Chapter 21 : Ajeng.

36 8 0
                                    

_Gak semuanya yang kuat akan terlihat kuat dan gak selamanya yang di tahan, akan tahan oleh drama dunia."
_AjengLullaby.

|| A+ ||

Debu jalanan yang menerpa-nerpa, kota Jakarta yang tak pernah surut akan ramainya lalu lalang kendaraan. Terlihat di ujung zebra cross seorang wanita paruh baya ingin menyebrang jalan, tapi terlihat ragu karena ramainya jalanan.

Seorang gadis berhijab yang menggunakan seragam SMA sedang duduk di halte sembari menunggu angkutan umum tiba. Matanya menelisik ke segala arah, ia melihat wanita paruh baya ingin menyebrang jalan, hatinya terusik ingin membantu.

Kemudian ia bangkit dari duduknya, kakinya melangkah mendekati wanita yang mulai terlihat kepanasan itu.

"Assalamualaikum, bu. Ibu mau nyebrang ya?" tanyanya sopan.

Wanita itu menoleh menatap gadis SMA tersebut. "Waalaikumsalam. Oh iya, Nak. Ini lagi nunggu sepi dulu," jawab ibu itu tersenyum.

"Mari saya bantu, Bu," tawarnya.

"Terima kasih, Nak," jawab ibu itu segan.

Gadis itu tersenyum, lalu mulai menuntun ibu itu ke seberang jalan dengan hati-hati.

"Nama kamu siapa, Nak?" tanya ibu itu.

"Nama saya Ajeng, Bu," jawab

"Sekali lagi terima kasih ya, Nak Ajeng," ucap ibu itu.

"Ini buat kamu," lanjutnya sembari mengeluarkan uang lima puluh ribu dari dompetnya.

Ia yang melihat hal itu, langsung menghentikan tangan sang ibu untuk tidak menyodorkan uang padanya. "Sama-sama. Tidak usah, Bu. Saya ikhlas, lagian saya cuma bantu sedikit aja kok," tolaknya halus.

"Beneran Nak Ajeng?" tanya ibu itu lagi.

"Iya, Bu. Ya sudah saya ke halte lagi ya. Takut ketinggalan bis, ibu hati-hati ya," ucapnya mewanti-wanti.

"Iya, Nak Ajeng. Sekali lagi terima kasih," ucap ibu itu.

Gadis itu menjawabnya dengan senyuman dan mulai melangkah lagi menyebrang jalan kembali ke halte.

"Nenek? Astaga, kok Nenek ada di sini? Abis dari mana, Nek?" tanya seorang siswa berseragam SMA yang sama dengan Ajeng tadi.

"Lho? Dylan? Tadi Nenek abis dari pasar. Untungnya tadi ada nak Ajeng yang bantu nyebrangin Nenek," ujar nenek itu.

Dylan mengernyit kala mendengar nama Ajeng. Ajeng? Ajeng mana? Apakah Ajeng yang sama?

"Seragamnya sama kayak Dylan gak Nek?" tanyanya penasaran.

"Iya, tadi Nenek lihat logo di lengannya sih sama kayak sekolah kamu."

"Ya udah, masuk Nek. Aku antar pulang," ujar Dylan. Kemudian nenek itu masuk ke dalam mobil cucunya.

Ajeng kembali duduk di kursi besi halte. Angkutan umum sudah datang, namun saat tangannya ingin memberhentikan angkutan umum, seseorang menarik tangannya.

"Gak jadi, Pak," ujarnya, kemudian membawa Ajeng ke dalam mobil miliknya.

"Kamu apaan sih. Tangan aku sakit," ujar Ajeng meringis merasakan perih di tangannya. Pria itu menarik tangannya erat hingga menimbulkan bekas di pergelangannya.

"Gak usah alay! Hari ini kita pulang ke rumah Mamih."

"Inget! Kita harus pura-pura romantis!" ujar pria itu mengancam menatap tajam Ajeng.

Ajeng menghela nafas, kemudian mengangguk pasrah. Tak ada jalan lain selain menuruti perintah pria brengsek tersebut.

Tanpa diminta, cairan bening keluar begitu saja, membasahi pipi mulusnya. Tak ingin diketahui oleh pria di sampingnya, Ajeng memilih melihat jalanan lewat jendela pintu sambil menghapus air mata.

Kapan semuanya akan berakhirnya. Terkadang Ajeng selalu berfikir untuk mengakhiri hidupnya. Tapi ia tidak ingin menambah dosa karena bunuh diri. Ia tahu, bukan hanya dirinya saja yang mempunyai masalah, bahkan lebih parah darinya. Untuk itu, Ajeng hanya bisa bersabar. Sabar adalah jalan terbaik untuknya. Ia tahu, Allah memberikan dirinya cobaan agar bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Allah tidak ada memberikan cobaan yang berat untuknya.

Kata orang, hidup sebagai Ajeng pasti menyenangkan, bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Tapi baginya, hidup sebagai Ajeng, malah membuat dirinya tersiksa. Keharmonisan keluarga tidak pernah ia dapatkan.

Kasih sayang? Sedari kecil Ajeng tak pernah merasakan kasih sayang dari orang tua. Mereka memperlakukan Ajeng layaknya seorang boneka. Ajeng harus menuruti semua perintah orang tuanya, jika tidak maka tubuhnya akan mendapatkan luka lebam. Dirinya selalu dijadikan boneka percobaan. Sedari dulu Ajeng selalu dituntut untuk menjadi siswi yang pintar dan berprestasi. Belajar, belajar dan belajar sudah menjadi makanan sehari-harinya. Ajeng dituntut menjadi apa yang orang tuanya inginkan.

Bahkan orang tuanya pun menjodohkan Ajeng dengan anak rekan bisnis orang tuanya, agar bisnisnya bisa berjalan lancar dan tidak bangkrut. Mereka merelakan Ajeng demi sebuah perusahaan. Ajeng tidak bisa menolak semua perintah orang tuanya. Sulit baginya untuk menerima pria yang akan menjadi suaminya nanti. Hatinya menolak pria tersebut. Hatinya sudah tertutup rapat untuk nama seseorang. Ia pasrah, ia tidak bisa lagi memperjuangkan cintanya. Tapi ia akan berusaha mendapatkannya.

Tanpa meraka sadari, ternyata ada seseorang yang melihat kejadian tersebut. Wajah seseorang itu menatapnya penuh arti.

A+ (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang