Hargai tulisan ini dengan vote dan komen
🌸Terima kasih🌸
Daffa sudah lupa waktu terakhir kali duduk di sofa beludru coklat ini. Di ruangan yang jauh dari suara bising, terasa tenang. Namun, otaknya harus tetap berpikir karena mesti menjawab pertanyaan dan mendengarkan seorang perempuan yang duduk tak jauh darinya.
Dia duduk bersandar dengan napas yang berembus teratur. Badan Daffa menghadap pada jendela yang sedikit terbuka, membuat gorden putih itu melambai pelan terkena angin.
Ya, ini adalah kali ketiga dia di sini. Dia mulai kembali sejak minggu lalu, tanpa Kamila tahu.
"Kamu jangan gegabah menyimpulkan jika mimpi buruk yang sempat tidak muncul itu adalah tanda dirimu sudah baik-baik saja Daffa." Ucap dokter Kartika.
"Seperti yang kamu bilang, mimpi buruk itu sempat hilang? Memang itu pertanda baik. Tapi kamu tetap tidak boleh menyimpulkan sendiri seperti itu." Tidak ada nada kesal tiap kata yang diujarkan oleh dokter Kartika. Semua dia ucapkan dengan nada yang amat tenang.
Dia paham menghadapi pasiennya sebab tidak hanya Daffa yang seperti ini yang menghentikan pengobatan di tengah jalan, lalu kembali melanjutkan.
Sore itu tanpa pamit dan hanya sekadar ciuman pada bibir sang istri, Daffa pergi seorang diri untuk melanjutkan pengobatan yang sempat terhenti lama bahkan sebelum dia menikah.
Dia belum mampu mengujar dengan gamblang tentang sakit yang dia derita pada Kamila. Perempuan itu tidak perlu tahu kondisinya sebab yang terpenting fisik Daffa tampak baik-baik saja.
Daffa tak berniat melibatkan Kamila dalam proses pengobatannya. Belum lagi kemungkinan yang muncul jika Kamila tahu dan membuat sang istri tak berkenan memiliki suami yang rupanya punya penyakit mental.
Jauh di dasar hati pria 31 tahun itu, dia merasa berat, malu dan segan apabila Kamila mengetahui penyakitnya. Siapa yang mau bersuami dengan pria gangguan mental? Memiliki trauma? Ibarat menikahi orang stress. Dia tak ingin Kamila pergi karena tahu hal itu.
"Tapi mimpi itu sempat tidak mengganggu saya dok, mungkin karena saya merasa tenang dan bahagia dengan kehadiran Kamila. Saya seperti kembali melihat Keisya di wajah istri saya." Mata Daffa mengerjap pelan, sekilas roman wanita yang pernah singgah di hatinya kembali bertandang dalam pikiran.
"Daffa, perempuan yang kamu nikahi sekarang bukan Keisya. Ingat, perempuan itu sudah meninggal tiga tahun lalu. Terikat dalam masa lalu hanya akan meninggalkan luka yang tidak berkesudahan untuk kamu. Perempuan itu sudah lama tiada. Belajarlah untuk ikhlas, karena lihatlah Tuhan sudah memberikanmu wanita yang lebih baik."
"Saya tau dok, Keisya sudah lama pergi dan itu semua karena kesalahan saya. Saya yang salah karena tidak menjaga dia. Saya yang lalai." Dokter Kartika menatap perihatin pada wajah Daffa.
"Daffa, kematian manusia bahkan hewan sekalipun semua sudah diatur oleh Tuhan. Dia pergi bukan karena kesalahanmu berhenti menyalahkan dirimu pada hal yang sebenarnya di luar batas kemampuanmu. Kamu dan saya hanyalah manusia biasa."
"Daffa sekarang adalah hidupmu yang baru, bersama perempuan yang akan menemani kamu. Tentu kamu akan tenang tanpa ada bayangan Keisya, jadi lupakan wanita itu. Mengingat wanita itu, hanya membuat dirimu semakin bersalah bukan?"
"Mama mertua saya benar dok, saya waktu itu dengan tangan terbuka berjanji menjaga Keisya sampai akhirnya Keisya pergi dengan cara yang-- ti... tidak bisa saya dan keluarganya terima. Saya yang sudah berjanji menjaga dia, maka semua orang berhak menyalahkan saya." Dokter Kartika menggelengkan kepalanya, cukup sudah pria itu bertahun-tahun terkungkung rasa bersalah pada sesuatu yang terjadi di luar batas kemampuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIDEKAP KALA ITU (TAMAT)
ChickLitKamila tak pernah menyangka harus membagi waktunya sebagai seorang istri dari Daffa Alhusayn. Dirinya masih aktif menjadi mahasiswa, sedangkan pria yang berusia 31 tahun itu adalah pengusaha kafe. Awalnya kehidupan pernikahan mereka terasa normal-no...