PART 51: MEMINTA BERPISAH

3.6K 197 12
                                    

Hargai tulisan ini dengan vote dan komen

🌸Terima kasih🌸

Daffa menenteng tas spunbond merah muda yang berisi dua porsi bihun goreng itu ke dalam rumah. Lalu, usai mengucap salam dia melangkah ke dapur mengambil dua piring. Dia memindahkan bihun goreng itu ke piring. Hidung bangir Daffa menangkap aroma lezat yang menyebar usai membuka wadah bihun goreng. Senyumnya mengembang membayangkan Kamila pasti akan semangat menghabiskan bihun ini.

"La!" teriak Daffa dari dapur.

"Kamila." Sahut Daffa lagi sambil melangkah lebar ke kamar. Dia ingat hari ini seharusnya ibu dan Rasya sudah tiba setelah menginap dua hari di Balikpapan. Namun, rumah masih lengang tanpa suara Rasya atau pun ibu. Mungkin saja mereka akan tiba nanti malam.

"La, aku bawa bihun goreng." ujar Daffa, tangannya menangkap handel pintu dan mendorong ke dalam. Daffa menelengkan kepala ke kamar kecil saat tak menemukan eksistensi Kamila. Biasanya ibu hamil itu duduk santai di ranjang atau berbaring sembari memainkan ponsel.

"Kamila kamu di dalam? lagi pipis?" Daffa mengetuk kamar kecil.

"La! Kamila." Tak ada jawaban dari dalam dan dia tak sadar pintu toilet ternyata tak terkunci.

Loh, dia ke mana?

Daffa menghubungi Kamila, tetap saja tidak dapat tersambung. Seketika dadanya seolah terhimpit, napas Daffa menjadi berat karena dihantui prasangka buruk dalam kepala.

Bahkan pesannya masih centang satu sejak siang tadi. Daffa berjalan tergesa keluar kamar mendatangi rumah pak Anwar. Terlihat Risa memungut pakaian yang telah kering dan pak Anwar duduk bersantai di teras. Pak Anwar mendongak mendengar langkah kaki Daffa yang cepat. Raut pria itu tampak kaku.

"Bapak, lihat Kamila keluar?"

"Mba Kamila? dari siang saya perhatikan mba Kamila tidak pernah keluar." Tukas pak Anwar yang berdiri. Dahi Daffa langsung mengerut dalam.

"Siang tadi juga saya bawain pisang goreng tapi pintu belakang sama pintu depan terkunci. Saya teriak gak ada yang buka pintu. Saya pikir dia ikut pak Daffa ke kafe." Sambung tante Risa yang menghambur pakaian kering itu ke kursi kayu.

"Jadi seharian ini pak Anwar dan ibu belum pernah lihat Kamila?" Dua orang di hadapan Daffa itu mengangguk bersamaan. Daffa memejamkan matanya.

"Mungkin tadi tidur siang pas saya datang?" Daffa tak menjawab.

"Pergi jajan seblak atau ke minimarket depan kali pak?"

"Iya, saya cari dulu. Terima kasih pak Anwar, bu Risa." Daffa berlari kembali ke rumah.

Daffa menatap gusar ponselnya yang tidak juga berdering, menunggu panggilan Kamila. Dia berdecak kesal saat sadar tak memiliki satu pun nomor ponsel teman Kamila yang dapat dia hubungi. Dengan kasar dia meraih kunci motor dari atas rak sepatu. Pergerakan pria itu yang terburu-buru membuatnya tak sengaja menabrak gerbang.

"Shit!" Rutuk Daffa emosi. Daffa melesat pergi dengan perasaan tak tenang.

Dia masuk minimarket, mengambaikan sapaan pramuniaga yang tersenyum lebar. Daffa mengedarkan pandangan, mengamati sekitar. Lalu, bergerak pergi karena tak menemukan sosok yang ia cari.

Dia menghentikan motor di depan kedai yang menjual seblak. Namun, tak seorang pun yang mengantri di sana dia kenal. Dua puluh menit berlalu dia mengelilingi sekitaran wisma, tak juga dia menemukan Kamila.

Kamila minggat? kenapa? dan ke mana? ini juga rumahnya. Apa Kamila kembali ke Bontang tidak memberitahunya? Astaga! perempuan itu tengah mengandung, apa bisa bertahan di dalam bus selama tiga jam? Jalanan menuju Bontang dari Samarinda tidak semulus itu. Daffa semakin panik membayangkan dia tidak berada di sisi Kamila yang melakukan perjalanan jauh.

DIDEKAP KALA ITU (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang