputar. Kebiasaan buruk itu membuat Daffa khawatir dan kesal. Dia pernah menegur Kamila, tidak dengan membentak, gadis itu langsung menurut. Ya, sejauh ini Kamila paling takut pada suaminya saat suara Daffa terdengar serius dan datar, tetapi penuh penekanan. Suara tegas Daffa yang menegurnya mengingatkan Kamila pada almarhum bapak saat hampir naik pitam.
"La, kipasnya! Kan sudah disuruh matikan. Di luar juga mau hujan." Daffa memandang tak suka ke arah kipas angin yang masih berputar itu.
"Lupa, soalnya tadi ini belum kering kak." Kamila memperlihatkan kertas yang terkena correction pen karena menghapus tulisannya yang keliru.
"Tinggal ditiup bentar pake mulut La, ngapain nyalain kipas. Nanti kamu masuk angin lagi." Tawa pelan Kamila lolos karena Daffa tahu dia hanya mencari alasan saja.
Perempuan itu kadang tidak memandang Daffa sebagai suami, lebih sering bertingkah seperti adik dari suaminya sendiri. Ya, terlihat kekanakan memang sebab selisih usia mereka yang lumayan berjarak. Menjadi bagian hidup Daffa mengisi kembali ruang hampa yang sudah lama kosong. Memberi rasa bahagia yang berbeda, sudah lama sekali Kamila tidak merasakan kasih sayang dari lelaki dewasa. Walau perhatian Daffa terkadang mencubit sudut hatinya karena berujung rindu pada bapak. Perlakuan manis Daffa terkadang menerbitkan raut sedih Kamila karena menahan rindu.
"Kenapa pintu kamar itu terbuka La?" Daffa bergerak mematikan kipas angin di samping tv dan mendapati pintu kamar tamu terbuka lebar.
"Mu-mulai malam ini aku tidur disitu kak, biar di kamar atas kakak leluasa pake kamar mandi. Sekarangkan kakak malah mandi di kamar sebelah." Perkataan Kamila terdengar tidak yakin, dia sendiri terus mengulang ucapan itu dalam benaknya. Kamila menutupi dirinya yang gugup dengan terus terpaku pada kegiatan menulis laporan perkuliahan.
Semenjak mereka sekamar, Daffa sudah lima atau empat kali mendapati istrinya itu hanya mengenakan sehelai handuk sebelum atau setelah mandi. Salah satu kejadian itu saat Kamila pikir Daffa sudah berangkat ke Kafe. Entah bagaimana dia yang masih memakai handuk sebatas dada dan pertengahan paha, duduk di pinggir ranjang sembari membalas pesan temannya. Daffa yang langsung masuk hendak mengambil sesuatu terpaku sesaat memandang Kamila.
Daffa bukan orang bertingkah berantakan, gerakannya yang tidak menimbulkan suara sering membuat Kamila terkejut. Kapan pintu kamar terbuka? Kamila tidak sekalipun sadar. Sampai Daffa berdeham dan Kamila mengangkat wajahnya. Semburat merah tak tertahankan sampai ke telinga. Berujung canggung dan beberapa hari Kamila menjadi malu-malu kucing, sungguh bukan seorang Kamila. Bukan cuma kejadian itu, Kamila pernah berdiam diri di kamar mandi selama kurang lebih lima menit. Memastikan eksistensi Daffa sudah lenyap di kamar, setelah dirasa suaminya pergi barulah dia keluar. Lagi-lagi Kamila hanya memakai handuk dan berdiri setengah terkejut karena melihat Daffa masih ada di dalam kamar.
Kamila merutuki dirinya yang sering kali lupa membawa pakaian masuk ke kamar mandi. Dari kejadian itulah Kamila tahu bahwa pembawaan Daffa yang tenang dan tanpa suara sering menjebaknya.
Daffa yang beberapa kali mendapati Kamila yang terbalut sehelai handuk, berhasil membangkitkan nalurinya sebagai pria normal. Padahal meraih surga dunia yang seutuhnya sebagai sepasang suami istri sudah di depan mata karena mereka terikat hubungan yang halal.
"Jauh banget sampai pindah ke kamar bawah." Nada tak suka Daffa membuat lidah Kamila kaku. Perempuan itu tidak menangkis perkataan Daffa."Kenapa pindah ke bawah? Kalau tamu datang, mama kamu atau keluarga aku. Kamu bakal capek angkat-angkat barangnya lagi La." Kali ini suara Daffa terdengar datar.
"Kenapa gak boleh Kak? Kan kita gak ada masalah? Pisah ranjang sampai berujung cerai itu yang gak boleh. Aku cuma mau tidur di kamar tamu biar kita sama-sama nyaman di rumah ini." Kamila memberanikan diri menatap Daffa tepat di matanya.
"Justru itu, kita gak ada masalah kenapa harus pisah ranjang? Bagaimana kalau orang tua aku tau atau mama kamu tau? Apa mereka gak berpikir macam-macam?"
"La, kalau aku punya hajat sehingga kamu harus tidur sendiri, tidurnya pisah sementara sama aku karena aku ada pekerjaan di luar kota itu baru boleh. Atau ketika suami meninggalkan istrinya tidur sendiri demi menegur istrinya itu juga boleh." Rasa jengkel yang dirasakan Daffa lolos lewat kalimat terakhir ucapan pria itu. Kalimat barusan masih terkesan halus, tetapi dia berhasil sedikit menyindir Kamila.
Untaian tuturan itu menunjukkan emosi yang kentara dan jarang terlihat dari diri Daffa. Sebagai pemimpin dalam rumah tangga Daffa gusar dan merasa egonya tersentil. Hampir tidak pernah lelaki itu menegur perbuatan Kamila, tetapi saat ini sang istri memang perlu diberi teguran.
"Kapan kita mau belajar beradaptasi sebagai suami istri jika pisah ranjang? Memang hubungan kita tidak didahului dengan pacaran, mau saling mengenal pun kita dulu bertetangga. Jadi gak perlu proses berbulan-bulan saling mengenal. Mungkin aku tetap terasa asing bagi kamu Kamila dan kamu belum mencintai aku. Tapi, kamu harus ingat dan belajar menerima aku sebagai suami kamu, imam kamu."
"Aku juga belajar berada di posisi ini, kita bisa belajar sama-sama, memulai hubungan ini sama-sama. Komitmen kita itu suci La, atas nama Allah. Semoga kita tidak saling memaksakan dan mau terbuka untuk belajar menerima satu sama lain." Telapak tangan Daffa meraih tangan kecil itu ke dalam genggamannya di atas pangkuan. Kamila sedikit terkejut dengan gerakan itu, pandangannya turun ke bawah. Melihat punggung tangan Daffa melingkupi tangannya yang lebih kecil."Aku percaya, perlahan waktu akan membawa cinta, kita akan terbiasa. Asal kita mau menerima dan belajar. " Kontak mata mereka terputus sejak genggaman Daffa memberi tekanan pada tangan Kamila. Dia bisa merasakan tangan perempuan di sebelahnya terasa begitu dingin. Namun, Daffa tidak dapat merasakan jantung Kamila yang berdetak lebih cepat.
Niat Daffa memberi kenyamanan dari genggamannya yang hangat malah membuat tangan Kamila semakin dingin karena gugup. Mereka jarang melajukan kontak fisik dan Kamila terasa asing dengan sentuhan dari lawan jenis.
"Nanti aku panggil istri pak Anwar untuk bantu kamu bawa barang-barang kamu ke kamar kita kembali. Selesaikan dulu tugasmu." Ucap Daffa sembari memberi tepukan pelan di punggung kecil istrinya dan berlalu pergi. Kamila tidak berkata apa-apa lagi.BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
DIDEKAP KALA ITU (TAMAT)
Chick-LitKamila tak pernah menyangka harus membagi waktunya sebagai seorang istri dari Daffa Alhusayn. Dirinya masih aktif menjadi mahasiswa, sedangkan pria yang berusia 31 tahun itu adalah pengusaha kafe. Awalnya kehidupan pernikahan mereka terasa normal-no...