33 [Sebuah Kenyataan]

92 26 2
                                    

1 sampai 10, seberapa antusias nunggu Dear You update??

Happy Reading

Wanita berusia kepala empat itu mengerjapkan mata beberapa kali ketika merasakan sebuah pergerakan. Ia menegakkan tubuhnya. Seketika ia terpaku dan secara perlahan menyunggingkan senyumnya. Matanya beralih ke wajah pucat sang putri.

"Nei, jari kamu bergerak, nak," antusias Puput seraya menggenggam tangan kanan Nei.

Jari telunjuk dan tengah perempuan itu masih bergerak. Tak lama kemudian, kelopak matanya secara perlahan-lahan terangkat hingga memperlihatkan bola mata indahnya. Terdengar sebuah lenguhan kecil keluar dari mulutnya.

Tentu hal itu membuat Puput senang tidak karuan. Ia menggenggam erat tangan sang putri dengan tangan lainnya mengelus puncak kepalanya. "Alhamdulillah. Setelah sekian lama akhirnya kamu bangun juga, Nei."

Mata wanita paruh baya itu berkaca-kaca. Terharu akan apa yang ia lihat saat ini. Ia merindukan putrinya. Sangat.

Nei mencoba menyesuaikan cahaya ruangan. Keningnya mengerut ketika merasakan kepalanya yang terasa sedikit pusing. Bola matanya dilirikkan ke arah sang Ibu yang kini tersenyum bahagia menatapnya.

"Engh ... Ibu ...," lirih Nei namun masih bisa ditangkap dengan jelas di telinga Puput.

"Iya, nak. Ibu di sini. Nei mau apa?" tawar Puput tanpa melunturkan senyumnya. Tangan kanannya melepas sementara genggamannya untuk menyeka air mata yang lolos menetes di pipinya.

"Haus .... Tenggorokan Nei kering banget, Bu," ringis Nei.

"Bentar, Ibu ambilin." Dengan gerakan cepat Puput menuangkan air putih ke sebuah gelas yang berada di atas nakas tepat di samping brankar Nei.

Tanpa berlama-lama, Puput membantu Nei untuk meminum air putih itu dengan mengangkat tengkuknya. Setelah dirasa cukup, wanita itu kembali menidurkan kepala Nei dan meletakkan gelasnya ke atas nakas.

"Kenapa kepala Nei sakit banget, Bu? Shh ...," rintih Nei seraya memegangi kepalanya.

"Itu pasti cuma sementara, Nei. Nggak lama lagi hilang sakitnya," jawab Puput mencoba meyakinkan.

Benar yang dikatakan Puput. Tak lama kemudian kerutan di dahi Nei menghilang pertanda rasa sakit di kepalanya mulai tidak terasa. Setelah dirasa lumayan, Nei menghembuskan napas berat lalu menoleh ke arah sang Ibu yang masih setia menggenggam tangannya.

"Nei udah berapa lama tidurnya, Bu?" tanyanya.

"Hampir dua minggu."

Nei sedikit melebarkan matanya. "Du–dua minggu?" Puput mengangguk.

"Kok lama banget?"

"Kamu koma sejak kejadian tabrak lari yang kamu alami, Nei."

Nei memejamkan mata. Mencoba mengingat-ingat kejadian yang dikatakan Ibunya. Dan, yah! Terakhir ia hendak menunggu angkot untuk pulang. Ketika menyebrang, sebuah mobil melaju kencang tepat ke arahnya. Sebelum kesadaran dirinya menghilang, wajah Refa–lah yang ia lihat. Dan ... perempuan itulah yang menolongnya.

"Aghh ...." Nei kembali merintih seraya memegangi kepala. Rasa sakit itu tiba-tiba saja terasa ketika ia mencoba mengingat-ingat kembali kejadian dua minggu yang lalu hingga menyebabkannya seperti ini.

"Udah, Nei. Kamu lupain aja kejadian itu. Yang harus kamu pikirkan sekarang itu kondisi kamu sendiri biar cepat pulih," cetus Ibu Nei begitu melihat gelagat sang putri.

Nei kembali menghela napas. Ia diam beberapa saat. Melamun menatap balkon putih tepat di atasnya. Aroma obat-obatan pun sedari tadi tak luput dari indra penciumannya membuat ia sesekali berdecak. Karena memang aroma inilah yang tidak ia sukai sejak dulu.

Dear You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang