21 [Terlalu Baik]

101 28 1
                                    

Sempatkan vote dan komen, yuk (◠‿◕)

Happy Reading

Suara pintu terbuka terdengar di ruangan beraroma obat-obatan itu. Puput baru saja kembali setelah menunaikan shalat ashar di mushala rumah sakit sekalian membeli makanan untuknya. Sesampainya di dekat kasur sang putri, ia duduk di kursi kecil yang telah disediakan di sampingnya. Ketika meletakkan kantong plastik berisi makanan yang ia bawa di atas nakas, matanya menangkap sebuah loyang silver dengan beberapa makanan, buah dan minuman di atasnya. Wanita itu langsung berpikir mungkin tadi saat ia meninggalkan ruangan, suster menghantarkan makanan untuk Nei.

Netra Ibu Nei beralih ke wajah sang putri yang tertidur tenang dengan hembusan napas teratur. Perlahan-lahan mata perempuan itu bergerak terbuka bersamaan dengan lenguhan kecil yang keluar dari mulutnya. Puput yang melihat itu tersenyum lega.

"Nei, sayang ...," panggil Puput seraya mengelus puncak kepala Nei.

Nei menoleh ke arah sang Ibu dan menatapnya bingung. "Ibu .... Kok Nei udah di rumah sakit? Siapa yang udah selamatin Nei? Bu–bukannya Nei tadi di gudang sekolah?"

Ibu Nei tersenyum kecil. "Ceritanya panjang, Nei. Kamu nggak perlu tau, yang penting kamu udah selamat. Walau ... harus dirawat inap di rumah sakit."

Nei melirik infus yang tertancap di punggung tangan kirinya lalu menghela napas karena teringat kembali kejadian yang membuatnya seperti ini. Tanpa ia sadari, matanya mulai berkaca-kaca mengingat ketika dengan tanpa rasa berdosanya Viera dan teman-temannya melakukan hal kejam padanya. Puput yang melihat raut wajah Nei saat itu pun ikut sedih. Anaknya pasti trauma akan kejadian yang menimpanya kemarin.

"Nei, jangan nangis. Makan dulu, yuk, perut kamu pasti kosong dari kemarin belum diisi," pinta Ibu Nei seraya meraih piring berisi nasi dan beberapa lauk yang berada di atas loyang.

Nei mengusap matanya. Mencoba melupakan apa yang menghantui pikirannya saat ini. Dalam hatinya ia berdoa semoga kejadian waktu itu adalah yang terakhir kali untuknya. Berharap Viera dan teman-temannya sudah sadar dan berhenti membully dirinya lagi. Walau Nei kurang yakin dengan itu.

Lagi-lagi sebuah helaan napas kecil keluar dari mulut Nei. Ia kembali menatap sang Ibu sambil mengangguk. "Iya, Bu. Tapi, Nei haus."

"Ya udah, minum dulu. Ini," ucap Puput sambil memberikan secangkir teh yang dihidangkan oleh rumah sakit.

"Air mineral aja, Bu. Takut nanti malah perut Nei nggak kuat kalo minum teh," kata Nei.

"Oh, iya. Tadi Ibu beli kayanya, bentar." Puput membuka laci nakas dan mengambil sebotol air mineral. Ia pun memberikannya kepada Nei setelah sebelumnya ia bantu duduk.

"Nei makan sendiri aja, Bu. Nei bisa kok," ucap Nei setelah meletakkan botol minumnya ke nakas. Ia lalu meraih piring yang berada di tangan Ibunya.

"Kamu tiduran aja, Nei, Ibu suapin," elak Puput.

"Enggak ah, nanti diejekin Ayah dari jauh. Nanti dia bilang gini, udah besar kok disuapin, bukan anak Ayah itu. Nah, Nei nggak mau digituin walau sekarang Ayah nggak ada. Nei sakit tapi Nei masih kuat, masa anaknya Ibu Puput sama Ayah Yusuf lemah nggak bisa makan sendiri, sih," ujar Nei seraya terkekeh ketika mengingat perlakuan Ayahnya dulu. Puput yang mendengar itu dari mulut putrinya pun tertawa kecil.

"Iya deh iya, Ibu percaya. Ayah di sana pasti bangga sekarang punya anak yang kuat kaya kamu. Sama kaya prinsip yang Ayah bilang, ngeluh boleh, nyerah jangan. Istirahat boleh—"

"Berhenti jangan," cetus Nei melanjutkan perkataan Ibunya.

"Bagus, masih inget. Sekarang makan, lupain semua masalah yang udah berlalu, Nei. Yang harus dicari itu senyuman, bukan tangisan. Ibu mau Nei seterusnya tersenyum, sekalipun menangis, itu karena tangis bahagia bukan yang lainnya."

Dear You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang