37 [Tiket]

80 18 2
                                    

(☝Hanya editan ygy)

Vote dan Komennya jangan ketinggalan <3

Happy Reading

Seminggu telah berlalu begitu saja. Kini kondisi Nei pun kian membaik dan dokter telah mengijinkan perempuan itu untuk pulang dengan nasihat untuk tetap menjaga keadaan tubuhnya terutama di bagian kepala. Karena memang organ tubuh itulah yang memiliki luka bisa dikatakan cukup serius.

Perawat telah melepas selang infus di punggung tangan Nei. Saat ini perempuan itu hanya diam di atas kursi roda seraya menatap Ibunya yang membereskan nakas dan memasukkan pakaian ke dalam tas besar. Bersiap untuk kembali ke rumah.

Tanpa sadar, pelupuk Nei sudah digenangi cairan bening. Dadanya sesak meratapi nasibnya saat ini. Dulu ia bisa bergerak tanpa batas, sementara sekarang? Kondisinya sangat berbanding terbalik. Hanya berjalan pun ia tak mampu.

"Nei, kok nangis? Kenapa? Ada apa, nak?" tegur Puput. Ia membungkuk — mensejajarkan tubuhnya dengan Nei — dan mengusap pipi basah putrinya.

Nei tersenyum miris. "Maafin Nei ya, Bu," lirihnya.

"Kok tiba-tiba minta maaf? Kamu nggak salah apa-apa, Nei."

Nei kembali menunduk dengan air mata yang menetes. "Nei salah, Bu. Nei salah banget. Sekarang Nei cuma bisa ngerepotin Ibu. Nambah-nambahin beban Ibu. Aku pengen bantu Ibu, ta–tapi ... aku nggak bisa, hiks."

"Hei, cantiknya Ibu nggak boleh ngomong gitu." Puput meraih dagu Nei dan mendongakkan wajahnya.

"Kamu harus bersyukur sama apa yang kamu miliki, Nei. Ini sudah takdir dari yang Kuasa. Lagi pula, Ibu nggak ngerasa direpotin, tuh. Ibu justru seneng karena Allah masih ngasih kamu kesempatan lebih lama bareng Ibu. Jadi ... kamu jangan pernah lagi nyalahin kondisi kamu saat ini. Paham, sayang?" tutur Puput. Matanya ikut berkaca-kaca.

Nei tersenyum tipis dan mengangguk. Ia memajukan tubuhnya, memeluk sang Ibu. "Paham, Bu. Nei paham banget. Makasih, makasih banyak, Bu. Nei sayang sama Ibu, hiks."

"Ibu juga sayang ... banget sama Nei." Puput membalas pelukan putrinya dan mengelus kepala perempuan itu.

Setelah pelukan itu terlepas, Puput kembali mengusap pipi Nei. "Sekarang kita pulang, ya?"

"Beres-beresnya udah selesai?" tanya Nei yang diangguki Puput.

"Kita pesen taksi, ya."

"Ta–tapi, Bu. Taksi kan mahal," cicit Nei.

"Alhamdulillah uang tabungan Ibu masih ada sisa. Insyaallah itu cukup, kok."

"Ibu ambil tabungan?"

Ibu Nei mengangguk. "Iya."

"Loh! Ih, Ibu, kon malah ambil tabungan Ibu sih. Kenapa nggak tabungan Nei aja. Tabungan Nei juga banyak, kok. Lag—"

"Suuutttt!" Puput menempelkan jari telunjuknya ke mulut Nei. "Yang terpenting, kamu udah sembuh."

"Tapi kan, Bu. Uang itu buat ...." Ucapan Nei kembali dipotong sang Ibu.

"Udah, ah! Ayok kita pulang! Kamu pasti kangen suasana rumah, 'kan?" Nei hanya mengangguk lesu sebagai balasan.

⭐⭐⭐

Dear You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang