PART 27: ENGGAN BERSAMAMU

4.1K 162 1
                                    

Hargai tulisan ini dengan vote dan komen

🌸Terima kasih🌸


"Eh serius tadi suaminya?" Mata Sherlia terbelalak mendengar lisan Dina yang mengatakan jika yang menelepon Kamila tadi adalah suami perempuan itu.

"Mungkin..." Jawab Arif tak peduli. Tidak terlalu tertarik dengan pembahasan mereka di tengahpermainan kartu Uno.

"Loh? Kamu gak tahu Sher? Waktu nikahkan dia sebar undangan digrup angkatan. Dua atau tiga bulan lalu seingatku." Lanjut Dina, Sherlia terperangah. Tak menduga teman mereka sudah menikah.

"Mungkin aja yg nelpon tadi lakinya, kayaknya bakal disidang sih dia. Apalagi... kita di sini. Jangan-jangan suami dia salah paham kan?"

"Anjir! Aku jarang merhatiin chat-chat grup, Serius aku gak tau woy! dia juga gak pernah masang story IG atau status WA jalan bareng cowok, apalagi ini suaminya. Jadi aku gak duga sih dia udah nikah. Tapi... masa suaminya?"

"Hadehh... ngapain dia sekaget itu kalau yang nelpon bukan suaminya Sher? Gilak juga sih kamu main angkat telpon dia." Sherlia menggigit bibirnya, merasa bersalah.

"Udah, besok minta maaf aja ke Kamila." Sherlia menganggukkan kepala.

Sherlia merutuki keusilannya yang spontan tadi dan perasaannya masih agak terkejut mengetahui Kamila telah memiliki suami. Sherlia melihat Kamila sama seperti teman-temannya yang lain, masih berjiwa muda yang bebas. Tanpa ikatan status yang membatasi, perempuan itu juga tak menunjukkan gelagat sebagai wanita bersuami. Kamila tergolong masih bisa bebas berteman dengan teman-temannya, Sherlia sering mendapati Kamila ikut bergabung kelana. Meski Kamila tidak bermain seberani teman-temannya yang bebas, tetapi nakal.

Perempuan itu tak seperti wanita yang terikat pernikahan. Ikut ke kafe di waktu jam kelas kosong, jam kelas usai pun Kamila tidak langsung pulang malah beberapa kali kelana sampai uang disaku terkuras. Juga seru-seruan di kos-kosan teman, sungguh Sherlia tak melihat Kamila sebagai wanita bersuami.

***

Daffa menatap sendu seprai yang tengah ia rendam di baskom besar. Jejak percintaan itu jelas sekali, hingga menodai seprai. Runtuh sudah rasa ragu akan 'keutuhan' sang istri. Dia juga merasa bersalah karena sempat menganggap Kamila munafik dan pernah berhubungan di luar ikatan yang sah. Rupanya tubuh itu belum pernah terjamah oleh siapa pun, dialah yang pertama.

Daffa meringis mengingat malam itu tak seindah cerita orang-orang karena dia harus melihat raut Kamila yang tak terima dan menahan sakit. Juga penolakan Kamila yang hendak melepaskan diri. Dia tak bisa berhenti semalam dan dia tak bisa melepaskan Kamila. Jika itu terjadi, dia harus menyiksa diri lagi karena menahan yang sudah seharusnya disalurkan.

Daffa mendiamkan seprai itu di kamar mandi selepas salat subuh berjamaah dengan Kamila. Perempuan enggan berdekatan dengannya, dia tahu pasti karena kejadian semalam. Daffa berjalan keluar kamar tak menemukan Kamila, perempuan itu bergegas turun ke bawah setelah salat. Tanpa mengatakan apa pun.

Sajadah, sarung, peci, dan kitab suci sudah diletakkan pada tempat semula dengan rapi sebelum perempuan itu pergi. Kamila juga mengganti seprai mereka dengan seprai baru dari lemari, seprai hadiah pernikahan mereka. Seprai itu kembali dirapikan Daffa karena masih belum sepenuhnya rapi. Ya Kamila memasangnya agak terburu-buru.

Di luar masih hujan, suasana yang dingin semakin terasa beku tanpa ada pembicaraan di antara kedua insan itu. Malam itu seolah tak pernah ada, kejadian itu seolah tak pernah terjadi. Namun, terekam jelas dalam pikiran Kamila.

Kamila menyeka sudut matanya yang lagi-lagi berair. Tangannya gemetar meremas sendok, bahkan dia tak kuat mencerna nasi dan sosis yang sudah dia goreng. Sekuat tenaga ia telan padahal ingin sekali memuntahkannya karena rasa sakit mengingat kejadian semalam.

Dia tak tahan lagi, dia benci kejadian semalam. Dia juga merasa takut, isi perutnya terasa bergerak ingin keluar. Kamila mencengkeram perutnya merasa mual.

Kilas balik yang tak pernah dia inginkan menjajah pikirannya, membuat kepalanya sakit. Kamila langsung berdiri menuju kamar kecil di dekat dapur memuntahkan makanan yang baru saja dia telan. Daffa yang baru saja turun sontak ikut berlari saat melihat Kamila menutup mulut dengan telapak tangan, hendak muntah di kamar kecil.

Kamila duduk lemah di depan kloset dengan wajah yang pucat. Daffa datang mengurut pelan tengkuknya dari belakang dan sebelah tangannya meraih beberapa helai surai Kamila agar tak kena muntahan.

Kamila menyadari Daffa sentuhan di lehernya langsung menegang.

"A-aku bisa sendiri." Ujarnya pelan, tetapi Daffa tidak peduli. Dia tetap bertahan di sisi perempuan itu. Daffa bahkan membantu Kamila membilas dan mengusap mulutnya dengan tisu. Lalu, memapah Kamila keluar.

"Gak enak ya badannya?" Tanya Daffa lembut sembari membantu perempuan itu minum. Kamila tak menjawab.

"Kalau gitu hari ini jangan dulu masuk kampus La." Kamila membenci ucapan lembut Daffa yang seakan melupakan peristiwa semalam. Daffa memberikan usapan lembut di punggung tangan Kamila, lalu menghela napas pelan dan berujar pelan.

"Apa... apa ada yang sakit?" Dia merujuk kejadian semalam. Pengalaman pertama Kamila pasti sakit meski sedikit. Logika Kamila semalam jelas menolak, tetapi tubuhnya bergerak menerima dan membuatnya terluka. Tidak seharusnya Daffa memaksa meski tak bersikap kasar. Namun, pertahanan dan kesabaran Daffa mendadak setipis kertas. Lagi pula itu adalah hak Daffa.

"Aku ada kuis, aku harus hadir." Daffa tersenyum sendu mengusap pipi Kamila. Daffa mengangguk paham.

Selepas membuatkan Kamila bubur dan memastikan perempuan itu bertenaga untuk menghadiri kuis, Daffa pun mengantar Kamila.

Kamila tahu tidak ada lagi kendaraan pribadi untuknya. Katakan selamat tinggal pada motor itu, Daffa tak akan melepaskannya kali ini. Meski tanpa ada ucapan peringatan, tetapi pagi ini dia mulai diantar dan pastinya akan dijemput saat pulang.

Dia kembali dibatasi. Ini menyebalkan, sangat menyebalkan.

Sejujurnya dia tak memiliki kuis hari ini, tetapi dia harus menghindari Daffa. Enggan berdekatan. Jika bisa, dia ingin tak serumah dulu dengan sang suami. Dia belum siap berdekatan dengan Daffa setelah kejadian semalam. Dia takut mengingat tubuhnya dikuasai dalam keadaan lemah. Hendak melawan, tetapi dia tidak terlalu bertenaga.

Daffa menepikan mobilnya. Kamila segera bergerak keluar, tetapi lengannya ditarik pelan oleh Daffa. Wajah Kamila yang tanpa ekspresi itu tak menunjukkan kemarahan, kesedihan, atau suasana hati apapun.

Daffa memajukan wajahnya dan menangkup wajah Kamila. Dia kecup sudut bibir perempuan itu, lalu pipinya yang pucat.

"Salamnya mana?"

Kamila menarik tangan Daffa agar berhenti menyentuh wajahnya dan kembali meraih punggung tangan itu untuk dia kecup lalu berujar lirih.

"Assalamualaikum."

Kamila melintasi koridor dengan langkah cepat. Suasana kampus masih sepi pagi ini dan kelas juga masih hening. Tanpa ada yang menaruh perhatian padanya Kamila diam-diam mengurai air mata di balik buku sembari meremas tisu. 

***

Bersambung



DIDEKAP KALA ITU (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang