Hari - hariku kembali normal. Namun ditambah satu makhluk penghuni rumah ini. Aku tidak masalah dia tinggal disini hingga keadaan hatinya mulai membaik. Aku juga ingin menjaganya hingga melahirkan nanti. Entah kenapa, aku rasanya ingin sekali melihat bayi yang dikandungan Belva itu lahir kedunia, ingin mengurusnya, dan aku sangat menyayangi anak yatim yang belum lahir itu.
Kegiatan Belva sehari - harinya hanya bersantai, dikamar tiduran, menonton TV. Makan tinggal makan, tanpa melakukan kerjaan rumah sedikitpun. Aku memakluminya karena dia sedang hamil. Aku tidak masalah melakukan ini semua sendirian. Tapi gayanya yang bak bos besar itu terkadang membuatku geram padanya.
" Belva, bisa kau beranjak sebentar. Aku ingin membersihkan ruangan ini, " ucapku. Seperti saat ini. Belva bersantai menonton TV di ruang tengah.
" Bersihkan saja, " ucapnya tanpa beranjak dan masih menonton sinetron.
Aku menghela nafas, lalu bergerak membersihkan ruangan disini. Karena dia sudah mengizinkan, jadi aku tidak mau tau dia nantinya akan terkena debu. Salah sendiri, kan?
" Eh, eh jangan mendekat. Kau itu harus berjarak denganku, " Aku menatapnya sambil mengangkat alisku. Dia menggeser tubuhnya menjauh dariku yang membersihkan meja didepannya. " kau itu pembawa sial. Aku pernah keguguran. Suamiku meninggal dunia. Dan aku tidak ingin kehilangan anakku ini, " Aku terkesiap. Kenapa tiba - tiba dia berbicara seperti itu?
Benar, Belva pernah mengalami keguguran, lalu beberapa bulan setelahnya barulah ia kembali hamil.
" Aku hanya ingin membersihkan ruangan ini. Kalau kau terganggu, silahka-"
" Belva, cucu menantuku sayang, " Aku menghentikan ucapanku. Dan menoleh kearah Oma yang sudah masuk kedalam rumahku bersama Jossie. Mereka mendekati kami.
Oma tersenyum hangat pada Belva, " Oma, kenapa kau datang terlambat? Aku sudah sangat bosan sendirian disini, " ucap Belva sambil menghampiri Oma, lalu memeluknya. Aku hanya diam ditempat memperhatikan mereka.
Oma beralih menatapku. Seperti biasa, tatapan yang kurang mengenakkan. " kau bilang apa pada Belvaku tadi? Kau mengusirnya dari sini, Amora? " Aku menggeleng cepat. Aku tidak maksud mengusirnya dari sini, aku hanya minta dia pindah sejenak karena aku ingin membersihkan ruangan ini. Oma hanya mendengar kalimat terakhirku. Dia telah salah paham. " Dengar ya. Kau tidak berhak mengusirnya, " ucap Oma lagi.
" Aku tidak mengusirnya, Oma, "
" Sudahlah Oma. Kita bicara disana saja, biarkan dia melakukan pekerjaannya, " Belva mengajak Oma keruang tamu. Aku yang biasa dengan keadaan ini tidak ada masalah lagi bagiku. Aku memilih melanjutkan pekerjaanku yang tinggal sedikit ini.
Semenjak Belva disini, Oma kembali rajin kesini. Bukan mengusik kerjaanku, tapi lebih tepatnya mengobrol menghabiskan sore dengan Belva. Aku tidak masalah, itu malah baik untuk Belva. Dia tidak banyak melamun lagi dan Oma bisa menghiburnya. Maka perlahan Belva mulai menerima keadaannya.
Selang beberapa menit, pintu apartemen kembali terbuka. Aku mendengar suara bariton suamiku. Aku ingin beranjak dan menghampiri suamiku. Namun Belva lebih dulu berdiri dihadapannya. Ku urungi niatku dan hanya memperhatikannya dari kejauhan.
" Kau pulang lebih awal hari ini? " tanya Oma.
" Cuaca sangat buruk. Jadi pembelajaran dihentikan, " jawab Kak Leon datar. Sepertinya musim dingin sudah berada dipuncaknya.
" Apa kau lelah, Leon? " Belva bertanya, namun tak ada jawaban dari suamiku. Aku lihat dia hanya mengangguk. " Kau mandilah dulu, biar aku buatkan coklat hangat untukmu," ucap Belva lagi. Suamiku masih diam, kali ini dia berusaha melihatku yang terhalang oleh Belva.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amora the Series
General FictionSiapa yang menikah tidak mengharapkan hadirnya keturunan? Mungkin ada satu dari seribu pasangan suami istri berpikir seperti itu. Tapi tidak denganku. Aku sangat menginginkan adanya anak didalam rumah tanggaku. Tapi kenapa mereka seolah selalu menud...